Cerpen, Indah Noviariesta, Suara Merdeka

Kelahiran Asma Sihombing

Kelahiran Asma Sihombing - Cerpen Indah Noviariesta

Kelahiran Asma Sihombing ilustrasi Gunawan Effendy/Suara Merdeka

0
(0)

Cerpen Indah Noviariesta (Suara Merdeka, 16 Juni 2024)

“BERI nama buat anak saya, Asma Sihombing,” kata saya seusai persalinan di rumah sakit.

“Tapi, apakah suami Ibu dari suku Batak… maksud saya, apakah Ibu sendiri dari Medan?” tanya salah seorang bidan yang merawat saya.

“Saya asli Bali, dan suami saya orang Jawa, tapi kami sudah sepakat dengan nama itu, jika yang lahir adalah perempuan.”

Suami saya, Sunaryo sedang mengajar di sekolah SMP 5 Tabanan. Tetangga sayalah yang mengantar ke rumah sakit. Pakaian saya basah diselimuti perasaan yang harap-harap cemas. Kepala perawat yang mengurus persalinan saya, Bidan Tanti, adalah perempuan gemuk yang cerewet dan mahal senyum.

Ketika diperiksa, saya sempat mengeluh soal sakit punggung, lalu Bidan Tanti malah menyodorkan pernyataan yang membuat saya merasa waswas, “Seharusnya Ibu tahu bahayanya orang hamil jika pernah mengalami sakit punggung,” katanya ketus.

Bidan Tanti memerintahkan saya untuk berjalan naik-turun tangga setelah memeriksa leher rahim. Barulah setelah ketuban pecah, ia memerintahkan kedua perawat lainnya untuk segera membaringkan saya di tempat tidur, serta memulai proses persalinan.

Maka, muncullah satu lagi anak manusia ke permukaan bumi, yang kemudian kami beri nama Asma Sihombing.

***

Bidan Tanti duduk di sebelah saya, ketika dia minta penjelasan mengapa anak itu harus diberi nama seperti orang Batak (Medan). Lalu, saya pun menjelaskan secara panjang-lebar, setelah meneguk air putih yang disodorkan kepada saya.

“Dulu, anak pertama ayah saya lahir dengan mengeluarkan tangisnya yang melengking. Ayah bilang, itu pertanda baik, dan bayinya pasti kuat. Namun, beberapa bulan kemudian dia meninggal. Anaknya yang kedua justru meninggal hanya beberapa hari setelah dia lahir. Pihak keluarga dari ayah menganggap bahwa ibu saya adalah seorang perempuan aneh dan misterius. Seolah ia sengaja menumbalkan anak-anaknya agar bisa hidup lebih lama. Padahal, banyak bayi-bayi lainnya pada zaman itu yang juga meninggal, karena minimnya pengetahuan masyarakat dalam mengurus si jabang bayi. Kebanyakan mereka lemah, diare, kadang tubuhnya berbintik-bintik. Orang-orang Islam rajin ke masjid, sementara yang Hindu rajin ke pura, tetapi tetap saja bayi-bayi mereka sekarat dan kejang-kejang, lalu menghembuskan nafasnya seolah tak pernah dilahirkan.”

Baca juga  Biografi Kunang-kunang

“Ayah saya bekerja sebagai sopir bagi seorang pegawai Dinas Kesehatan. Posisinya biasa saja, seorang bawahan. Suatu hari, ayah menjemput di bandara seorang pejabat tinggi yang sedang berdinas. Mengantarnya ke hotel di Pantai Kuta. Lalu, suatu pagi ayah menemukan amplop tebal berisi uang yang jatuh dari tas si pejabat. Uang-uang itu tercecer di jok belakang. Si pejabat sangat senang ketika Ayah segera mengembalikannya. Dia melaporkan hal tersebut pada Kepala Dinas Kesehatan yang baru dilantik, dan dia seorang perempuan. Dua hari kemudian, si Kepala Dinas menginginkan agar Ayah menjadi sopirnya, lalu Ayah pun menyanggupinya setelah minta izin kepada pegawai dinas yang lama.”

“Ibu Kepala Dinas itu bernama Asma Sihombing. Matanya sipit, wajahnya oval, rambutnya terurai hingga bahu. Kesederhanaannya tercermin dari gaya busananya, bahkan tak sungkan-sungkan untuk makan di emperan jalan jika ia merasa lapar. Ayah selalu diajak sarapan bersama keluarganya tiap pagi hari. Bahkan dipersilakan memakai lapangan bulutangkis pada saat-saat senggang.”

“Kata Ayah, Ibu Sihombing adalah pendengar yang baik. Kadang ia minta pendapat Ayah ketika berurusan dengan masyarakat yang akan dibantu. Dia bertanya berapa jumlah anak-anak Ayah, tetapi Ayah menggeleng dan mengaku belum punya anak. Padahal, saat itu, Ibu sedang mengandung saya sebagai anaknya yang ketiga. Setelah mereka saling diam, tiba-tiba Ibu Sihombing bertanya, yang membuat Ayah tersentak kaget, “Berapa anakmu yang meninggal?”

Dengan suara tergagap, Ayah menjawab dengan jujur, “Dua.”

“Apakah istrimu sehat selama ini?”

Ayah membalas agak ragu, “Sehat, dan sekarang sedang mengandung yang ketiga. Saya mohon Ibu mendoakan agar anak saya baik-baik saja.”

“Saya kira semua orang beragama perlu untuk berdoa, baik Islam maupun Hindu. Tapi, persoalan yang kita alami bukan semata-mata hanya soal doa….”

“Maksud Ibu?”

Ayah memandang Ibu Sihombing dengan tatapan berkaca-kaca.

***

Ibu Kepala Dinas menjelaskan bahwa ada hal lain yang harus dilakukan segera, selain hanya soal berdoa.

Baca juga  Mek Mencoba Menolak Memijit

“Anak-anak Tabanan, dan pedalaman Bali pada umumnya, meninggal dunia karena penyakit yang sebenarnya mudah ditangani, dan tidak terlalu parah. Kita punya stok obat untuk mengatasi semua ini. Sekarang antar saya ke pelosok hingga ke pedalaman desa Tabanan dulu, kemudian kita akan berkeliling ke desa-desa lainnya.”

Ayah saya segera menyopiri Ibu Sihombing dan para stafnya untuk menjalankan program kesehatan itu.

Di pelosok desa, Ibu Kepala Dinas berkeliling menemui warga, mengajukan pertanyaan serta mendengarkan keluhan mereka.

Dia mengajarkan para wanita cara membuat larutan dari gula, garam dan air bersih untuk diberikan pada anak yang terkena diare, serta menasehati mereka agar mencuci tangan dengan sabun, serta memberitahu bahwa Lembaga Pelayanan Kesehatan akan segara dibuka beberapa minggu ke depan. Saat dibuka, nantinya setiap bayi harus diimunisasi dan diberi vaksin.

Ayah saya turun tangan membantu Dinas Kesehatan sehingga orang-orang desa memanggilnya sebagai “Pak Dokter”.

Namanya ikut masyhur meskipun hanya bertugas sebagai pembantu penyuluhan, karena sebelumnya, memang belum pernah ada pejabat daerah maupun pusat yang menemui masyarakat hingga ke pelosok desa-desa terpencil.

“Ibu Sihombing adalah seorang pejabat dan kepala dinas di Provinsi Bali, tapi ia selalu berpenampilan seperti rakyat biasa, serta mampu memperlakukan bawahannya sebagai manusia yang terhormat,” demikian ujar Ayah.

***

Hanya membutuhkan waktu sebentar. Mulut anak saya, si bayi mungil Asma Sihombing, diteteskan cairan. Lengan yang hangat dan diberi suntikan sedikit. Itu dilakukan untuk menyelamatkan setip bayi yang lahir di desa kami, berikut desa-desa lainnya.

Saya lahir pada tahun 1983. Nenek saya (ibu dari Ayah) dulunya seorang aktivis Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) yang pernah mendirikan klinik-klinik kesehatan untuk menangani bayi-bayi yang baru dilahirkan.

Namun kemudian, di bawah rezim militerisme Orde Baru, organisasi yang bergerak di bidang kemanusiaan dan hak-hak asasi kaum wanita itu diberangus dan dibungkam oleh klik kepentingan politik penguasa.

Padahal di era tahun 1960-an, banyak klinik-klinik Gerwani telah berpraktek di pelosok daerah, bahkan sudah membuka layanan-layanan gratis bagi ibu-ibu melahirkan.

Baca juga  Seekor Ular di Dalam Rumah

Ketika saya beranjak dari masa anak-anak menuju masa remaja, Ibu mulai bercerita perihal suntikan di lengan saya yang menyebabkan imunitas dan kekuatan fisik saya, ketimbang mendiang kedua kakak saya terdahulu.

Menurut Ayah, setelah Ibu Asma Sihombing pensiun dari kedinasan, ia sering datang ke rumah minta diantar untuk terus menemui masyarakat di desa-desa, serta memberi penyuluhan kesehatan, yang baginya adalah tugas suci kemanusiaan, sebagai khalifah di muka bumi ini.

Kadang Ayah menyopiri Ibu Sihombing untuk berkunjung ke klinik-klinik, juga mendampinginya saat acara pemotongan pita untuk peresmian pusat-pusat kesehatan. Di mana pun berada, orang-orang selalu menyambut kedatangan Ibu Sihombing. Sebagian ingin menyentuhnya, ingin berjabat tangan, bahkan memberinya hadiah dan berbagai cendera mata.

Namun demikian, jarang Ibu Sihombing mau menerima hadiah dari masyarakat pedalaman, kecuali akan memberikannya kepada Ayah selaku sopirnya.

Saya pertama kali bertemu Ibu Sihombing saat umur saya delapan tahun. Saat itu masih duduk di kelas dua SD, kemudian Ayah memperkenalkan bahwa saya adalah peringkat tiga besar di sekolah. Ibu Sihombing meminta agar sekali-kali mengajak saya, untuk diperkenalkan pada anak-anaknya di rumah.

Saya kuliah di Fakultas Kedokteran ketika Ibu Sihombing sudah memasuki masa pensiun dari dinas kesehatan. Beberapa hari setelah masa persalinan, dia menjenguk bayi mungil saya, lalu tersenyum seraya meneteskan air matanya ketika saya nyatakan bahwa nama anak kami: Asma Sihombing.

“Tepat sekali kalian memberi nama itu,” tegas Ayah di hadapan suami saya, “karena menurut Ayah, Ibu Asma Sihombing itu bukan hanya pekerja kemanusiaan, tetapi beliau juga seorang pejabat terbaik di provinsi ini.” ***

.

.

Indah Noviariesta. Cerpenis generasi milenial, menulis prosa dan esai di berbagai media nasional cetak dan online. Peraih nominasi cerpen terbaik Litera pada 2021 lalu.

.
Kelahiran Asma Sihombing. Kelahiran Asma Sihombing. Kelahiran Asma Sihombing. Kelahiran Asma Sihombing. Kelahiran Asma Sihombing.

Loading

Average rating 0 / 5. Vote count: 0

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!