Cerpen, Siti Rubaiah Al Adawiyah, Suara Merdeka

Kisah Seorang Perempuan

Kisah Seorang Perempuan - Cerpen Siti Rubaiah Al Adawiyah

Kisah Seorang Perempuan ilustrasi Nugroho DS/Suara Merdeka

3.4
(5)

Cerpen Siti Rubaiah Al Adawiyah (Suara Merdeka, 09 Juni 2024)

AKU bingung mendeskripsikan siapa aku dalam rumah ini.

Ibu selalu menumpahkan segala keluh kesah kepadaku, apapun yang ia rasakan.

Rasa kesal pada suaminya, ia ceritakan padaku.

Rasa lelah mengurus anak-anaknya, ia bicarakan padaku. Sehingga segala keruwetan rumah tangganya tak pernah absen aku ketahui. Tetapi, bukankah aku bagian dari permasalahannya juga?

Sejak aku mulai menjadi wadah tempat berkeluh kesah, satu persatu pandanganku tentang dunia mulai berubah. Dunia bagi orang-orang dewasa rupanya tidak seindah yang aku tonton dalam sinetron. Tidak sesederhana yang aku pikirkan pada saat aku masih menjadi anak kecil. Ibu memperkenalkanku pada kenyataan yang sebenarnya terjadi pada orang dewasa. Ia merincikan satu persatu kesedihan yang akan kualami jika kelak memilih jalan yang sama sepertinya. Aku merasa benar-benar ditipu oleh sinetron yang sering aku tonton. Entah aku merasa marah karena Ibu telah mengacaukan semua khayalan yang aku idam-idamkan.

***

“Bu, besok aku berangkat jam 9 pagi.” Aku duduk di sofa sambil mencomot satu kue kering.

Ibu yang sedang fokus menjahit, seketika menolehkan pandangannya kepadaku. Ia perlahan beranjak dari tempat menjahit menuju sofa yang sedang aku duduki.

“Nak, kapan mau berhenti bekerja?”

“Mengapa Ibu tiba-tiba bertanya demikian? Aku masih senang dengan pekerjaanku, Bu.”

“Kamu tidak lelah bekerja terus?”

“Jika aku lelah dan berhenti bekerja, siapa yang akan membiayai hidupku nanti, Bu? Aku masih membutuhkan uang untuk bertahan hidup”

“Kamu kan bisa menikah, Nak. Jika kamu menikah, kamu tidak usah repot-repot bekerja. Ada suami yang akan membiayai kebutuhan hidupmu. Kamu hanya perlu diam di rumah mengurus suami dan anak-anak.”

Seketika otakku menjadi buntu. Aku bingung harus menjawab apa pada Ibu. Pertanyaannya sangat sulit, lebih sulit dari pertanyaan wawancara masuk kerja. Kata menikah terdengar sangat asing di telingaku. Aku kesulitan menerjemahkan artinya.

“Nanti sajalah, Bu. Aku masih senang sendiri.”

“Nak, menjadi perempuan rasanya memang tidak adil. Ketika laki-laki bebas memilih kapan saja ia ingin menikah, perempuan harus dikejar umur. Tetapi, begitulah kenyataan, kita perempuan mau tidak mau harus menjalani itu. Jika dipikir-pikir ada benarnya juga perempuan tidak boleh terlalu lama melajang. Karena perempuan adalah pihak yang akan mengandung, maka alangkah lebih baik jika menikah di usia yang tidak terlalu matang.”

Baca juga  Rasa Heran di Malam Lebaran

“Iya Bu. Nanti, akan aku pikirkan jika sudah ada yang cocok.”

Buru-buru aku pergi ke kamar dan segera mengunci pintu. Pikiranku mulai menghadirkan berbagai luka yang telah lama aku simpan rapat. Tentang kehidupan seorang perempuan yang merelakan kebebasannya untuk menjalani sebuah fase yang kebanyakan orang pilih untuk tujuan akhir hidupnya. Luka itu semakin nyata sehingga aku berdesis karena merasa perih.

Luka seorang perempuan yang menghabiskan separuh hidupnya bersama laki-laki yang sebelumnya sama sekali tidak ia kenal. Laki-laki yang hadir begitu saja dan membuatnya terikat pada suatu janji. Tidak sedikitpun terbesit di pikirannya bahwa langkah yang ia ambil akan menjungkir-balikkan hidupnya.

Menjalani kehidupan bersama sosok asing yang membuatnya setiap hari harus menebak siapa sebenarnya sosok yang kini adalah orang yang pertama kali ia lihat saat terbangun dari tidur. Merasakan bagaimana sulitnya menjalani hari di tempat yang baru pertama kali ia pijak. Sibuk menerka apakah pada hari yang akan datang ia tidak lagi dihantui kebimbangan dan kesulitan.

Tahun pertama, ia berbaik sangka bahwa ini adalah bagian dari adaptasi. Tidak mungkin dua orang asing yang menyatu hanya membutuhkan waktu sekejap untuk mengakrabkan diri dan saling memahami. Tentu harus banyak hari yang dilalui agar keduanya benar-benar selaras.

Tahun kedua, ketika nyawa lain hadir di rahimnya. Ia pikir laki-laki yang sudah satu tahun melewati hidup bersamanya akan mulai berubah. Menunjukkan bahwa janji yang telah ia ucapkan bukan sekedar omong kosong. Bersedia membantunya melewati masa-masa ini seperti pasangan lain pada umumnya. Rupanya ia terlalu banyak berharap.

Memasuki tahun-tahun berikutnya. Ia mulai sedikit demi sedikit memangkas harapannya pada laki-laki itu. Menguatkan diri bahwa ia bisa melewati semua dengan baik-baik saja. Menahan tahun demi tahun menjalani hidup yang semestinya diperjuangkan bersama, hanya sendirian.

Baca juga  Kebun Binatang di Dasar Laut

Sekarang ia mulai terbiasa menjalani kesulitan. Ia tidak hanya sendirian lagi, meski dari awal sebenarnya ia tidak sendirian. Tetapi sekarang ia sudah memiliki beberapa orang yang berpihak padanya, ada anak-anaknya. Meskipun lelahnya bertambah, setidaknya ia memiliki tempat untuk berkeluh kesah.

Ketika ia rasa anaknya telah siap untuk memahami segala rasa sakitnya. Ia mulai mengeluarkan semua luka yang bertahun-tahun ia pendam. Setiap luka itu menganga, ia bagikan kepada anak yang ia percaya. Berharap lukanya sedikit terobati jika lukanya tidak lagi ia tanggung sendiri.

Tanpa ia sadari, setiap luka yang ia bagikan mengendap di memori anaknya itu.

Membangun stereotip baru tentang makna pernikahan, suatu ikatan yang mengerikan.

***

Hari sudah menunjukkan jam 9 pagi. Aku sudah bersiap-siap untuk kembali ke kota tempat aku mengadu nasib. Bapak dan ibu telah menunggu di ruang tamu, begitupun adik-adikku mereka semua berkumpul di sana. Aku bergegas mendatangi mereka dengan membawa koper dan tas yang aku jinjing.

“Tidak ada yang ketinggalan, Nak?” Bapak bertanya sembari melihat-lihat apa yang aku bawa.

“Tidak, Pak”, jawabku singkat.

“Hati-hati di jalan ya, Nak. Kalau sudah sampai kabari bapak dan ibu.” Ibu mewanti-wanti dengan suaranya yang lembut. Jika boleh jujur, aku lebih menyukai suaranya daripada suara bapak.

“Iya, Bu. Aku berangkat dulu ya Pak, Bu,” ucapku sambil menyalami keduanya.

Adik bungsuku merengek dengan matanya yang tampak sedih, “Kak, nanti pulangnya kapan?”

“Ya ampun, Dek, berangkat saja belum. Nanti kalau kakak mau pulang, kakak kabari ya.” Kucubit kedua pipinya yang gembul. Tak lupa aku mengusap kepala adikku yang sedari tadi hanya diam. Sepertinya, ia memang malas dengan hal-hal seperti ini, meski wajah mereka sama bukan berarti sifat mereka pun demikian.

Setelah berpamitan dengan keluargaku, aku menuju mobil dan menyerahkan barang-barangku pada supir. Jika dilihat dengan sekilas, keluarga ini tampak seperti keluarga pada umumnya, baik-baik saja. Tetapi, itu hanya ilusi yang sesekali kami ciptakan.

Baca juga  Merindukan Nabi di Mushala Kami

Sejenak, aku diam memandangi rumah dengan berbagai pikiran yang bersarang di kepala. Aku menjadi bertanya-tanya, apakah suatu hari nanti aku akan bisa seperti Ibu? Merelakan kebebasan yang aku miliki untuk ditukar dengan hubungan yang mengikat seumur hidup?

***

Siang ini, aku sedang duduk bersantai di depan indekost. Tiba-tiba sahabatku datang dan langsung duduk di sebelahku. Suaranya yang nyaring, membuat telingaku sakit. Meski kita sudah bersahabat sejak lama, tetap saja telingaku masih belum terbiasa dengan suaranya itu. Apalagi ia selalu kesulitan menghentikan mulutnya ketika bersuara.

“Kapan kamu tiba?”

“Tadi siang. Ada apa kamu ke sini?”

“Hanya ingin, memangnya tidak boleh?”

“Tidak. Suaramu sangat menggangu, berisik!”

“Ishh. Ini, aku membawa undangan dari Farel. Dia akan menikah bulan depan. Dengar-dengar, calon istrinya cantik sekali. Selain itu, dia lulusan S2 di luar negeri, dan juga berasal dari keluarga terpandang. Bisa dikatakan, ia terlalu sempurna.”

“Syukurlah jika ia akan segera menikah”

“Apakah kamu tidak sakit hati? Apalagi calon istrinya seperti langit dan bumi jika dibandingkan dengan kamu. Pasti nanti jika kamu datang ke pernikahan mereka, Farel akan memanas-manasi kamu karena sudah berhasil mendapatkan pengganti yang lebih baik dari kamu.”

“Aku tidak peduli.”

Aku hanya diam dan pura-pura tidak peduli. Padahal, diam-diam hatiku terasa seperti dirobek, darah mengucur deras dalam dadaku. Aku kesulitan untuk meneteskan air mata.

Tetapi, hari ini aku benar-benar merasa sakit. Aku tidak pernah yakin akan bisa seperti Ibu.

Maka dari itu, bukankah lebih baik aku mengakhiri hubungan semu yang aku jalani dengan penuh rasa ragu? ***

.

.

Siti Rubaiah Al Adawiyah merupakan mahasiswi Universitas Andalas jurusan Sastra Indonesia. Beberapa karyanya sudah dimuat dalam media online maupun media cetak.

.
Kisah Seorang Perempuan. Kisah Seorang Perempuan. Kisah Seorang Perempuan. Kisah Seorang Perempuan. Kisah Seorang Perempuan.

Loading

Average rating 3.4 / 5. Vote count: 5

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!