Cerpen Chudori Sukra (Solopos, 15-16 Juni 2024)
UMUR Nyi Hindun sekitar 50-an tahun. Buku tabungan miliknya menunjukkan angka enam puluh juta rupiah. Ia memiliki satu gigi emas yang apabila bicara atau tertawa akan kelihatan jelas oleh para pelanggan warung nasinya.
Ia bercerai dengan suaminya ketika dua putrinya sudah menginjak usia dewasa dan kini mereka sudah hidup mandiri bersama keluarganya masing-masing.
Dari nada bicaranya, orang-orang menilai Nyi Hindun sebagai janda yang sopan dan baik hati. Tapi, banyak laki-laki tampan yang berani menikahi para janda meskipun perilakunya tidak lebih baik daripada Nyi Hindun.
Suatu hari, ada seorang pelanggan laki-laki yang menjadi pusat perhatiannya. Seorang pria sekitar 40-an tahun, berjenggot agak tebal.
Seperti biasa, lelaki asal Sunda itu minta dibungkuskan nasi yang dilengkapi sayur dan tempe orek. Pakaiannya cukup rapi meskipun celananya agak sedikit longgar seperti mengenakan sarung.
Ia kelihatan baik dan bicaranya santun. Seperti biasa, ia membayar dengan uang sepuluh ribuan, kembali dua ribu rupiah karena nasi bungkus yang dipesannya hanya seharga delapan ribu perak.
Belum pernah ia memesan nasi dengan lauk lain selain tempe orek. Pernah sekali waktu laki-laki itu mengenakan sarung dengan serbet yang tergantung di pundaknya, keluar dari bangunan kantor megah yang di halamannya terpampang rupa-rupa spanduk dan baliho bergambar wajah para calon wakil rakyat.
Pada pelang depan kantor itu terulis: Sekretariat Dewan Pengurus Wilayah (DPW) Provinsi Banten, Partai Golongan Pekerja (PGP).
Nyi Hindun berkeyakinan laki-laki itu hanya petugas cleaning service di kantor megah itu yang letaknya hanya beberapa puluh meter dari warungnya.
Karena seorang pelayan di kantor partai, pasti ia sering disuruh-suruh Pak Prabono, sang ketua DPW, untuk membersihkan lantai, menyirami tanaman, termasuk merawat kuda poni milik Pak Prabono yang konon harganya mencapai miliaran rupiah.
Boleh jadi laki-laki berjenggot itu tinggal di kamar atau gudang belakang gedung partai, sendirian, sambil memakan nasi dan tempe orek yang biasa dipesannya.
Semakin lama menjadi pelanggan warungnya, semakin akrablah Nyi Hindun dengan lelaki bujangan itu. Sesekali terbersit dalam pikiran Nyi Hindun, ingin berbagi dengan mengirim satai bandeng yang dilengkapi lalap emping. Ia mahir sekali memasaknya hingga terasa empuk dan renyah. Tapi, seperti yang sudah dikatakan tadi, karena sifat perempuan ini baik hati dan salehah, ia tak berani melakukan hal-hal nekat seperti itu tanpa suatu alasan yang masuk akal.
Ingin sekali ia mengetes tebakannya mengenai pekerjaan pria itu. Boleh jadi ia pun seorang aktivis dari Partai PGP yang sangat setia kepada majikannya. Ia pun mencoba memasang kalender tahun 2024 bergambar Pak Prabono yang sedang berorasi di depan ratusan pendukungnya.
Kalender itu dipampang di tembok yang bersebelahan dengan peti uangnya. Di sebelah kiri foto Pak Prabono, ada ketua tim suksesnya, bersama dengan para aktivis partai yang diedit sedemikian rupa hingga nampak begitu ramai dan meriah.
Di sebelah kanan ada foto seorang wanita cantik dan jelita, meskipun Nyi Hindun selalu menggelengkan kepala apabila ada pelanggan yang bertanya siapakah wanita itu. Ia juga tidak berhasrat untuk mencari tahu siapakah foto wanita gemoy yang duduk di sebelah sang ketua DPW itu.
Keesokan harinya, datanglah pelanggan yang ditunggu-tunggu. “Tolong bungkuskan nasi dan tempe orek seperti biasa.”
Lelaki bujangan itu tiba-tiba terkesiap memandang foto kalender yang terpampang di dinding itu. Nyi Hindun menanggapinya dengan senyum merekah, sambil berujar, “Menurut saya, Pak Prabono ini orangnya berani, merakyat, pidatonya bagus. Dan pada pemilu nanti, pasti saya akan pilih beliau.”
Dugaan Nyi Hindun barangkali benar, bahwa lelaki itu seorang aktivis partai, di samping sebagai petugas cleaning service di kantor itu. Oh, betapa lembut dan hangat senyumnya (pikir Nyi Hindun).
Jenggotnya bersih, alisnya tebal, tubuhnya semampai pula. Sementara, ia menyambung hidup hanya dengan nasi, sayur, dan tempe orek. Tapi bagaimanapun, melihat laki-laki setampan itu, sepertinya memang harus berjuang keras agar dirinya mendapat pengakuan dan perhatian khusus.
Betapa bagusnya jika kesantunan dan ketampanannya didukung dengan tabungan sebesar enam puluh juta rupiah, ditambah warung nasi yang dapat membuatnya bebas memilih masakan apa saja yang diinginkannya. Tapi, ah, kau jangan ngelantur dan berkhayal berlebihan, Hindun. Ya, kadang-kadang laki-laki itu agak lama di warungnya, membicarakan beberapa hal perihal sanitasi air di belakang kantornya yang kadang mampet.
Kalau hujan airnya menggenang di jalanan dan keduanya terus menggunjingkan peran pemerintah daerah yang perlu ditingkatkan dan sebagainya dan seterusnya. Sepertinya ia cukup pintar dan juga menyukai kata-kata Nyi Hindun yang diselingi dengan sedikit kelakar dan canda-tawa.
Tapi, kenapa yang ia beli selalu saja hanya nasi dan tempe orek? Kenapa tidak sayur tahu, ayam kecap, kerang, atau satai bandeng? Sesekali muncul ide di pikiran Nyi Hindun untuk menambahkan ayam kecap pada nasi bungkusnya, tapi ia tidak berani melakukannya. Ia takut dan khawatir dan ia paham betul tentang harga dirinya sebagai perempuan baik dan salehah.
***
Akhirnya Nyi Hindun memutuskan mengenakan gaun warna hitam yang ada motif bintik-bintiknya. Gaun itu baru diambil beberapa hari lalu dari Mbah Durip, seorang dukun yang tinggal di kaki Gunung Karang.
Di dapur warungnya, ia membuatkan ramuan misterius berupa rempah-rempah yang dikirimkan “orang pintar” dari daerah Cikande. Sebagian dari rempah-rempah itu digunakannya untuk mempersolek wajah biar terlihat cantik dan gemoy, terutama bagi kaum pria yang memandangnya.
Suatu hari, si lelaki bujangan pujaannya datang sambil memesan nasi, sayur, dan tempe orek seperti biasa. Tiba-tiba terdengar suara gaduh dan semarak para pendukung partai di jalanan.
Lelaki itu bergegas menuju pintu untuk mencari tahu apakah gerangan yang terjadi. Kegaduhan seketika terhenti, tetapi Nyi Hindun sudah meraih kesempatan dalam kesempitan dengan memasukkan ramuan misterius itu dan mencampurkannya pada bungkusan nasi dan tempe orek yang dipesan laki-laki itu.
Setelah mengajak bercakap-cakap sebentar, laki-laki itu pun pamit. Seketika tawa Nyi Hindun begitu semringah meski terbersit dalam hatinya seakan-akan ia telah berbuat lancang.
Tetapi, ah sepertinya itu rempah-rempah biasa, dan konon rasanya enak disantap bersama sayur apa saja. Ia pun berkesimpulan tidak ada salahnya menambah sedikit rempah-rempah yang tak mungkin mencelakakan siapa pun.
Sepanjang hari dan malam Nyi Hindun tak dapat melepaskan diri dari bayangan akan memiliki calon suami yang baik dan tampan itu. Ia membayangkan kejadian ketika pria idamannya itu merasakan kejutan-kejutan hasil racikannya.
Ia tersipu malu dan ketika sedang makan malam, ia membayangkan sendok itu menyentuh sayur dan tempe orek di kejauhan sana, yang efeknya… ah… kun fayakun!
***
Keesokan harinya, seorang laki-laki gemuk dan tambun datang ke warung Nyi Hindun sambil marah-marah tak keruan. Ia menyeret tangan seorang lelaki bawahannya dan menghadapkannya kepada Nyi Hindun.
“Benarkah ini warung nasi Nyi Hindun?”
Nyi Hindun tersentak kaget. Kedua lelaki itu sudah tak asing lagi bagi Nyi Hindun. Yang gemuk dan tambun adalah Pak Prabono, ketua DPW Partai PGP, sedangkan satunya lagi adalah laki-laki berjenggot yang merupakan pria idamannya.
Wajahnya memerah karena ketakutan, jenggotnya tampak pucat dan rambutnya kusut masai. Seketika Pak Prabono menggeruduk dan menggebrak meja hingga beberapa pelanggan yang sedang makan siang memilih undur diri keluar dari warung nasi itu.
“Bangsat! Kurang ajar! Jadi, rupanya di sini warung Nyi Hindun itu ya?”
Nyi Hindun mendesak agar Pak Prabono menjelaskan duduk perkaranya.
“Kamu inilah biang keroknya, dasar perempuan tua bangka!” Jari telunjuknya menjorok ke muka Nyi Hindun. Matanya yang gelap semakin berkobar.
Nyi Hindun bersandar pada tembok di sebelah peti uangnya. Punggungnya menutupi kalender yang ada di warung itu. Lelaki bujangan itu berusaha menahan Pak Prabono agar jangan marah-marah secara berlebihan.
“He, perempuan tua bangka! Nama laki-laki ini Tohir, sengaja saya pekerjakan di kandang kuda di belakang kantor DPW supaya merawat dan memberi makan kuda poni saya yang harganya dua miliar rupiah! Sekali lagi, dua miliar, tahu?”
Pak Prabono menghela napas berkali-kali, matanya semakin nanar, dan lanjutnya, “Selama dua bulan ini dia melakukan pekerjaannya dengan baik dan saya yakin tidak akan ada orang lain yang bisa menggantikannya. Dia begitu rajin dan tekun mengurusi kuda poni saya, merawat dan memberinya pakan rumput khusus, dengan harga yang amat mahal. Bahkan, ada makanan tambahan yang diberikan untuk kuda-kuda saya. Tetapi beberapa hari ini… si Tohir bangsat ini memesan nasi dan tempe orek dari warung ini lalu memberikannya pada kuda poni saya.”
Kembali napasnya tersengal-sengal dengan sorot mata yang garang. Kemudian, semprotnya lagi, “Lalu, kenapa selama dua hari ini, kuda saya ngamuk-ngamuk tak keruan? Pelang dan baliho partai PGP di halaman depan ambrol dan ambyar karena diseruduk. Ketika saya tengok ke kandangnya tiba-tiba dia melompat dan mengejar-ngejar saya! Ada apa dengan warung nasi ini? Lalu, yang membuat saya tak habis pikir… tapi ah, saya tidak mau menceritakannya.”
“Ceritakan saja terus terang, Pak,” desak Nyi Hindun.
“Kemaluannya bengkak dan membesar! Matanya memerah waktu melihat muka saya… ada apa ini? Saya tidak mau binatang itu menyukai majikannya seperti anak remaja yang lagi ngebet dan kesengsem sama pacarnya…”
“Hueeekkk!“
Seketika Nyi Hindun berlari ke belakang warungnya. Ia muntah-muntah, melepas baju hitam bintik-bintik yang dipakainya, menggantinya dengan baju terusan yang biasa dikenakannya.
Setelah itu, ia melempar semua rempah-rempah dan ramuan misterius yang sedang menjadi proyek yang dirahasiakannya. ***
.
.
Chudori Sukra. Prosaik generasi milenial juga anggota Mufakat Budaya Indonesia (MBI), penulis prosa dan esai di harian Kompas, Republika, Koran Tempo, Analisa, Kabar Madura, Tangsel Pos, Radar Banten, litera.co.id, ruangsastra.com, nusantaranews.co, NU Online, islami.co, alif.id, kompas.id, Jurnal Toddoppuli, dan lain-lain.
.
Ramuan Misterius Nyi Hindun. Ramuan Misterius Nyi Hindun. Ramuan Misterius Nyi Hindun. Ramuan Misterius Nyi Hindun.
Leave a Reply