Cerpen AM Lilik Agung (Solopos, 23-24 Maret 2024)
MUSIM semi di bulan Mei 2011. Sabtu malam, aku sedang memelototi televisi, menonton pertandingan sepak bola tim sekota, Manchester United dan City.
Sedang seru-serunya pertandingan sepak bola, pintu flat diketuk orang. Aku buka. Tepat di depanku sesosok wajah ayu. Yamila Zana namanya. Biasa dipanggil Yamila.
Sama dengan diriku, Yamila kuliah strata dua di London School of Economics. Sudah dua semester kami kuliah di LSE, namun tiada pernah kami duduk berdua, sekadar minum kopi di kantin kampus.
Pertemanan yang sebatas berpapasan atau satu ruang dalam kuliah-kuliah di LSE. “Maaf, mengganggumu. Aku tidak memberi tahu mau datang ke flatmu,” ekspresi Yamila datar.
“Kapan saja kamu mau datang, pintu selalu terbuka untukmu,” kuajak Yamila masuk.
Flat model studio. Kamar tidur yang malam itu masih aku lipat, dua kursi dengan meja penuh kudapan, dapur kecil, dan rak buku. Kursi aku tarik untuk duduk Yamila. Aneka kudapan aku pindahkan.
“Teh atau kopi?” kutawarkan minum kepada Yamila. Ia memilih teh dengan sedikit gula. Aku sendiri kopi tanpa gula.
“Aku bingung hendak ke mana dan berbicara kepada siapa. Akhirnya pada database kampus, kulihat ada mahasiswa dari Indonesia. Kamu,” Yamila menyeruput teh. Memandang televisi, di mana Sergio Agüero melepaskan tembakan langsung ke gawang MU. Gol nyaris tercipta.
“Kok bisa begitu?” aku tidak paham dengan kalimat Yamila.
“Musim semi Arab ternyata tidak berpihak untuk negeriku, Suriah. Justru negeriku dihantam perang saudara. Indonesia negara netral, pasti kamu juga netral memandang perang di negeriku.”
“Ya, ya, benar. Negeriku seperti diriku, memang tidak memihak faksi mana pun.” Kuteguk kopi hitam.
“Ibu dan ayah karena tugas pekerjaan, tinggal di Damaskus. Sedang dua adik kembarku bersekolah di SMA kampung halaman, Aleppo. Aleppo menjadi ajang perang berbagai faksi. Kedua adikku terjebak di Aleppo. Selama perang, mereka tinggal di asrama sekolah. Dan aku tidak tahu sampai kapan asrama sekolah itu aman. Dua adik kembarku, perempuan.”
Yamila mengkhawatirkan keadaan adik-adiknya. Larut malam Yamila berpamitan. Terlampau malam kalau berjalan sendirian, aku temani dia berjalan kaki menuju flatnya, empat blok dari flatku.
Dua hari berikut, Yamila kembali berkunjung ke flatku. Malam hari Kota London begitu indah diterpa aneka cahaya. Tidak pada diri Yamila.
Wajahnya lelah. Matanya sayu. Segera aku bikinkan minuman pilihannya, teh Darjeeling. Malam ini, Yamila membawa kertas cetakan peta negerinya. Di meja dia bentangkan peta. Dari tasnya Yamila mengambil dua spidol, warna biru dan merah.
Dengan spidol warna biru, Yamila membagi Suriah dalam empat wilayah. “Di sini dikuasai pasukan pemerintah. Orang tuaku aman di sini, namun tidak bisa ke mana-mana.”
Yamila melingkari wilayah Damaskus dan sekitarnya dengan spidol warna merah. “Di Aleppo, di mana kedua adikku tinggal, dikuasai kelompok oposisi.” Kota Aleppo dan bagian selatan Suriah diarsir spidol warna biru oleh Yamila.
“Sementara pada dua wilayah ini, berbagai faksi berebut untuk saling menguasai.” Yamila membiarkan dua wilayah lainnya tetap dengan warna hitam dan putih.
“Sore tadi aku menelepon ayah. Ayah bercerita, kelompok oposisi di Aleppo pecah. Yang menakutkan, ada satu faksi berhaluan kanan sangat keras. Makin lama faksi ini makin kuat.” Yamila sejenak diam. “Bagaimana nanti dengan keselamatan dua adik perempuanku?” Ia bertanya dan paham aku tidak bisa menjawab pertanyaannya.
Dia kemudian bertutur bahwa ayahnya keturunan minoritas Kurdi. Sementara garis ibu dari suku mayoritas, Arab Badui.
“Tidak mudah bagi ayah untuk meyakinkan keluarganya menikah dengan wanita Badui. Ada trauma masa lalu di mana sukunya sering diserang Suku Badui. Ibu, apalagi. Keluarga besar tetap memandang Kurdi duri dalam daging Suriah. Hidup berkeluarga lintas etnis yang sudah berat, hari ini bertambah bebannya. Kurdistan juga angkat senjata ikut berperang. Betapa bahagianya kamu hidup di Indonesia. Ada aneka suku, etnis, dan agama, tapi tidak saling serang. Apalagi perang.” Mata Yamila nanar memandang keluar jendela.
“Zana, nama belakangmu berarti nama salah satu klan Kurdi?” aku bertanya.
“Lebih tepat nama keluarga. Aku beruntung dibanding klan-klan Kurdi lainnya. Keluarga Zana salah satu keluarga kelas atas. Leluhur ayah pedagang besar sekaligus keluarga terdidik. Aku kuliah di LSE diharapkan ayahku bisa menolong sukunya. Bangsa Kurdi yang berserakan di berbagai kawasan, namun tiada memiliki negara.” Yamila bertutur tentang keluarga sekaligus harapan ayahnya.
Tidak elok apabila sepanjang malam kami hanya bercerita tentang konflik di Suriah. Pembicaraan kami multitopik. Dari ekonomi global yang sedang tidak baik-baik saja, hingga media sosial yang semakin perkasa menguasai hajat hidup orang banyak.
Alhasil terlalu malam apabila Yamila pulang ke flatnya. Yamila menginap. Tempat tidur lipat menjadi lokasi tidur Yamila. Aku menggelar sleeping bag. Tidak ada gangguan moral pada malam hari itu.
Malam minggu, sepekan setelah Yamila pertama datang ke flatku. Pada pertemuan keempat, aku yang mengunjungi Yamila. Betapa ayu Yamila walaupun berdandan sederhana.
Celana jeans biru berwarna pudar. Kaus putih lengan panjang dengan gambar kecil Minnie Mouse.
Kami telusuri Essex Street. Kuraih jari-jari tangannya. Yamila membiarkan diriku menggandeng tangannya sepanjang Essex Street. Menelusuri Sungai Thames, angin malam berembus kencang. Dingin adanya. Tanganku beralih memeluk pinggangnya. Yamila tanpa reaksi.
Pada kelokan Sungai Thames aku hentikan langkah. Kutatap wajah Yamila. Sedikit aku singkirkan rambut yang menutup pipi kanannya. Aku kecup. Yamila sedikit terperanjat. Gantian menatap lekat wajahku.
Seketika rona wajahku memerah, takut Yamila akan marah. Terlalu cepat hubungan kami apabila masuk ke ranah pribadi.
“Kamu lucu, Agung,” kata Yamila pendek. Seketika bibir Yamila menyerbu kedua pipiku. Sedikit mampir ke bibirku. Ah, Yamila…
Soho Coffee Co. Terlihat Jembatan Waterloo berhias aneka lampu membelah Sungai Thames. Aku memesan capuccino dengan kudapan flatbread isi daging krispi. Yamila memilih latte berkawan sándwich chicken club.
“Aku sekarang lebih tenang. Kakek bisa mengeluarkan dua adikku dari Aleppo. Sekarang mereka ada di rumah kakek, di Shara. Desa kecil yang bebas dari pertempuran. Semoga pertempuran yang semakin rumit karena para legiun asing juga berdatangan, hanya terpusat di Aleppo.” Yamila memotong sándwich dan memasukkan ke bibirnya.
“Malam yang sungguh indah. Menjadi keruh apabila di sini kita bercerita tentang Suriah. Aku ingin mendengar cerita tentang dirimu. Sudah mempunyai pacar di Indonesia? Atau malah sudah beristri?”
***
Oktober bertarikh 2012. Dua tahun tiga bulan setelah kami kuliah di London. Bandara Heathrow pada musim gugur. Fortnum and Mason Bar. Secangkir darjeeling tea di depan meja Yamila. Sauvignon blanc wine pilihanku. Bermenit-menit kami tidak membuka suara. Yamila meraih cangkir tehnya. Meminum hampir setengah isi teh.
“Memang ini jalan terbaik untuk kita,” akhirnya Yamila memecah keheningan. Kami bersitatap.
“Kamu tidak mungkin hidup di Suriah. Betapa bahagianya aku jika memiliki pilihan tinggal di Indonesia. Aku perempuan Kurdistan dari darah ayah. Panggilan darah tiada bisa aku tolak. Masa depan manusia Kurdi harus jelas di Suriah. Aku wajib ikut memperjuangkannya. Tak ada gunanya gelar master dari LSE jika aku duduk nyaman menjadi ekonom Bank Dunia sementara bangsaku tersuruk-suruk di Suriah.”
Aku tak bisa berucap. Gumpalan air mata aku tahan agar tidak tumpah. Terdengar pengumuman penumpang menuju Damaskus segera ke gate 16. Yamila beranjak, meraih koper besarnya.
Kupeluk erat Yamila. Akhirnya aku tak bisa menahan air mata. Diseka air mataku dengan ujung bajunya.
“Salam untuk ibu bapakmu di Indonesia.” Yamila membalikkan tubuh. Melangkah, meninggalkan diriku tanpa berusaha menatapku lagi. Aku paham, sepanjang jalan menuju gate 16 Yamila menumpahkan seluruh air matanya. Yamila, gadis ayu Kurdistan. Kekasihku.
***
Pada Maret 2024, mewakili Indonesia pada konferensi perdagangan global di Praha Republik Ceko, ada pesan Whatsapp dari Kedutaan Besar Libanon yang disampaikan melalui Kementerian Keuangan. Pesan pendek. “Yamila di rumah sakit pusat Beirut. Anda diharap segera menuju Libanon.”
Melalui jalur diplomatik, aku segera terbang menuju Beirut. Rumah sakit Beirut, ruang VIP. Petugas palang merah internasional menyambut kehadiranku, “Agung dari Indonesia?” Aku mengangguk. “Yamila menyebut-nyebut terus nama Anda.”
Yamila, pejuang kemanusiaan Kurdistan. Hari ini, kulihat aneka selang menancap pada tubuhnya.
“Kelompok ekstremis menyerang markas Kurdistan di Aleppo. Ada tembakan membabi-buta. Banyak yang tewas. Yamila selamat. Hanya saja ada peluru bersarang di perutnya. Kondisinya kritis. Palang merah internasional segera menerbangkan Yamila menuju Beirut,” cerita petugas palang merah.
Aku mendekati Yamila. Aku bisikkan kata-kata ke telinganya. Membuka mata, Yamila langsung menatap diriku. Aku pegang erat tangan Yamila. Mengumpulkan tenaga, Yamila berkata lirih kepadaku, “Alex…. Alex…. Tolong bawa dia ke Indonesia. Besarkan dia. Didiklah dia.”
Dari ruang sebelah muncul anak kecil berumur sebelasan tahun. Aku terperanjat. Wajah anak itu. Bentuk tubuh anak itu. Rambut anak itu. Identik dengan diriku.
“Dia, Alex?” aku bertanya.
Yamila mengangguk.
“Jadi Alex….” aku tidak meneruskan kata-kata.
***
Bandara Heathrow, London, Oktober bertarikh 2012. Yamila terbang pulang menuju negeri yang dia cintai, Suriah. Dalam perut Yamila ada calon bocah bernama Alex. Anakku. ***
.
.
AM Lilik Agung. Konsultan SDM yang banyak menulis ulasan kepemimpinan serta manajemen pada berbagai media. Menulis empat buku fiksi (penerbit Elexmedia Komputindo). Buku kumpulan cerpen kelima Sketsa Urban terbit awal 2024.
.
Yamila Bertamu. Yamila Bertamu. Yamila Bertamu. Yamila Bertamu. Yamila Bertamu. Yamila Bertamu. Yamila Bertamu.
Ricardo
Agak terpotong kisahnya, kurang halus menggalnya. Ceritanya agak pop ya. Suka bacanya