Artie Ahmad, Cerpen, Kompas

Ada dalam Ketiadaan

Ada dalam Ketiadaan - Cerpen Artie Ahmad

Ada dalam Ketiadaan ilustrasi Putu Fajar Arcana/Kompas

2.4
(8)

Cerpen Artie Ahmad (Kompas, 30 Juni 2024)

IA telah menyelesaikan segalanya. Kesakitan dalam sepekan telah berakhir tepat di pukul 4 sore. Matanya menangkap semburat jingga memerah di kejauhan, setelahnya ia melihat tubuh ringkih tergolek di atas tilam. Tubuh seorang perempuan, begitu ringkih, rapuh dan tak memiliki daya hidup. Mata perempuan itu terpejam rapat, bibirnya mengatup dengan baik, namun telah nyaris lewat satu jam napasnya menghilang, badannya perlahan menjadi begitu dingin seperti pualam. Tubuh itu ialah tubuhnya, kini yang berdiri menatap dengan termangu-mangu itu jiwanya. Tak ada lagi selongsong kasar bagi jiwanya, kini ia terbebas sepenuhnya.

Saat dirinya masih termangu dan tak ada yang kunjung datang menemukan mayatnya, seorang laki-laki muncul begitu saja. Dia terkejut dan terheran-heran dari mana gerangan lelaki itu muncul, seakan dia datang dari balik tirai cahaya. Absurd namun benar-benar muncul dan kini berdiri di dekatnya. Aroma kasturi menguar, aroma yang menyergap penciumannya. Dia benar-benar heran ternyata hantu bisa mencium aroma atau mungkin lantaran aroma itu begitu semerbak. Dia mengingat-ingat belum pernah mencium aroma sepekat itu.

“Kau harus turut denganku….” lelaki itu melihat jasad dirinya. Namun tak ada corak sedih di matanya.

“Siapa kau?” bibirnya bergetar, dia takut. Akan dibawa ke manakah jiwanya yang kini sebebas angin ini? “Tuan akan membawa saya pergi? Ke mana?”

“Ya, aku yang akan membawamu pergi. Ke tempatmu.”

“Di manakah tempat saya itu, Tuan? Neraka?” jiwa perempuan itu semakin gelisah, terbayang sudah di matanya api menjilat-jilat, bara bagai magma siap meletup di dalam kepalanya.

“Ikutlah terlebih dahulu. Sesungguhnya kau hanya perlu turut denganku tanpa perlu bertanya-tanya.”

Lelaki itu kini menatapnya, kedua matanya menatap dirinya tanpa emosi. Lalu dia menoleh ke arah pintu, dengan kepala dia memberikan tanda bahwa dirinya haruslah ikut pergi. Perlahan lelaki itu melangkah keluar, meski dengan kegelisahan begitu besarnya dia turut saja. Namun selangkah melewati pintu, dia ingat akan jasadnya yang masih tergolek di atas tilam.

“Oh! Maafkan saya, Tuan. Bagaimanakah jasad hamba itu? Apakah tak ada yang datang menolong saya, setidaknya tubuh saya dikubur. Tak perlulah di tanah kubur yang indah, cukuplah badan kasihan itu berkalang tanah.”

Lelaki itu menoleh. “Sebentar lagi ada tetanggamu bertandang, dia tak sengaja mampir ke sini. Tubuhmu akan dikuburnya di tempat yang baik. Kelak amal itu pula yang membantunya dalam mengitari separuh bumi ini sebagai seorang musafir.”

Dia telah bersiap digodam, dia telah bersiap dijerang dalam kuali raksasa dengan air mendidih, dia telah bersiap apa pun yang kelak akan terjadi atas dirinya. Sungguh, bukankah kematian awal dari pertanggungjawaban jiwa sesungguhnya?

Baca juga  Wisanggeni

Lelaki asing membawa dirinya berjalan cukup jauh. Mereka hanya menyusuri jalanan kota, setiap sudut kota tempat ia dilahirkan dan juga kota akhir hidupnya. Dia telah melewati banyak masa di kota ini. Setiap sudutnya begitu ia kenal. Matanya melihat toko minyak wangi, di sanalah dia sebulan sekali mengisi botol minyak wangi miliknya dengan parfum aroma vanili. Dia melihat sebuah warung makan kecil dengan cat dinding berwarna hijau pudar, dulu di tempat itu ia sering makan.

“Penjual makanan di warung kecil itu amat baik, Tuan. Banyak waktu dia membantu saya saat kelaparan.” Jiwa perempuan itu sedikit terharu.

“Dia akan mendapat imbalan atas kebaikan-kebaikannya.” Sergah lelaki itu meneruskan berjalan.

Perempuan itu terus mengikuti si lelaki. Tuan beraroma kasturi terus saja berjalan. Seluruh kota seakan ingin ia jejaki. Sampai akhirnya mereka mendekat ke sebuah bangunan dipenuhi bedeng-bedeng tripleks, sebagian bangunan juga semi permanen. Mata perempuan itu membulat.

“Tuanku, apakah kita harus ke tempat ini?” bibir perempuan itu bergetar.

“Memangnya kenapa? Bukankah engkau begitu mengenal tempat ini?” lelaki itu sedikit tersenyum.

Langkah kaki mereka menyusuri setiap jengkal bedeng-bedeng. Di ujung sana, di tempat paling terang terdengar bunyi musik mengalun. Musik itu kencang sekali, gendang telinga manusia hidup mungkin akan terganggu dengan suara musik sekencang itu. Mungkin telinga akan secepatnya menjadi pekak. Di sepanjang gang terlihat perempuan-perempuan memanggil-manggil siapa saja yang lewat. Tentu saja mereka semua tidak bisa melihat dirinya dan si lelaki, mereka bukan manusia, si lelaki entah apa sedangkan dirinya tak lebih dari hantu, jiwa tanpa selongsong badan kasar.

Di sebuah kamar petak, mereka berdiri di muka pintu. Terlihat di dalam seorang perempuan sedang setengah terbaring di ranjang, riasan wajahnya menantang, bibirnya dipulas dengan gincu warna merah darah, kulit wajahnya disapu bedak yang tak sewarna dengan kulitnya. Lihat saja warna paras dan lehernya teramat lain, kontras seakan saling berlawanan.

“Dia kawan saya, Tuan.” Bisik jiwa perempuan itu perlahan.

“Ya, dia kawan baikmu bukan?”

“Apakah dia akan tahu tentang kematian hamba?”

“Dia akan mendengar kabar kematianmu, menangisimu sebentar, lalu melupakan segala sesuatu tentang dirimu.”

Mata perempuan itu membelalak. Sungguhlah dia menjadi kenangan malang, sahabat baiknya pun kelak akan melupakannya.

“Mengapa dia tidak mengingat-ingat saya lagi?” ujar perempuan itu perlahan.

“Sejatinya begitulah keberadaanmu sebagai manusia. Ada pantas diingat, tak ada hanya pantas diingat sekelebat.”

Tuan itu mengajaknya berjalan. Menyusuri jalanan kota, lantas sampailah ia di depan sebuah gerbang taman. Sepanjang hidupnya dirinya belum pernah melihat taman seperti itu. Taman dengan semerbak wangi kembang. Burung-burung sebesar kepalan tangan beterbangan, berwarna biru semburat merah, di sana nun tepat berada di tengah taman sebuah air mancur begitu indah dilihat. Beberapa orang terlihat duduk-duduk memakai kain berwarna hijau zamrud. Mereka bercengkerama, tak ada hal yang membuat mereka gelisah, sedih atau kecewa. Wajah mereka bersih, teramat bersih dan barulah sekarang perempuan itu melihat rona paras seperti itu.

Baca juga  Pemanggil Bidadari

“Inikah tempat saya, Tuan?” tanyanya.

“Ya….”

“Mengapa saya ditaruh di dalam sana? Sedangkan saya perempuan yang kotor, saat hidup sering kali saya diludahi. Katanya saya ini menjijikkan, neraka adalah tempat saya. Apa yang telah saya lakukan hingga mendapat kebaikan?”

“Ingatkah engkau dengan seekor anjing kehausan?”

Bagai sebuah film yang terulang kembali, ingatan itu muncul di kepalanya. Satu hari di bawah terik matahari, ia berjalan tertatih. Sesungguhnya ia merasa terdampar, tak seharusnya dia bersikeras meninggalkan kota lama untuk mendapatkan pekerjaan baru di kota tetangga. Nyatanya mencari pekerjaan halal tak semudah yang dikatakan orang-orang. Ia tak memiliki ijazah tinggi, tak memiliki pula kemampuan khusus selain merayu lelaki, dia hanya punya tenaga, namun semua menolak dirinya atas alasan sudah tua. Ia tak mendapat pekerjaan baik, ia seolah tak menemukan hari baik.

Sebulan dirinya terkatung-katung di kota tetangga, uang pun habis untuk membayar sewa bedeng, konon itu indekos ekonomis. Di samping bayar sewa, ia juga harus makan. Larat tak lagi memiliki harapan, ia nekat berjalan pulang. Uang miliknya tak lagi cukup untuk membayar tiket bus. Di tengah terik matahari yang memanggang kepala, dirinya begitu merindukan kamar bedeng miliknya. Sederhana dan miskin, namun ia nyaman di sana.

Saat rasa haus seolah mencekik leher, di sebuah tanah bongkaran dilihatnya sebuah sumur. Dengan kaki yang mulai terasa berat, dirinya kembali bersemangat. Setidaknya dia tak mati kehausan siang ini. Tanpa ia duga, di dekat sumur seekor anjing sedang begitu gelisah. Ekornya bergerak-gerak, matanya seakan nyaris putus harapan, tak ada gonggongan dari mulutnya hanya ringkikan dan lidah menjulur lantaran kehausan. Perempuan itu mulai mencari akal, dia tak memiliki alat penadah air untuk si anjing, dicarinya ke sana-sini mungkin ada wadah bekas, tapi nihil. Tanah bongkaran itu hanya menyisakan hamparan gersang, tak ada apa pun, tak ada siapa pun.

Lantas perempuan itu melihat sepatunya, sepatu kulit sintetis. Dia tak memiliki uang membeli sepatu kulit sapi asli. Sepatu kanan ia lepas, dengan sepatu itulah air ditampung. Dibantunya si anjing melepas dahaga. Setelah dahaga menghilang, anjing itu melolong dan melompat-lompat kegirangan. Perempuan itu melihat anjing itu pergi, sembari menunggu sepatunya kering di bawah jerangan sinar matahari, dirinya memilih berteduh di bawah sebuah pokok. Entah pohon apa itu, dia tak mengerti… yang ia mengerti anjing dan dirinya tak jadi mati.

Baca juga  Sasali masih Menunggu

Dua hari setelah dirinya dapat kembali ke bedengnya di kota lama, tubuhnya benar-benar menjadi ringkih kembali. Napasnya mulai tersengal, daya hidupnya berkurang. Ia tak bisa lagi bekerja di tempat lama dan tentu tak bisa mendapatkan pekerjaan baru entah di mana. Tubuhnya yang larat hanya bisa tergolek di atas tilam, napasnya tinggal satu-satu dan ia mampu bertahan selama sepekan.

“Sungguh tak ada amalan baik dari saya kecuali memberi minum anjing, Tuanku. Sedangkan sesungguhnya binatang itu bukanlah bersih, binatang itu sekotor diri hamba.”

“Anjing pun makhluk hidup dan engkau telah membuat kebajikan.”

Mata perempuan itu berkaca-kaca. Sungguh ia tak pernah menduga seekor anjing membuatnya merasakan keindahan tak kasat mata.

“Apakah saya benar-benar diberi kemuliaan ini, Tuan? Sungguhkah saya tak mencicipi neraka?”

“Begitulah adanya,”

“Mengapa Tuhan begitu pemurah kepada manusia seperti hamba?”

“Sungguhlah rahmat Tuhan-ku teramat besar kepada hamba-Nya. Ampunan-Nya tak terbatas. Tentu saja untuk hamba yang Ia kehendaki. Masuklah. Kau diminta beristirahat dalam ketenangan….”

Perlahan perempuan itu melangkah, ragu-ragu dan malu-malu. Lalu sepasang tangan merengkuh bahunya, mengajaknya masuk ke dalam taman yang seakan tercipta dari percikan surga. ***

.

.

* Cerpen ini dikembangkan dari hikayat bersumber dari Abu Hurairah.

.

Kab. Semarang, 2023

Artie Ahmad lahir dan besar di Salatiga. Ia menulis cerita pendek dan naskah novel. Saat ini telah memiliki beberapa buku solo. Novel terakhirnya berjudul Persekutuan Perempuan-perempuan Lajang diterbitkan Penerbit Langgam.

Putu Fajar Arcana lahir di Bali. Selama masa Covid-19 mendalami teknik melukis dutch pour dengan menggunakan alat-alat yang tak biasa. Ia kemudian mengembangkan teknik ini dengan konsep melukis yang melibatkan lima unsur alam, seperti: padat, cair, api, angin, dan gas. Pertama kali berpameran dalam pameran Lukisan Bukan Pelukis (1999) di Bali Mangsi Denpasar, Mencuri Waktu (2000) di Kompas Denpasar, pameran seni rupa Lindu (2006) di Bentara Budaya Yogyakarta, dan pameran Grateful Dead (2013) di Bentara Budaya Jakarta.

.
Ada dalam Ketiadaan. Ada dalam Ketiadaan. Ada dalam Ketiadaan. Ada dalam Ketiadaan. Ada dalam Ketiadaan. Ada dalam Ketiadaan.

Loading

Average rating 2.4 / 5. Vote count: 8

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!