Cerpen Kiki Sulistyo (Koran Tempo, 23 Juni 2024)
SEEKOR anjing. Ada bau darah. Samar. Hilang dan datang bagaikan peraturan pemerintah yang kejam.
Beberapa bulan sebelumnya ada pemberontakan. Sebetulnya bukan pemberontakan, melainkan tuntutan. Gedung DPR dikuasai, pemerintahan harus diganti. Tokoh cerita ini ikut di dalam kerumunan demonstran. Ia seorang buruh pasar. Bukan mahasiswa. Kerjanya angkat-angkat keranjang penuh sayuran atau ikan. Ia tak pernah bersekolah kecuali pada waktu sekolah dasar. Bangunan sekolahnya bobrok. Tak ada siswa yang pakai sepatu. Tak ada siswa yang membawa tas. Semua siswa di sekolah itu miskin. Bahkan ada yang sangat jarang makan sehingga selalu lemas. Termasuk tokoh cerita ini. Barang siapa sempat mengamat-amati tokoh cerita ini dengan teliti pada masa kecilnya, maka ia akan melihat bahwa di mata tokoh cerita ini terdapat dorongan yang sangat kuat untuk memberontak.
Sekolah itu terletak di sebuah jalan kecil. Banyak anjing di sekitar jalan itu. Pernah ada anak mati digigit anjing. Bukan langsung mati, melainkan terjangkit rabies lebih dulu. Setelah kejadian itu, anjing-anjing di sekitar jalan itu dibantai semua. Waktu tokoh cerita ini ikut demonstrasi dan bergerak memasuki dan menguasai gedung DPR, ia ingat peristiwa pembantaian anjing-anjing. Ia mau ikut dalam peristiwa pembantaian itu. Ia mau menghabisi tiga ekor anjing dengan pisau besar yang dibuatnya sendiri, tapi tidak jadi. Seseorang menyita pisau besar itu.
Sekarang, kini dan di sini, tokoh cerita ini sedang mengamat-amati mayat yang terapung-apung di dalam sumur. Tokoh cerita ini, ketika mengamat-amati mayat, sudah berumur 27 tahun. Rambutnya ditata rapi. Pakai pomade. Ia mengenakan seragam yang sepintas lalu tampak seperti seragam polisi. Akan tetapi, ia bukan polisi. Kalau ia polisi, ia pasti melakukan sesuatu. Misalnya pura-pura tidak tahu.
Tokoh cerita ini membayangkan mayat yang terapung-apung di dalam sumur itu tak lain adalah dirinya sendiri.
Pada masa pembantaian anjing, sebelum pisau besarnya disita, sebetulnya tokoh cerita ini sudah berlatih dengan serius. Ia menyabet-nyabetkan pisaunya ke sana kemari. Ia menikam-nikamkan pisaunya ke udara kosong di sekitarnya. Sempat terpikir dalam benaknya untuk menunjukkan hasil latihannya kepada ibunya, tapi tidak jadi, sebab ibunya tidak ada dalam cerita ini. Ibunya berada di dalam cerita pengarang lain.
Sempat pula terpikir dalam benaknya untuk menunjukkan hasil latihannya kepada bapaknya, tapi tidak jadi, sebab bapaknya juga tidak ada dalam cerita ini. Bapaknya masih terperangkap dalam gagasan seorang pengarang lain. Bukan pengarang lain yang menulis cerita di mana ibu tokoh cerita ini berada, melainkan pengarang yang lain lagi. Sebelum gagasan itu dituliskan, pengarang lain itu sudah lebih dulu mangkat.
Setelah demonstrasi berhari-hari, setelah tuntutan dilontarkan tiada henti, pemerintahan lama akhirnya tumbang. Presiden undur diri. Pemilu dipersiapkan. Tokoh cerita ini kembali bekerja sebagai buruh pasar.
Letak pasar itu di sebuah jalan kecil. Dekat dengan bangunan sekolah yang bobrok itu. Di pasar itulah dulu anjing-anjing suka berkumpul. Anak yang mati kena rabies mulanya digigit anjing di pasar itu saat ia sedang mencari sisa-sisa sayur busuk untuk dimasak, atas suruhan neneknya yang buta. Waktu anak itu mati, nenek yang buta itu tak bereaksi apa-apa. Ia tak sedih. Ia bahkan tak pernah menganggap cucunya mati. “Anakku yang mati, cucuku masih hidup,” katanya selalu setiap ada orang yang memberitahunya bahwa cucunya sudah mati ketika orang itu tak tahan oleh rasa kasihan setiap kali nenek itu memanggil-manggil cucunya.
Di masa pemilu, petugas pemilihan mendatangi nenek itu untuk memaksanya memilih calon presiden baru. Seorang petugas menuntun nenek itu melubangi foto satu calon presiden. Nenek itu menangis tersedu-sedu, ia merasa yakin bahwa petugas yang menuntunnya melubangi foto calon presiden tidak lain adalah cucunya.
Sekarang, kini dan di sini, bau darah membuat seekor anjing bangkit dari tidurnya. Mengendus-endus, mencari sumber. Binatang itu melintasi rumah-rumah dan penghuni yang duduk-duduk di depannya. Pemilu tak membawa perubahan apa-apa, bahkan keadaan menjadi lebih gawat. Ekonomi terhuyung-huyung; kerepotan membagi makanan ke semua orang. Sebagian orang menderita kelaparan, dan karena sebagian orang menderita kelaparan, sebagian anjing juga menderita kelaparan.
Anjing yang mengendus bau darah itu juga kelaparan. Ia sampai di sumur, dari mana sumber bau itu berasal. Di dekat sumur, tokoh cerita ini berdiri. Di dalam sumur, ada mayat terapung-apung. Anjing naik ke pinggir sumur dan turut menengok ke bawah. Anjing itu tidak sendirian. Dua anjing lain muncul. Semua anjing itu kelaparan. Semua anjing itu naik ke tepi dan menengok ke dalam sumur. Tokoh cerita ini teringat masa pembantaian anjing-anjing. Ia mau merebut kembali pisau besar yang ia buat sendiri, tapi tidak jadi, sebab ia teringat bahwa yang menyita pisau itu, tidak lain, adalah pengarang cerita ini.
Tanda diduga-duga, tokoh cerita ini terjun ke dalam sumur. Anjing-anjing yang kelaparan melolong. Tubuh tokoh cerita ini sempat tenggelam, tapi dengan gerakan yang indah ia mengepak-ngepakkan tangannya dan berputar-putar di permukaan sumur, mengitari mayat yang terapung-apung, bagaikan seekor ikan. Lantas ia mulai menggigit daging mayat yang terapung-apung itu. Anjing-anjing makin gelisah, satu di antaranya kemudian ikut terjun ke dalam sumur; ikut berputar-putar sebentar sebelum turut menggigit daging mayat. Tokoh cerita dan anjing makan sama-sama. Sementara itu, dua anjing yang lain masih melolong-lolong di tepi sumur.
Tokoh cerita ini terhenti memakan mayat ketika dari atas terdengar seruan. Tokoh cerita ini mendongak. Tampak olehnya seseorang menengok ke bawah. “Apa yang kau lakukan di sana?”
Tokoh cerita ini mengingat-ingat apakah ia kenal orang itu. Aha, tak salah lagi dia bukan pengarang cerita ini, sebab yang berdiri di tepi sumur itu seorang laki-laki, sedangkan pengarang cerita ini tidak begitu jelas jenis kelaminnya.
“Kenapa kau memakan daging tokoh ceritaku? Itu sama saja kau memakan daging bapakmu,” ucap laki-laki itu. Ia menghilang sebentar kemudian kembali sambil bersusah payah mengangkat sebuah tangga.
“Naiklah, jangan kau lanjutkan perbuatanmu. Ketimbang memakan daging bapakmu, kenapa tak kau makan anjing-anjing ini saja?”
Tokoh cerita ini termenung. Kemudian, di luar kehendaknya, ia meraih tangga dan naik ke tepi sumur. Rambutnya yang semula rapi sudah lengket di kepalanya bagaikan lumut prasejarah; seragamnya kuyup dan menetes-neteskan air sehingga tokoh cerita ini tampak seperti satu-satunya pohon yang tersisa di hutan, di tengah hujan. Mulutnya masih mengunyah daging mayat. Anjing yang tadi ikut terjun, turut naik, seakan-akan anjing itu adalah bayangan tokoh cerita ini.
Sampai di tepi sumur, laki-laki itu langsung menuntun tokoh cerita ini. Mereka berjalan menuju cerita yang lain. Tiga anjing mengikuti mereka dari belakang. Di sepanjang jalan, umbul-umbul, baliho, dan poster pemilihan umum yang sudah tercabik-cabik, tampak seperti kalimat-kalimat yang tidak dibutuhkan.
Laki-laki itu memberikan baju ganti kepada tokoh cerita ini. Itu selembar jubah panjang. Setelah membasuh diri, tokoh cerita ini mengenakan jubah, dan seketika itu juga wajahnya jadi bercahaya. Melihat hal itu laki-laki tadi langsung semringah, ia betul-betul terharu, sampai menangis tersedu-sedu sembari menangkupkan tangan macam orang berdoa. Laki-laki itu, si pengarang cerita lain, membayangkan bahwa ia akan mendapat penghargaan sekaligus puja-puji karena tokoh ceritanya yang demikian indah dan suci. Ruang seketika dibanjiri cahaya, memancar-mancar, menghilangkan semua sosok dan semua benda yang ada di dalamnya.
Tatkala banjir cahaya itu surut, laki-laki tadi, juga tiga anjing, sudah lenyap. Kelanjutan cerita ini kembali ada di tangan pengarang cerita ini.
Akan tetapi, sekarang, kini dan di sini, tokoh cerita ini sendirian saja. Sebetulnya sejak tadi pengarang cerita ini diserang rasa bosan bukan kepalang. Tokoh cerita ini dapat melihat pengarang cerita ini mulai malas melanjutkan cerita ini. Tokoh cerita ini mendongak, seakan-akan ia masih berada di dalam sumur, lalu tangannya terjulur berusaha keluar dari sela-sela aksara. Dari mulut tokoh cerita ini, bagaikan sebilah pisau yang dihunus, melesat lolongan panjang dan memilukan.
Pengarang cerita ini sudah mengarang cerita lain sewaktu ia mendengar suara lolongan itu. ***
.
.
Kiki Sulistyo lahir di Ampenan, Lombok, Nusa Tenggara Barat. Ia telah meraih beberapa penghargaan, yaitu Kusala Sastra Khatulistiwa (kategori puisi) 2017, Tokoh Seni Tempo (Sastra-Puisi) 2018 dan 2021, serta Penghargaan Sastra Kemendikbudristek (kategori puisi) 2023. Kumpulan cerpennya yang terbaru berjudul Musik Akhir Zaman (Indonesia Tera, 2024).
.
Cerita Ini Berjalan Menuju Cerita Lain. Cerita Ini Berjalan Menuju Cerita Lain. Cerita Ini Berjalan Menuju Cerita Lain.
sheesh
ada yg bisa jelasin?
Anggara Merah Wicaksono
Keren. Makin ajib saja bg Kiki