Cerpen, Dadang Rhubido, Republika

Sepulang Haji

Sepulang Haji - Cerpen Dadang Rhubido

Sepulang Haji ilustrasi Da'an Yahya/Republika

2.5
(2)

Cerpen Dadang Rhubido (Republika, 23 Juni 2024)

I

“SELAMAT Datang Haji Sulaiman dari Tanah Suci Mekkah.”

Sebuah tulisan terbaca dengan jelas yang tergantung di sisi kiri-kanan tenda. Tenda itu membujur hingga seukuran lebar tiga rumah. Di bawahnya sudah tersusun kursi Elephant merah. Serta menggantung lampu mercury menyala terang mengalahkan gelap malam. Di atas meja tersaji berbagai kudapan khas Timur Tengah: kurma, kismis, kacang arab, serta segelas kecil air zamzam.

Haji Sulaiman tampak berwibawa dengan baju gamis, surban di leher, serta kopyah putih. Senyum Haji Sulaiman mengembang menyambut para tamu. Dengan antusias beliau menceritakan pengalamannya di tanah suci pada tamu yang belum bergelar haji. Beberapa cerita Haji Sulaiman diiyakan oleh temannya yang juga sudah bergelar haji hingga membuat yang lain berkecil hati.

Semua sudah berubah semenjak kedatangannya dari tanah suci. Penduduk desa tak lagi menyapanya dengan sebutan Pak atau bahkan sungkan bila harus men-jambal namanya. Mereka lebih senang bila memanggil dengan pak haji atau tak sedikit orang-orang memanggilnya abah atau ustad. Memang tak banyak orang yang mampu naik haji di desa ini. Sebelumnya hanya Pak Lurah yang sanggup memiliki gelar itu. Selain itu, sekarang nama Haji Sulaiman sudah tertera dalam papan jadwal imam di mushola desa. Penduduk menilai bahwa Haji Sulaiman sudah pantas mengimami mereka.

II

Mataku terasa tak kuat lagi untuk terbuka. Kepala ini terasa pening sekali. Aku antara sadar dan tidak. Tapi telinga ini masih dapat mendengar suara derai tawa yang hampa dari wanita-wanita di samping kami. Botol minuman keras dengan seperempat sisa masih erat kugenggam. Di atas meja masih menyisakan beberapa botol yang tampak masih penuh. Suara jangkrik tak lagi menarik. Dingin suhu malam yang membirukan kulit tak lagi mengganggu karena alkohol sudah membakarku.

Uang hasil sabung ayam pagi tadi sudah habis pada pesta ini. Membeli minuman keras serta memesan wanita malam untuk bersenang-senang. Besok bila uang sudah habis aku tinggal meminta bapak. Kalau tidak dikasih aku mencuri sepeda saja. Bila tak ada kesempatan, aku bisa mencuri ayam tetangga lalu aku jual ke pasar sebagai modal bermain judi. Aku seperti ini karena kehilangan panutan. Ibu satu-satunya contoh teladan telah berpulang.

“Seno anakku, bila ibu sudah tidak ada, kamu harus menjadi anak yang baik. Jangan nakal, ibu akan selalu mengawasimu dari surga.” Begitulah kata-kata terakhir ibu yang masih kukenang.

Bila mengingat itu, api dendam dalam hati seakan tersulut. Ibu menjadi sakit-sakitan setelah mengetahui bapak punya wanita idaman lain. Tak lama kemudian, bapak kawin lagi dengan wanita itu. Usianya tak terpaut jauh denganku sehingga aku merasa tak pantas memanggilnya ibu. Wanita itu bernama Marni. Wanita yang tak pantas kuperbandingkan dengan almarhum ibuku. Entah ayah menemukan wanita itu di mana.

Baca juga  Cengkung

Wanita itu hanya memperhatikan bapak. Bapak hanya memperhatikan istri mudanya hingga lupa padaku. Sakit hati ini membuat aku menjadi manusia tidak berguna seperti ini. Aku merasa rumah bagai neraka. Kasih sayang serta perhatian orang tua menjadi sesuatu yang sangat berharga bak pendulang pasir yang mengharap menemukan sebongkah emas.

III

Malam itu begitu dingin. Entah memang benar-benar dingin atau hanya perasaanku saja yang merasa dingin karena kesepian. Cuaca malam itu cukup terang, wajah langit kian bersih tanpa ada awan gelap yang menodai. Bintang-bintang berpendaran menyapa seperti pijara-pijaran lampu blitz yang sedang memotret seorang perawan. Sinar rembulan menghujaniku dengan cahaya keemasan. Saat itu aku sedang duduk di tepian jalan raya bergaul dengan wanita-wanita malam lain. Sebenarnya ini bukan hal baru bagiku. Sebelumnya aku menjadi primadona di tempat ini. Dengan berpakain kaus u can see dan rok mini tak lama menunggu pasti sudah ada pelanggan yang menghampiri.

Seorang pria dengan menggunakan sepeda motor menepi di depanku yang sedang duduk. Pria itu memakai helm teropong dan berjaket kulit hitam, dengan prawakan tegap.

“Marni.” Suara orang itu tiba-tiba menyapa.

Aku segera berdiri dan mendekatinya. Dari balik kaca helm itu aku melihat sepasang mata yang sepertinya aku kenal. Sepasang mata bergairah yang biasa aku tatap di sebuah ranjang saat sedang bercinta.

“Oh, Mas Priyo.”

“Sudah lama kamu tak terlihat di sini. Sudah lama pula aku mencari-carimu.”

“Iya Mas, aku baru saja menikah dengan seorang duda satu anak.”

“Lantas kenapa kamu mangkal di sini lagi? Apa tidak takut ketahuan suamimu?” kata Mas Priyo bertanya dengan mimik wajah yang keheranan.

“Tidak Mas. Suamiku sedang berangkat haji. Aku ditinggal sendiri di rumah dengan anak sialan itu. Jadi aku merasa kesepian, iseng-iseng aku datang saja kemari.”

“Kamu ini memang wanita yang tidak tahu diuntung, tapi aku merasa senang bisa bertemu denganmu, primadona yang telah lama menghilang.” Mas Priyo menggodaku. Wajahku langsung memerah bak kepiting rebus, untung saja gelap malam dapat menyamarkannya. “Marni, ayo pergi!”

“Ayo Mas, aku juga bosan lama-lama di sini.”

Dengan sebuah sepeda motor kami berboncengan menuju tempat yang sepi. Kami menuju sebuah gedung sekolah. Aku merasa sudah lupa dengan kewajibanku untuk menjaga kehormatanku sebagai seorang istri. Penyakitku yang dulu benar-benar kambuh. Penyakit yang dulu aku idap sebelum Mas Sulaiman datang mengentasku dari lembah hitam ini.

Baca juga  Kisah 19 Desember

Seketika kami berhenti di depan sebuah gedung sekolah yang tak jauh dari rumah suamiku. Dengan celingak-celinguk kami memasuki gedung sekolah itu. Tangan Mas Priyo memeluk perutku dan kepalaku bersandar pada bahunya persis dua pasang insan yang sedang mabuk asmara. Kami mendapati sebuah ruang kelas yang pintunya tidak terkunci. Sedikit sekali cahaya yang masuk di kelas itu membuatnya tampak sempurna mengalahkan losmen kelas melati yang biasa kami sewa. Tak lama kemudian kami berdua sudah terjebak oleh nafsu setan.

IV

Tangan kakek itu yang mulai melihatkan guratan-guratan usia menggandeng tangan seorang gadis berpakaian putih-merah. Di mulutnya terselip sebuah peluit serta tangan kanannya mengayun-ayunkan sebuah tongkat kayu bertuliskan STOP pada kardus yang tertempel pada ujung tongkat itu.

Priiiiiitttttt…!

Suara peluit itu masih terdengar nyaring walaupun umur kakek sudah menginjak tujuh puluh tahun. Seketika kakek dan segerombolan anak SD itu sudah berada di seberang jalan utama yang menghubungkan antarkota. Tak heran jika jalan itu padat dilewati oleh bus, truk serta mobil dengan kecepatan tinggi yang tak jarang terjadi kecelakaan.

Begitulah rutinitas kakek sehari-hari. Mondar-mandir menyeberangkan jalan anak-anak sekolah tanpa mengharap imbalan yang muluk-muluk. Hanya gaji yang cukup untuk makan sendiri selama sebulan. Tapi itu lebih dari cukup buatnya karena kakek hanya tinggal sendiri di gubuk reot yang menempel di gedung sekolah itu. Bila sedang mujur ada saja orang tua siswa yang memberinya rokok atau uang sekadar untuk ngopi di warung.

Suatu malam di dalam gedung sekolah dasar tempat tinggalnya, kaki kakek Misno yang mulai rapuh termakan usia melangkah menuju sumber suara. Suara cekikikan yang berasal dari suara wanita dan pria itu mengarahkannya pada salah satu ruang kelas gelap di gedung sekolah dekat tempat tinggalnya. Mereka berdua sedang melakukan hal-hal yang menurut agama dan menurut tradisi timur merupakan perbuatan yang amoral. Matanya yang mulai senja itu masih mampu untuk mengenali sesosok wanita di dalam ruang kelas itu.

V

Matahari mulai tenggelam di ufuk barat. Menciptakan siluet-siluet jingga dengan obyek pohon kelapa. Di timur langit sudah menghitam padam, sedangkan lawannya masih tampak memerah darah. Mungkin jika ada fotografer ke desa ini, foto art-nya akan memenangkan lomba fotografi jika mengambil panorama itu sebagai obyek.

Suara adzan Maghrib bak panggilan alam yang menyerukan untuk datang. Datang menuju satu-satunya mushola di desa ini. Mushola Al Maghfiroh, begitulah yang tertulis di papan yang tertempel di atas pintu masuknya. Mushola dengan jendela-jendela lebar yang menyajikan panorama persawahan di sekelilingnya. Tak besar, hanya sekitar sepuluh langkah kaki orang dewasa untuk lebarnya serta limabelas langkah kaki untuk panjangnya.

Baca juga  Dia Datang untuk Pergi

Pada papan jadwal tertulis nama Haji Sulaiman sebagai imam pada Sholat Maghrib ini. Setelah suara adzan selesai berkumandang. Mushola itu telah terisi tiga perempat jamaah dari kapasitas maksimal. Jika dihitung sekitar sama dengan batas minimal jumlah makmum pada sholat Jumat.

“Berhenti! Jangan terburu- buru memulai shalat ini. Aku keberatan jika shalat ini diimami oleh Sulaiman.” Orang-orang seketika tersentak mendengar suara itu termasuk Haji Sulaiman.

“Hai orang-orang, apa kalian sudah buta hingga tak bisa membedakan mana yang baik atau buruk. Apa hati kalian sudah membusuk oleh virus-virus ketidakpedulian hingga kalian tidak keberatan ibadah suci ini dipimpin oleh orang seperti dia. Gelar hajimu tak mampu membutakan mataku.” Terdengar suara dari mulut seseorang yang tampak tidak muda lagi. Ternyata suara itu berasal dari kakek Misno.

“Lancang sekali kamu berkata seperti itu. Apa yang membuatmu keberatan jika shalat ini aku imami. Hampir seluruh syarat sudah aku penuhi untuk menjadi imam. Aku pria yang sudah dewasa, bacaan shalatku fasih, selain itu aku juga sudah bergelar haji. Lalu apanya yang kurang?”

“Ada satu hal yang kurang.”

“Apa?”

“Kamu telah gagal menjadi imam dalam keluargamu. Beberapa waktu lalu aku melihat anakmu si Seno mabuk-mabukan di dekat makam. Kemarin malam aku melihat istrimu Marni berzina dengan laki-laki lain di gedung sekolah. Buat apa menjadi haji lalu sok ngomong tentang moral pada orang lain sementara anak dan istrimu tidak bermoral. Apa gelar haji itu hanya untuk memburu pujian dan kehormatan dari orang lain sehingga kamu merasa bangga dengan keterbuaiaan itu. Hanya orang yang sama busuknya yang mau menghormati orang seperti kamu. Lantas apakah pantas jika kamu mengimami kami?”

Suara lantang itu telah membuat Haji Sulaiman terdiam. Diam yang mungkin akan diartikan sama oleh kebanyakan orang. ***

.

.

Dadang Rhubido lahir di Surabaya pada 10 Mei 1986. Ia kini dosen Sastra Indonesia di Universitas Negeri Surabaya.

.
Sepulang Haji. Sepulang Haji. Sepulang Haji. Sepulang Haji. Sepulang Haji. Sepulang Haji. Sepulang Haji.

Loading

Average rating 2.5 / 5. Vote count: 2

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!