Puisi Hizbi Maulana, Moh. Mizan Habibi, Masitoh Nur Rohma, Belila Mega Utari, Kurniawan Dwi Saputra (Republika, 16 Juni 2024)
ANAK YANG MEMADAMKAN LANGIT KEMERAHAN
Puisi Hizbi Maulana
.
Barangkali masih ada sedikit waktu, pastilah anak itu telah menyelesaikan surat cintanya kepada Tuhan. Surat yang ia arsir di atas tanah berdebu dan berpasir kering. Setiap hari ia menghidu udara yang bercampur mesiu – serbuk jahanam yang membumi hanguskan tanah kelahirannya. Dalam deru bedil dan misil, surat yang tidak rampung itu, selamanya tidak akan pernah rampung. Surat cintanya adalah sekumpulan tanya. Tanya yang tak pernah khatam ia ucapkan, karena lidahnya telah habis diiris oleh kesedihan.
Tuhan, tanahku telah menjadi medan perang. Batu dan kerikil ikut menyerukan takbir atas nama-Mu. Keagungan-Mu di sini bukan mewujud pilar-pilar berkelir emas, atau kubah megah bertahta permata. Karena bahkan masjid paling reyot kami pun telah habis dilalap api. Keagungan-Mu di sini dijalin dari darah dan air mata. Engkau datang kepada kami dengan ketenangan yang merangkul hati, di malam-malam dengan langit yang menyala kemerahan. Sejumput kasih sayang-Mu adalah yang kami kumpulkan hari demi hari. Untuk menambal compang-camping baju kami, dan mengobati koyak tubuh kami.
Tuhan, tanahku kini kutiti dengan tertatih dan terseok-seok. Entah bagaimana caranya hidup dalam kepungan kematian. Di tanah kering dan gurun tandus ini, tiada sesiapapun yang dapat bertahan tanpa iman. Pada iman itu pula aku melewati malam ketika detak jantung ibu menyaru dengan dentuman peluru. Malam yang sama ketika ayah menjemput kasih-Mu seutuhnya, melafalkan asma-Mu hingga napas terakhirnya. Dalam gejolak perang, cinta mereka engkau sejatikan.
Tuhan, tanahku masih menantikan burung-burung yang hinggap lagi di pepohonan. Rumput hijau yang tumbuh kembali dari tanah yang meranggas. Serta langit yang tak lagi ditutupi debu dan mesiu. Sajadah kami akan digelar di atas lantai yang tak lagi dilumuri darah. Anyir yang mengepung hidung akan berganti wangi kasturi. Dan pada akhirnya, kami berdzikir dalam tenang. Tuhanku, kapankah hari itu?
Dan Tuhan, ketika jasadku nanti telah hangus terpanggang, ruhku akan menggapai singgasana-Mu, memohon setangkup dari mata air-Mu, dan membasuh langit yang kemerahan itu. Memadamkannya.
.
.
Hizbi Maulana. Mahasiswa Program Studi Hubungan Internasional UII.
.
.
BALON BERHATI UNGU
Puisi Moh Mizan Habibi
.
Hai, cerah sekali auramu
Masihkah bergembira seperti yang lalu?
.
Ini, balon berwarna ungu untukmu
sebagaimana warna hatimu
Warna hati para pemberani
Pemberani, sepertimu
.
Bolehkah sejenak kubercermin kepadamu?
Karena terkadang aku begitu cemburu
.
…
Nak,
janji apa yang telah kau susun bersama Allah, Tuhanmu?
Hingga membuatmu teguh tak berpaling
.
Nak,
jawaban apa yang kau dapatkan atas pertanyaan getir dalam hidupmu?
Hingga menjauhkanmu dari sikap ragu
.
Juga,
Nyanyian apa yang setiap saat berdenting?
Hingga senyummu tak pernah pudar
.
Bolehkah kau ceritakan, Nak?
Bayangan apa yang melekat dalam memorimu,
Hingga tak pernah membuatmu merasa layu?
.
Nak,
jika hati ungumu beribu-ribu,
bolehkah kupetik satu?
.
apa hobimu, apa makanan dan mainan kesukaanmu?
oh, maaf, tak perlu kau jawab
dirimu tidak disibukkan dengan pertanyaan yang itu
.
…
Lalu, lukislah aura cerahmu itu
di hamparan balon-balon berwarna ungu
Terbanglah, dengan sayapmu yang tak pernah patah
.
.
Moh Mizan Habibi. Dosen Program Studi Pendidikan Agama Islam UII.
.
.
MEMBELA PALESTINA
Puisi Masitoh Nur Rohma
.
Kalau kamu bertanya, mengapa kita harus membela Palestina
Jujur, semalaman mungkin aku tidak akan tidur
Kemanusiaan? Standar siapa mau kau pakai
Kebangsaan? Kepentingan siapa yang sebenarnya mau kau bela
Agama? Orang gila mana yang bicara agama dalam logika manusia
Perjalanan intelektual dan spiritualku terlampau dangkal
berhadapan dengan para cendekiawan yang budiman
.
Sejenak kuingat berita hari ini
Jenazah seorang bayi ditemukan tanpa kepala
Pengungsi mengantri sepotong roti, ditembaki membabi buta
Tanpa senjata, tanpa dibela
Meski mati, tapi mereka tak takut mati
.
Apakah membela hanya majas untuk para penguasa?
Karena membela tanpa kuasa seperti merengek pada durjana
Jiwa Palestina mungkin saja bebas, meskipun raga mereka pungkas
Tapi, mengapa kita yang tak perlu kehilangan napas, tak bisa bicara lepas?
.
Lalu, apa dan siapa yang tertawan?
Kebebasan mereka atau kebebasan kita?
Mereka melawan, sementara dunia bungkam
.
.
Masitoh Nur Rohma. Dosen Program Studi Hubungan Internasional UII.
.
.
MENCERITAKANMU
Puisi Belila Mega Utari
.
Setiap hari, berita tentangmu memenuhi linimasa sosial media
Peristiwa besar yang kembali terjadi di 7 Oktober 2023
Akhirnya benar-benar membuka mata dunia
Meskipun, tak semuanya berani angkat bicara
.
Setiap hari, topik berita silih berganti bagai tak ada habisnya
Tentang orang tua yang kehilangan anak-anaknya
Anak-anak yang kehilangan orang tua dan saudaranya
Bayi-bayi yang lahir dalam kondisi tak memiliki apa-apa
.

BUMI PALESTINA ilustrasi Da’an Yahya/Republika
.
Menceritakanmu selalu membawa air mata
Bagaimana bisa manusia diperlakukan seperti tak ada harganya
Bom dijatuhkan di mana-mana, para tawanan diperlakukan semena-mena
Kendaraan pembawa bantuan dihadang tak boleh lewat, orang-orang tak bersalah asal ditembak
Rumah sakit yang katanya tempat paling aman diserang tanpa sisa
Pengungsian sebagai tempat terakhir untuk berlindung digempur habis-habisan
.
Dunia oh dunia
Omong kosong gencatan senjata
247 hari berlalu hanya ada duka bagi Palestina
.
Tentu masih banyak yang belum kuceritakan dalam puisi ini
Tapi setidaknya, kita tahu bahwa dunia sedang tak baik-baik saja
Kita tahu bahwa:
.
Ini bukanlah perang, ini adalah genosida.
.
.
Belila Mega Utari. Tenaga Kependidikan Direktorat Layanan Akademik UII.
.
.
PERTANYAAN
Puisi Kurniawan Dwi Saputra
.
Jika mereka berkhutbah kepadamu tentang Palestina
Tolong tanyakan
Apakah hidup masih berharga
Pada saat-saat kematian ditunda?
.
Mungkin esok, nanti malam, sebelum engkau beranjak
atau selepas kejapan mata
Misil-misil setan itu
Dengan coretan pesan kematian
Siap menghujam kapan saja
.
Pada ibumu yang menggendong adik bayi di pasar Nusairat
Kakekmu yang jalan bertongkat karena asam urat
Perempuan dengan mata sipit yang kau nikahi musim semi depan
Hingga engkau
.
Kematian adalah niscaya
Tapi tidak di jam tangan orang-orang
Yang rumahnya berdiri di atas kebun zaitunmu
Di balik tembok apartheid ini
.
Apabila mereka berpuisi tentang Palestina
Tolong tanyakan
Apakah kata-kata masih berguna
Ketika kematian dihitung sebatas angka?
.
.
Kurniawan Dwi Saputra. Dosen Program Studi Pendidikan Agama Islam UII.
.
.
Pada Selasa, 11 Juni 2024, Universitas Islam Indonesia (UII) kembali menggelar hajatan “Sore Nyastra” untuk ketiga kalinya. Kali ini yang disoroti adalah penjajahan Israel atas tanah Palestina yang belum juga usai. Sembilan bulan sudah, tentara penjajahan Israel memorak-porandakan Jalur Gaza. Lebih dari 37 ribu warga Gaza syuhada, kebanyakan anak-anak dan perempuan. Sementara ratusan ribu lainnya kelaparan. Puluhan puisi sivitas akademika dengan tema “Bumi Palestina” terkumpul dan dibacakan di Selasar Utara Gedung Mohammad Hatta, Perpustakaan Pusat UII di Sleman, DI Yogyakarta. Puisi-puisi di atas adalah beberapa di antara pilihan panitia.
.
BUMI PALESTINA. BUMI PALESTINA. BUMI PALESTINA. BUMI PALESTINA.
Leave a Reply