Abdillah Syafei, Annida, Cerpen

Mandau Berdarah

Mandau Berdarah - Cerpen Abdillah Syafei

Mandau Berdarah ilustrasi Majalah Annida

5
(4)

Cerpen Abdillah Syafei (Majalah Annida No. 04/XI/10 November 2001)

KUCIUM sekali lagi ‘Talang Nyawa’, mandau pusaka peninggalan almarhum kakekku. Bau wangi bunga melati tercium menusuk hidung dan terus merambat ke aliran darahku. Seakan ada kekuatan gaib yang menyusup di antara daging tubuhku.

Astaghfirullah!” Aku beristighfar nyaring, membuat Lawing dan Nanjau yang tengah menantiku di halaman menoleh bersamaan. Agaknya dua sahabatku itu merasa terkejut dengan pekikanku barusan. Tapi sesaat kemudian mereka kembali mengarahkan pandangannya ke arah kampung seberang.

Kugenggam Mandau Talang Nyawa yang konon tujuh puluh lima tahun lalu pernah digunakan oleh almarhum kakek memenggal kepala Belanda. Menurut ayahku sudah seratus kepala Belanda dan dua belas kepala penghianat bangsa yang menjadi korban mandau pusaka ini. Dan kini rambut mereka berjuntaian menjadi hiasan hulu mandau. Aku sendiri merasakan hawa pembunuh menyusup ke dalam diriku saat mencium benda ini. Namun Istighfar yang secara sontak kusebut tadi segera mengembalikan kesadaranku. Buru-buru ‘Talang Nyawa’ kusarungkan lagi ke kumpang-nya.

Aku masih ragu. Kutahan sejenak langkahku di depan pintu hingga akhirnya terpaksa harus memutuskan untuk mengikuti warga kampung menyerang ke pemukiman orang-orang Madura di desa Bangun Sari. Ada sesuatu yang mengganjal di hati ini, tapi apa? Entahlah! Aku membentak batinku sendiri. Tidak ada alasan bagiku untuk mundur.

Apakah aku takut? Ha..ha..ha…. Tidak ada sejarahnya keturunan ‘Gusti Tuganal’ menjadi seorang penakut. Belantara Mahakam hingga Kapuas sudah kenyang aku jelajahi. Hantu dan binatang hutan sudah menjadi sahabatku. Bahkan bukan sombong, Alas Purwo di pulau Jawa sana sudah pernah ku-‘obok-obok’ sewaktu ku-nyantri di Jawa Timur.

Aku memang belum pernah membunuh orang, tapi aku juga tidak perlu ragu untuk bertempur. Bukankah warga Madura itu telah keterlaluan? Mereka begitu arogan. Aku masih ingat bagaimana tetanggaku sewaktu di Pangkalan Bun dulu, si Mat Zohir, dengan seenaknya memetiki buah durian milik kakekku. Saat kakek menegur mereka, eh bukannya meminta maaf. Tapi Mat Zohir dan dua orang kawannya malah mengeluarkan celurit dan mengeroyok kakek.

Beruntung kakek pernah menguntal minyak Bariaban sehingga celurit-celurit yang memang sudah bengkok itu semakin terpelintir. Mat Kadir dan dua kawannya akhirnya lari lintang-pukang.

***

Dua pertempuran sudah kami menangkan dengan sangat mudah. Kampung Bangun Sari dan Tapak Mundir tak memberikan perlawanan yang berarti. Begitu melihat kedatangan kami para warga pendatang itu sudah lari terbirit-birit. Hanya beberapa orang saja yang bernasib sial tak sempat meloloskan diri, dicincang oleh pasukan Lawing.

“Hahaha mana celurit yang katanya bisa rok-carok itu?” Nanjau terbahak-bahak. Tampak keangkuhan memancar dari wajah pemuda Dayak ini. Aku sendiri hanya tersenyum kecut menyaksikan kawan-kawan yang berpesta pora mengambil barang-barang yang ditinggalkan begitu saja oleh para pemiliknya.

Api berkobar-kobar menghanguskan rumah-rumah beratap daun rumbia, laksana lidah-lidah setan yang dengan lahap menyantap hidangannya. Hawa panas semakin menggelorakan semangat untuk membunuh, memenggal, menghancurkan, dan mengusir kaum pendatang itu dari bumi Kalimantan ini. Aku sendiri mulai bisa menikmati suasana ini, meski selama dua hari mengikuti penyerangan, belum satu kepala pun yang aku penggal. Keyakinan sebagai muslim membuatku tidak mampu untuk mengayunkan mandau yang masih tergenggam erat di tangan.

Lawing kulihat terkekeh-kekeh seraya menyelipkan sebilah rokok ke dalam mulut sebuah kepala yang baru saja dipenggalnya. Kemudian kepala itu ia taruh di atas sebuah tunggul Ulin. Kawan-kawan yang lain pun tertawa riuh menyaksikan kelakuan Lawing. Semuanya berpesta pora malam itu merayakan kemenangan. Kawan-kawan minum tuak dan la’ang hingga larut malam.

***

“Hari ini kamu harus dapat kepala, Madin!” teriak Lawing sambil menarik tanganku ke atas truk. Kami kurang lebih lima puluh orang berdiri berjejal di atas mobil besar itu. Di belakang beberapa mobil lagi mengangkut anggota pasukan yang lain.

“Kamu takut ya?” Nanjau ikut-ikutan menanyaiku.

“Ah, tidak. Hanya belum dapat kesempatan,” sahutku seraya tersenyum menutupi kegugupan.

Baca juga  Bahri

“Kamu harus buktikan bahwa keturunan ‘Gusti Tuganal’ bukan orang sembarangan!” Ujar Lawing memberiku semangat.

“Iya. Apa kata Roh leluhur jika tahu bahwa keturunannya tidak bisa meneruskan keperkasaan mereka!” Nanjau menimpali. “Rugi kau menyelipkan ‘Talang Nyawa’ di pinggang jika hanya dijadikan hiasan.”

“Ayahmu pasti kecewa jika para tukang “te-sate” itu belum ada yang kau penggal!” Lawing setengah berteriak berusaha membangkitkan dendamku.

Kupikir benar juga. Untuk apa aku membawa ‘Talang Nyawa’ jika sepanjang hari nanti tak kudapatkan sebuah kepala pun. Tapi masalah Roh leluhur? Ah! Aku tak terlalu percaya dengan perkataan mereka. Begini-begini aku bukanlah muslim yang percaya dengan hal-hal berbau syirik. Makanya saat ketua kampung mengadakan Belian untuk memanggil roh leluhur agar memberi kekuatan kepada pasukan kami aku tidak ikut serta. Kurasa pengalamanku nyantri di Martapura dan Jombang masih cukup mengendalikan aqidahku.

Dalam hal perang? Aku memang sempat ragu. Tapi bukankah posisiku saat ini memang harus begini? Aku harus mempertahankan kehormatan diri, keluarga dan kampung halamanku. Kurasa aku telah berjihad. Jihad? Apakah semudah itu aku menyebut pembantaian ini sebagai jihad? Ya, kenapa tidak! Apakah membela kehormatan ayahku yang juga dibantai di pasar Kota Sampit hanya gara-gara tersenggol tukang sate itu bukan jihad? Meski sebelum menghembuskan nafasnya ayah berulang kali memintaku agar tidak membalas dendam, tapi apakah sebagai anaknya aku tak punya hak untuk menuntut qishas?

Ah! Kubuang semua pikiran yang mengganggu ini. Aku harus tegar. Aku harus berani. Aku harus mempertahankan nama besar ‘Gusti Tuganal’. Hari ini aku harus memenggal sepuluh, bahkan seratus kepala dengan mandau ‘Talang Nyawa’.

Mobil yang membawa kami terus bergerak menyusuri jalanan berbatu, menembus belantara lebat untuk sampai di kampung Kampar. Kampung ini merupakan basis terkuat pemukiman warga Madura. Sudah empat kali serangan dari hulu sungai dilancarkan namun tak membuahkan hasil. Meskipun dari mereka banyak yang terbunuh, tapi tak kurang dari delapan orang warga kami juga tewas.

Hari ini dua belas truk penuh, rasanya akan cukup untuk mengobrak-abrik perkampungan itu. Kami sudah mengerahkan hampir dua ribu orang terdiri dari orang Dayak, Melayu dan sebagian Banjar. Aku sendiri adalah warga Banjar yang terpilih karena aku keturunan Gusti Tuganal. Nama yang selama ini membuat keluargaku disegani oleh semua suku tanah Kalimantan ini sekaligus juga memberi beban berat bagiku.

Aku yang seorang santri harus berulang kali ke kantor polisi hanya untuk mendamaikan warga yang berkelahi. Atau mesti mengurusi orang yang ketangkapan berzina. Bahkan pernah dirikuku sendiri nyaris terbunuh ketika ada seorang warga yang mencuri ayam meminta perlindunganku. Untung kepala adat kampung Sungkai Dalam—tempat kejadian itu—masih ingat dengan wajahku saat ia bertamu kepada ayah di rumah kami.

***

Agaknya pertahanan kampung Kampar memang sangat kuat. Pemuda-pemuda di sini sangat tangguh. Mereka bertempur dengan penuh kepercayaan diri. Kulihat beberapa pasukan kami yang menyerbu di depan sudah banyak yang terluka. Lawing saja sudah terkena celurit di paha kirinya, untung tidak terlalu parah. Nanjau terpaksa mundur, menyeret Lawing ke arahku sambil marah-marah.

“Apa kerjamu Madin?! Kenapa hanya menonton saja?!!” Nanjau melotot kepadaku. “Pulang sana pengecut! Percuma kamu jadi keturunan Gusti Tuganal! Buang saja Talang Nyawa-mu itu bangsat!!!” Mulut Nanjau memaki-maki aku sambil tangannya bergerak cekatan membebat luka Lawing.

“Potong saja kemaluanmu itu banci…!” Lawing yang sedang meringis kesakitan pun berusaha berteriak dengan suara yang mulai melemah.

Pengecut?!! Banci?!! Darahku mulai naik. Kugenggam hulu ‘Talang Nyawa’ kuat-kuat dan kudekatkan ke wajah. Kujilat besi tua yang terasa dingin itu. Aneh! Aku tak lagi mencium bau wangi Bunga Melati. Yang ada hanya semerbak aroma anyir darah. Bulu kudukku mulai merinding. Badanku bergetar hebat. Tak kudengarkan lagi bentakan Lawing dan Nanjau. Kini aku asyik dengan diriku sendiri bersama hawa pembunuh yang kubiarkan menyusup kedalam setiap urat di tubuh ini.

Dengan Talang Nyawa di tangan, secepat kilat aku berlari memburu ke arah kelompok Madura yang tadi melukai Lawing. Aneh, Talang Nyawa belum menyentuh salah satu pun di antara mereka, namun orang-orang itu sudah lari tunggang langgang.

Baca juga  Tangis Api

Setelah beberapa saat mengamuk, aku menoleh sejenak kepada Lawing, tampak dua sahabatku itu tersenyum bangga. Sekejap kemudian aku kembali menyerbu bersama beberapa anggota pasukan. Dengan gerakan yang cepat, kami mengejar orang-orang yang berhamburan menyelamatkan diri.

***

Aku terus berlari mengamuk dan masuk begitu jauh ke tengah perkampungan warga Madura. Meski belum ada yang sempat terpenggal, kini sudah puluhan orang yang terluka oleh Talang Nyawa.

Tapi tiba-tiba aku terpojok. Sekelompok orang berhasil memancingku ke suatu sudut jalan berpagar. Di kananku ada sebuah sungai dengan airnya yang deras, sementara di sebelah kiri gerombol pohon salak memagari langkahku. Kurang lebih lima belasan orang bersenjatakan celurit dan panah berlari memburu ke arahku. Aku seperti baru tersadar bahwa tadi aku bertarung tanpa perhitungan. Perlahan perasaan takut mulai merayapi hatiku. Tak bisa kubayangkan bagaimana jika celurit-celurit besar dan mengilat itu merobek-robek perut lalu menghamburkan ususku. Atau panah-panah besi itu menembus kepala dan mencerai-beraikan otakku.

“Ya, Allah!” Aku baru teringat kepada Allah.

Setan apa yang tadi merasukiku hingga aku tak bisa mengendalikan diri? Mengapa sekarang baru takut mati? Bukankah ini Jihad? Mati Syahid? Hati nurani memprotes kenekatanku tadi.

Ah! Nanti dulu! Orang-orang itu semakin dekat, aku harus segera menyelamatkan diri. Nekad kuceburkan diriku ke sungai dan berusaha berenang keseberang. Arus sungai yang deras menyebabkanku terbanting-banting di antara bebatuan. Sesekali aku meluncur di antara kehem. Kulihat para pengejar yang membawa panah membidikkan anak panahnya ke arahku dan beberapa detik kemudian anak panah -anak panah terbuat dari besi itu pun berhamburan menghujaniku.

Aku berusaha menyelam ke dasar sungai. Tapi terlambat, dua buah anak panah menancap di paha dan tanganku. Akupun menyelam dan tak timbul lagi.

***

Aku menemukan sebuah mangkuk dan sebotol air di dekat pembaringanku. Ya, aku terbaring di sebuah dipan bambu. Kutebarkan pandangan sekeliling. Terasa asing. Ini pasti bukan rumah penduduk asli. Lamat-lamat aku mendengar suara gaduh dan beberapa saat seorang pemuda dengan menggenggam celurit berlari masuk. Aku tersentak dan berusaha bangun. Kupikir aku harus mempertahankan diri. Tapi apa daya, tenagaku sudah tidak ada lagi. Aku justru mengerang kesakitan dan terjatuh dari dipan bambu itu.

“Jangan…! Jangan bergerak!” ujar pemuda itu seraya memburu ke arahku.

Didekatinya aku. Aku berusaha berontak. Kupikir dia pasti akan mencelakaiku. Tapi usahaku sia-sia, aku benar-benar tak bisa bergerak. Akhirnya aku hanya bisa pasrah sambil tak henti-hentinya berzikir di dalam hati.

“Ya, Allah jika ini memang ajalku, jemputlah aku dengan husnul khatimah.” Batinku. Aku berusaha pasrah meski dengan tubuh gemetaran. Gemetar karena sakit, sekaligus karena takut akan kematian.

Kupejamkan mata rapat-rapat. Aneh, kurasakan tangan pemuda Madura itu justru merangkulku dan saat aku membuka mata, dengan tersenyum ia memapahku kembali ke atas dipan. Dengan ragu aku membalas senyum itu. Tak terasa lagi nyeri yang sejak tadi menyiksaku. Aku berbaring kembali di atas dipan dengan tatapan antara heran dan curiga.

“Istirahatlah di sini Madin,” ujar pemuda Madura itu sambil tetap dengan senyumnya. Aku tersentak. Di mana dia tahu namaku? Apakah ia musuh keluargaku, dan sekarang akan menghabisiku?

“Masak kamu lupa sama aku?” pemuda kekar itu seperti menyuruhku untuk mengingatnya.

“Siapa kamu? Kenapa kamu tidak membunuhku? Ayo, bunuh aku!!! Lakukan!!! Apa kamu mau menyiksa aku terlebih dahulu?!!! Bangsat!!!” ucapannya kujawab dengan sumpah serapah.

Masya Allah! Seperti inikah sekarang si ‘Tuan Guru Berincung’?” ujar pemuda itu membalas makianku.

Tuan Guru Berincung? Aku terkejut. Dia menyebut Tuan Guru Berincung? Bukankah itu gelar yang diberikan oleh kawan-kawanku yang usil sewaktu aku mondok di Jombang dulu? Ya! Karena aku berasal dari Banjar yang terkenal dengan Kitab Berincung-nya mereka menyebutku dengan nama ‘Tuan Guru Berincung’, panggilan ejekan yang mula-mula diberikan oleh….

Baca juga  Risalah Malin

“Dul Qodir…?” tanyaku lemah.

“Tul-betul, Din!” jawab orang yang tak lain adalah Abdul Qodir. Teman asal Madura yang pernah sama-sama mondok di Jombang. Dulu aku selalu bermusuhan dengannya karena dia terlalu sering mengejekku. Bahkan pernah suatu ketika, karena tak tahan diejeknya, Dul Qadir yang sebenarnya bukan anak jahat itu berdarah-darah kupukuli. Dan saat teman-temannya akan mengeroyokku, Dul Qadir malah menghalangi.

“Jangan! Kami sedang latihan silat kok!” ujar Dul Qodir memberikan alasan. Meski dengan setengah tidak percaya akhirnya kawan-kawan Dul Qadir meninggalkan kami.

Sejak saat itu, Dul Qadir menjadi kawanku yang paling dekat. Bahkan kami sempat bertukar ilmu bela diri. Dia mengajariku jurus-jurus permainan celurit dan aku membalasnya dengan mengajari permainan ‘Mandau Berdarah’. Ilmu permainan mandau yang hanya boleh diberikan kepada keturunan Gusti Utuh Ganal.

Dul Qodir memelukku meski aku tak bisa membalas pelukan itu. Hanya tangan kiri yang tidak terluka saja yang bisa kurangkulkan ke pundaknya. Senyum Dul Qodir tetap mengembang. Hanya saja satu demi satu butiran-butiran air menetes dari matanya yang memerah. Aku pun tak bisa menahan keharuan yang seakan menyayat-nyayat hati ini. Beberapa saat kami tidak berbicara, hanya suara isakan yang saling meningkahi membuka dialog batin yang sedemikian jelas maknanya bagi kami berdua.

“Mengapa kita harus bertemu dalam situasi seperti ini, Dul?” tanyaku setelah Dul Qodir pelan-pelan melepaskan dekapannya.

“Aku juga tidak mengerti, Din,” jawab si Dul sambil menggeleng pelan. Diusapnya air mata yang sebenarnya masih saja mengalir.

Aku masih ingin berkata-kata ketika tiba-tiba di luar terdengar suara gaduh. Beberapa orang dengan bahasa Madura memanggil-manggil Dul Qadir.

“Ya! Sebentar!!!” Dul Qadir berteriak menyahut. Kemudian ia beralih kepadaku. “Sebaiknya kamu berbaring saja di sini, Din. Tidak lama lagi, kawan-kawanmu akan datang ke sini. Aku tidak mungkin membawamu. Kalau teman-temanku tahu, pasti kamu sudah dicincangnya. Aku hanya bisa menolongmu sampai di sini. Sampai berjumpa lagi Ikhwan, Assalamu ‘alaikum!” Dul Qadir bergegas menyambar celuritnya dan berlari keluar. Walau sekilas, kulihat air mata makin deras berhamburan dari wajahnya.

Ya Rabbi…. Kau pertemukan aku dengan Dul Qadir dalam situasi begini. Kau bukakan mata hatiku dengan hikmah yang sedalam ini. Betapa di saat seperti ini, persaudaraan sedemikian terasa di antara kami.

Ya, Hayyu. Ya, Qawiyyu. Berikan kehidupan dan kekuatan kepada Dul Qadir. Selamatkan ia dari buasnya pertikaian ini. Sesungguhnya kami-kami ini hanyalah korban dari ulah segelintir orang yang membawa-bawa nama suku untuk kepentingan sendiri.

Ya, Ilahi. Sadarkanlah kami.

Ya, Gafur. Ampunilah hambamu ini. Hanya karena menuruti hawa nafsu dan kebanggaan diri, hampir saja aku membunuh orang-orang Madura yang tidak berdosa.

Tiba-tiba kembali terdengar suara gaduh di luar. Dari bahasanya, aku bisa mengetahui bahwa mereka adalah kawan-kawanku. Tak lama, beberapa orang tampak berlompatan memasuki rumah.

“Hei! Itu Madin!!! Madin masih hidup!!!” Suara Lawing dan Nanjau kudengar lamat-lamat. Setelah itu aku tak tahu apa-apa lagi. ***

.

.

Keterangan:

– Menguntal: menelan

Minyak Bariaban: nama minyak yang terkenal di Kalimantan, berfungsi magic untuk kekebalan

Kumpang: sarung tempat menyimpan senjata

Kitab Berincung: kitab yang dalam legenda Banjar konon merupakan kitab kesaktian. Ditulis oleh seorang Wali Bernama Datuk Sanggul

Tunggul: tonggak

Kehem: jeram/air terjun

La’ang: air nira dari pohon aren

Belian: upacara memanggil roh leluhur

.

.

Cerpen Pemenang Pertama Lomba Menulis Cerita Pendek Islami (LMCPI)-V Majalah Annida, Tahun 2001, Kategori Umum.

.
Mandau Berdarah. Mandau Berdarah. Mandau Berdarah. Mandau Berdarah. Mandau Berdarah. Mandau Berdarah. Mandau Berdarah. Mandau Berdarah. Mandau Berdarah. 

Loading

Average rating 5 / 5. Vote count: 4

No votes so far! Be the first to rate this post.

2 Comments

  1. Terimakasih sudah mendokumentasikan Karya saya. Sungguh, karya ini menjadi sejarah bagi saya. Semoga bermanfaat untuk agama, bangsa dan negara.

    Cerpen ini sudah saya buatkan lanjutan kisahnya dalam sebuah novel berjudul “Talang Nyawa”. Mohon doa para sahabat sekalian agar novel ini bisa terbit secepatnya.

  2. Oki

    Dua sahabat yang bertemu kembali di saat yang kurang tepat. Terharu bacanya.
    Bagus cerpennya.
    Mengingatkan kita, bangsa Indonesia, agar selalu bersatu walau berbeda-beda suku. ras, agama, kepercayaan, dan bahasa. Bhineka Tunggal Ika.
    Damai itu memang indah. Kita bisa nyaman untuk beribadah, bekerja ngejar umr, sekolah, silaturahmi, olah raga jalan sehat, rekreasi yg murah meriah, dan lain-lain, termasuk bisa santai membaca cerpen ini.

Leave a Reply

error: Content is protected !!