Cerpen Rosidatul Arifah (Suara Merdeka, 13 Juni 2024)
NISKALA, nakhoda itu masih memerintah semua jalan pelayaranku hingga hari ini. Nakhoda itu masih mengetuai semuanya, tak ada ubahnya, masih persis seperti awal! Sebelum senyummu dan semua yang menjadi muasal senyum itu hilang. Senyummu yang senyam dan malam-malam yang semakin kelam. Sepi. Sial.
Entahlah, aku tidak tahu lagi bagaimana persisnya pertemuan itu kau atur, Niskala. Orang-orang di luar sana banyak yang bilang padaku, jika pertemuan itu bukan lagi kebetulan, namun juga bagian dari naskah hidup yang telah dirancang Tuhan untukku. Tidak ada yang kebetulan di bumi ini. Saban hari, aku sangat memercayai itu.
Aku juga tidak tahu, bagaimana cerita ini bisa dimulai. Yang jelas, mereka orang-orang jahat itu memaksaku untuk terus-terusan mengingat semua yang terjadi sewaktu itu. Yang harus kau tahu Niskala, mengingat memori tempo hari itu masih menjadi sesuatu yang sangat menyayatkan bagiku, jangan bersedih dulu. Bukan karena aku tak ingin mengingatmu lagi. Aku terlalu takut untuk banyak dicurigai, aku terlalu takut untuk ditanyai, aku terlalu tidak suka ketika orang-orang itu beranggapan kekasihku, telah mati.
Mereka salah kan, Niskala? Mereka tidak ada hak untuk itu. Mereka tidak perlu tahu apa-apa tentang hidup kita. Aku yakin di manapun kau berada, pasti kau menyepakati sepenuhnya pendapatku.
Niskalaku, marilah mendekat sedikit lagi, Sayang. Ingin kuceritakan padamu bagaimana purnama hari ini masih bersinar temaram di kampung kita, sebelum kau menyaksikan langit menderu-deru seperti bunyi guruh, di terik yang bagus sore itu.
Burung-burung liar yang migrasi dari timur ke barat masih terbang sore ini, Sayang. Sebelum hari itu kau saksikan burung-burung terbang itu menjelma jinak di teras rumah warga. Sayang, kerbau-kerbau yang kau saksikan berhamburan lari, bermukim di rumah warga hari itu, sekarang sudah kembali menikmati rumput di lapangan hijau kampung sebelah. Ayam ayam ternak warga yang kau lihat terbang berhamburan kala itu, sekarang sudah jinak menemui penciptanya.
Semuanya sudah kembali berangsur pulih, Niskala. Orang-orang kampung sebelah sudah kembali menempati rumah-rumah mereka. Tenda-tenda merah di balai desa sudah digusur sebagian besarnya. Juga sudah tidak kutemui lagi biskuit rasa hambar dan mie instan kardusan yang diturunkan jet di depan rumah warga beberapa hari setelah ‘hari itu’.
Semuanya sudah beranjak ingin pulih, Niskala. Tapi tidak dengan aku. Aku masih ingin di sini, Sayang, dan aku akan selalu di sini. Tak peduli berapa orang lagi yang akan datang, kasihan padaku, lalu menganggapku gila, memaksaku sedikit berbicara, lalu pergi begitu saja. Namun itu lebih baik daripada mereka yang datang padaku, bertanya, terusan bertanya, memaksaku mengingat semuanya yang aku tidak bisa, lalu pergi begitu saja setelah sebelumnya mencatat di buku kecil mereka. Aku tidak ambil peduli sedikitpun tentang mereka, Niskala.
Niskala, aku ingin mulai bercerita tentang apa yang terjadi pasca hari itu.
Sebelum aku mulai, harus kau tahu bahwa sampai hari ini aku masih menantimu seperti yang pernah kau katakan waktu itu. Aku memang banyak lupa tentang kejadian itu, Niskala. Tapi untuk mengingat semua hal tentangmu, tak usah kau ragu. Sepersekian detikpun sudah kurekam jejak digitalnya. Aku hanya ingin bercerita padamu, bukan pada orang-orang jahat itu. Lewat angin yang masih rela menyinggahiku tanpa banyak tanya.
Tak banyak yang bisa kuingat tentang hari itu, hari paling haru dalam hidupku. Bagian naskah Tuhan yang sampai hari ini masih ingin kuperdebatkan. Kehidupan macam apalagi setelah ini yang akan dijanjikan kepadaku? Hingga Tuhan memercayai dan menyanggupiku menerima semua ini. Mereka semua tidak tahu! Karena ini bukan hanya tentang kehilangan kau, Niskala.
Hari itu, tepat setelah 10 hari kejadian itu menimpa kita, aku masih setia menjengukmu ke sini, tempat terakhir kita bersama. Dan orang-orang jahat itu, masih sering menanyaiku, Sayang. Seperti hari-hari sebelumnya. Semuanya berjalan lancar, mereka lancar menganggapku sudah tidak waras, sebagian lainnya kudengar merasa kasihan karena aku banyak kehilangan. Tetapi mereka tidak tahu, aku bukan hanya kehilangan, lebih dari itu, aku juga ingin dihilangkan. Hilang, lenyap seperti bagaimana kejadian itu melenyapkan apa-apa yang kumiliki.
“Ayo ceritakanlah sedikit saja apa-apa yang masih ada di pikiranmu tentang hari itu.”
“Jangan takut, kami tidak jahat. Ceritakan saja apa yang masih terbayang olehmu tentang kejadian itu.”
“Kami ke sini bukan untuk mengusikmu, kami hanya butuh kesaksianmu, cobalah bicara sedikit.”
Pertanyaan seperti yang sudah sudah, pertanyaan yang selalu berputar-putar di telingaku sepuluh hari belakang. Kujawab juga dengan jawaban yang sudah-sudah. Berupa gelengan lemah, pertanda aku tak bersedia untuk ditanya-tanya. Sehabis itu, mereka biasanya memberiku makanan yang diletakkan di sisi terdekatku, hingga hari ini sudah belasan piring, dan sama sekali tak pernah kusentuh.
Ingin rasanya kuat-kuat kuteriakkan pada kuping mereka, aku tidak suka dikasihani, aku bukan pengemis yang perlu diberi iba. Tapi nyaris, ketika semua umpatan itu sudah tiba di tenggorokanku, mulutku masih beku, tidak ada yang keluar sedikit pun kecuali air mata dan kecewa.
Aku benci semua ini, ketika dipaksa mengingat semua hal yang harusnya bisa kulupa. Orang-orang itu tanpa dosa terus saja menginginkanku menguak senjata tajam yang terus-terusan membunuh seluruh pikiranku. Aku ingin pergi jauh-jauh dari sini, Niskala. Tapi sementara aku tak ingin meninggalkan tempat terakhir kali kita bertemu.
Tepat setelah hari pertama kau pergi, Niskala. Lidahku seperti beku, tenggorokanku tak berfungsi mengeluarkan kata. Aku bisu? Tidak. Aku masih sering berbincang, berbicara dalam hatiku. Aku gila? Ya, aku tergila-gila akan rindu padamu.
Lagi-lagi ingin kukatakan, bahwa kejadian itu bukan hanya menghanyutkan kau dari hidupku, namun juga mengambil semua yang kupunya, semua yang pernah ada dan hanya aku yang tersisa. Berkali-kali kuumpat dalam hati, nakhoda gila yang pegang kendali, tolong! Aku sudah tidak tahan lagi. Sungguh, aku ingin mengakhiri semuanya, sebagai bagian yang terakhir tersisa di sini.
***
Sore itu, sore yang cerah sekali tidak seperti sore-sore sebelumnya dalam sepekan itu. Kau mengajakku menikmati sore di tepian pematang sawah yang sudah hampir menguning. Kita tidak duduk beralaskan tikar rumbia, atau karpet biasa, aku dan kau sudah terlalu terbiasa duduk tak beralas begini. Kita sama melepas penat setelah kau mengajar mengaji anak-anak sekolah dasar di surau dekat Labuh. Surau sederhana yang menjadi surau satu satunya yang ada di kampung kita.
Masih terus kuingat Niskala, hal yang menjadi cita-citamu sedari kecil ialah menjadi guru, meski itu tidak kesampaian karena kau gadis piatu, dan di kampung kita adalah ‘sumbang’ memperbolehkan anak gadis merantau keluar sendiri tanpa keluarga walau itu hanya sebatas menuntut ilmu.
Mulai hari itu, selepas kita tamat menengah akhir, kau mengubur mimpimu rapat-rapat, lalu mengikatnya erat, dengan balutan semua harapanmu yang kau tompangkan padaku. Ya, kau sangat berharap aku bisa melanjutkan mimpimu, walau kau tahu, aku tak sepandai dirimu semenjak di bangku sekolah. Dengan semua harapan dan semangat yang kau beri, seakan air sungai yang mengalir tanpa henti di dadaku, aku pergi keluar dari kampung kita, melanjutkan cita-citamu yang sempat tertunda. Aku kuliah di salah satu kampus swasta dan tamat dengan IP sempurna. Kau berbinar sangat bangga padaku. Aku jadi pegawai negeri, seperti keinginanmu, sedang kau jadi guru mengaji. Aku juga sangat bangga padamu, kau tetap melanjutkan mimpimu untuk mengajar, seperti yang kau ceritakan, dan seperti yang kudengar selalu.
Kembali ke sore itu, indah sekali rasanya pertemuan akhir kita jika diingat-ingat. Aku pulang hanya sekali dalam sebulan, hari terakhir di akhir bulan, karena pulang sering-sering tentu memakan biaya yang lumayan, mengingat aku baru pegawai tingkat biasa. Aku selalu membawakan terang bulan pesananmu di bulan sebelumnya. Dan hari ini, 30 September adalah hari yang kau nanti dalam bulan ini, aku selalu berjanji untuk pulang di penutup bulan, aku ingin kau selalu menutupi akhir bulan dengan yang manis-manis, seperti terang bulan full coklat pesananmu yang paling manis di bulan lalu.
Kita banyak bercerita sore itu, tentang bagaimana antusiasnya anak-anak didikanmu minggu depan akan mengikuti MTQ di kecamatan, prestasi terbaik selama kau mengajar. Selama kau bercerita, aku hanya banyak mendengar. Aku melihat dunia di matamu. Teruslah begini, aku ingin tenggelam bersamamu di sini, di tempat yang ingin kubekukan waktunya agar kita bisa terus bersama.
Akhirnya, setelah banyak bercerita, kau kembali bertanya, perihal bagaimana keseriusanku untuk pernikahan kita. Pertanyaan yang sedari tadi kutunggu-tunggu. Kujelaskan padamu kabar gembira bahwa dua bulan lagi aku sudah mengancang-ancang bersama gaek beserta restu ibu, kami akan mengunjungi rumahmu, pertemuan pertama keluarga kita setelah sebelumnya hanya dikenalkan lewat kata saja. Aku akan melamarmu.
Aku tahu kau amat senang sore itu walau hanya kau pendam sebatas senyum malu-malu. Kita terlalu bahagia memandangi pematang sawah sore itu. Aku sudah lupa ada deadline laporan kinerja yang harus diselesaikan, dan kau juga lupa persoalan biaya administrasi MTQ peserta didikmu yang minim dana itu.
Namun, naasnya semua hari ini sudah disapu. Sebelum benar-benar kuceritakan pada kalian, sore itu sudah hampir menginjak senja. Aku pamit padamu, seperti pertemuan-pertemuan sebelumnya. Aku akan kembali ke kota tempatku mengajar. Dan sore itu, kau tampak lain, wajahmu tampak lebih anggun dari hari-hari sebelumnya, kau bersinar hingga silau aku hendak menatapmu berlama-lama. Jika disandingkan dengan senja sore itu, kau masih menang, Niskala.
Seperti yang sudah-sudah, aku berpamitan, dan kau mencium punggung tanganku. Kau bilang, “Kita akan kembali bertemu di sini bulan depan, Uda. Aku mau terang bulan rasa jagung, setengah coklat.”
“Jangan lagi dengan toping coklat ya, nanti kau terlalu manis, mabuk aku dibuatnya,” aku membalas merayu, kau hanya tersipu malu-malu. Wajahmu yang bercahaya itu jauh berbeda dari sebelum sebelumnya. Wajahmu memerah, entah karena malu setelah aku rayu, atau karena itu wujud terakhirmu yang paling indah? Entahlah!
Aku tersenyum, senyum perpisahan karena aku akan kembali. Namun kau bilang padaku, kau masih ingin duduk di pematang sawah ini menikmati sisa senja yang berlalu, sendiri. Aku sudah berusaha membujukmu agar kembali, karena takut kau akan pulang larut hari. Namun pernyataanmu selalu membuatku kalut. Aku tidak bisa memerintah lagi setelah kau memelas kekeh tetap ingin di sana, sendiri.
Kau menikmati pematang sawah dengan senja yang akan berlalu sebentar lagi, sementara aku pamit minta diri. Takut oplet terakhir hari ini terlewat begitu saja dan aku terpaksa berjalan kaki 25 kilometer jauhnya. Terang-terangan saja kukatakan, belum siap mengitari bukit ini dengan berjalan kaki karena akses kendaraan umum yang begitu susahnya.
Aku pergi dari tempat itu yang tak lama sesudahnya hancur melebur. Semua telah lenyap setelah aku pergi. Semua telah habis tepat setelah aku pergi. Tidak tahu apa yang tersisa lagi kecuali cerita kita dan janjiku membelikan terang bulan untukmu.
Goncangan keras telah melanda kampung kita, kuat sekali. 7,6 skala richter, informasi yang terakhir kudengar. Naasnya, berpusat di kampung kita. Kampung di sebuah perbukitan yang jauh dari jangkauan orang luar, semua jenis pohon tumbang sore itu, disusul hantaman longsor dari bukit ketiga yang tumbang, belakangan kuketahui tidak ada bangunan yang selamat, mulai dari surau labuh tempatmu mengajar itu, hingga bandar kali tempat anak-anak mandi setelah mengaji.
Kau melihat semuanya, aku tahu kau akan lebih hebat menceritakan ini dari padaku. Kau melihat semua orang luntang-lanting, anak tidak ingat ibu, ibu tidak lagi memikirkan anak. Semuanya hanya menyelamatkan nyawa masing-masing!
Aku sudah mencapai jalan raya, dengan berlari secepat yang kubisa. Aku terus berlari, berlari, dan berlari dengan hati setengah tinggal di pematang sawah itu. Hingga aku tau, kau terbawa. Dan ternyata, hanya aku, orang terakhir yang tersisa! ***
.
.
Rosidatul Arifah, merupakan seorang mahasiswi aktif Sastra Indonesia, FIB Unand dan tengah aktif berkegiatan di LPK (Labor Penulisan Kreatif) FIB UNAND.
.
.
Leave a Reply