Cerpen Beatrix Polen Aran (Republika, 30 Juni 2024)
SELEPAS hujan, selalu saja tanah memerah, beberapa tetes darah segar menyusup ke dalam celah-celah bebatuan. Rerumput membiak dengan cepatnya, juga akar-akar pohon yang berusaha mengimbangi—terburu-buru mencengkeram tubuh tanah.
Pertikaian yang terjadi meregang nyawa Kopong, seorang tetua kampung yang dikabarkan mati terbunuh di atas tanah berdarah itu.
Potongan-potongan tubuhnya terserak bagai binatang yang selesai dibantai, lalu suara Matias, cucu kesayangan yang tergesa-gesa dari balik pohon yang bergema di antara deru hujan mulai meningkahi suasana pilu yang sejak tadi hiruk-pikuk. “Mati mengenaskan.”
Matias tertegun sesaat. Wajahnya pucat. Bibirnya kaku. Ya Tuhan, keluh Matias dalam hati yang sedang menyala dibakar amarah. Ia meraih potongan-potongan tubuh sang kakek, merengkuh lebih erat ke dadanya, dan tanpa ia sadari air mata jatuh ke pipinya.
Seperti kebiasaan di kampung, kendati dilanda pertikaian hebat, ritual pengangkatan potongan-potongan tubuh manusia berlangsung alot. Dengan gerak yang masih rikuh, disaksikan ratusan mata, Matias menunduk lalu membisikkan sepotong kalimat ke telinga kakek Kopong. Tadinya, Matias mengira kakek Kopong enggan memberikan tubuhnya untuk dimakamkan secara layak, karenanya kematiannya pun tak layak seperti jawaban yang diberikan oleh seorang ibu tak dikenali tempo itu dalam mimpinya di malam hari. Sejam setelah kematian kakek Kopong, seorang ibu berbalut kain lusuh menghampirinya. Begitu pangkal alis mata mereka bertemu, matanya menyelidik sekujur tubuh Matias.
“Bocah… hei bocah…,” terdengar suara gemuruh sepanjang ia membuka suara. Mateus iyakan tanpa mengangkat wajah, tak ingin konsentrasinya pecah.
“Kematian yang tak layak. Sungguh! Kalau saja orang-orang laknat yang telah tega menyibakkan darahnya dalam pertikaian itu, datang menyatakan penyesalannya dan meminta maaf, barangkali kematiannya adalah hal keberuntungan. Kakek Kopong tahu, tak seorang pun yang ingin jadi pembunuh di tanah berdarah. Kematian beruntun tak seorang pun menghendaki. Tiba-tiba, secarik tirai hitam, tabir yang memisahkan dari pandangannya, bagai disematkan selaput. Matias mengucek-ngucek bola matanya. Tak ada siapa pun yang dilihatnya. Hanya kehampaan.
“Ah!”
Tetapi yang Matias temukan hanya wajah yang tiba-tiba seperti mengumbar seulas senyum.
“Kenapa? tanya seorang Pastor heran. Kau baik-baik saja, kan?”
Mulanya, Matias tak menjawab. Wajahnya tertunduk dalam-dalam. Sementara kedua tangannya meremas pinggir bajunya erat-erat.
“Kakek Kopong mau kan jika tubuhnya dimakamkan secara layak?” Tanya Pastor sekali lagi. Matias tetap tak menjawab. Satu per satu orang mulai meninggalkan tempat itu lalu pergi dengan perasaan tak bersalah.
Beberapa di antaranya memilih bertahan hingga menunggu pemakaman dilangsungkan.
Kakek Kopong adalah tetua kampung yang sangat disegani, saleh dan setia dengan ajaran-ajaran agama dan adat istiadat. Ia selalu tampil memberikan jalan keluar untuk setiap persoalan yang terjadi terutama persoalan tanah warisan. Itu terlihat dari sikapnya yang bijaksana tanpa meninggalkan setitik pun noda di hati orang-orang. Darah leluhur mengalir dalam tubuhnya.
Pengalaman perjumpaan dengan orang-orang yang memiliki persoalan tanah warisan, hanya satu keluarga yang tidak ingin sama sekali masalahnya ditangani oleh kakek Kopong. Dalam kemarahan, golok pernah sampai menyentuh lehernya. Sebab, istri dari suami yang pernah membunuh adik kandungnya gara-gara tanah warisan, menghadang tubuhnya di depan suami sambil berteriak menyuruh kakek Kopong pergi, sebelum kemudian golok itu berjatuhan dari tangan suaminya.
“Oh, maaf….” Kakek Kopong melangkah pergi dengan segenap perasaan kecewa. Niatnya membantu, hatinya jadi iba. Dalam perasaan yang demikian—sementara menyandarkan tengkuknya di pohon beringin—Matias cucu kesayangan melintas, “Kek,” panggilnya. “Ayo, kita pulang.” Tetapi, sejak ada penolakan itu, keluarga tersebut tak menemukan kedamaian.
Darah pembunuh terus mengalir dan menyatu dengan seluruh tubuh. Anak-anaknya saling membunuh di antara mereka untuk dapat beroleh sejengkal tanah dan bila kelak mereka tak mau lagi, mereka boleh menjualnya kepada siapa saja.
Sampai kemudian hari kelabu itu tiba, suatu siang, pulang dari sekolah Matias bersama Boli menemui ayah Boli di rumahnya. Boli satu-satunya anak yang masih diberi kesempatan untuk mengenyam pendidikan. Sedang ibunya dengan segala sisa tenaganya bekerja untuk Boli, katanya, agar suatu saat Boli mempunyai masa depan yang baik, tak mati sia-sia hanya karena merebut tanah warisan. Singkat kata, Boli mesti dibekali dengan pengetahuan, untuk boleh memilah mana yang perlu dan mana yang tidak.
Matias seperti menonton film sedih yang teramat panjang setelah mendengar cerita itu.
“Kau mendengar dan kabarkanlah kepada semua orang bahwa darah pembunuh tak mengalir di nadi Boli,” suara ibu Boli tersendat, berbaur dengan tangis.
Terbayang di mata Matias bahwa manusia punah dari muka bumi ini karena saling membunuh di tanah berdarah. Terbayang wajah Boli yang tak berdosa itu lahir dan dibesarkan di tanah berdarah. Matias mendengar cerita, konon, di kampung itu usai penjajahan atas pribumi, orang-orang memilih tinggal di hutan, bermandikan air hujan, memakan dedaunan, lalu menutup kemaluan dengan pelepah pisang. Hidangan yang paling nikmat adalah ulat-ulat pohon dan cacing tanah.
Kakek Kopong terkenal dengan mimiliki cambang, janggut dan kumis serta kelihaian mengobati segala jenis penyakit dari akar-akar yang bergelantungan memenuhi atap pondok.
Anak-anak kecil, perempuan yang hendak melahirkan diberi minum air, bahkan menurut penuturan orang-orang, tidak pernah terjadi pembunuhan di antara mereka.
Tak hanya itu, ayah Boli juga memiliki perangai yang santun dan suka mendengarkan petuah kakek Kopong. Dulu, sebelum Boli ada, ayahnya bisa berjam-jam menyeruput tembakau koli bersama kakek Kopong di bawah rimbunan pohon, kadang mengintip ritual kepada orang mati atau istilahnya pau kwokot. Namun, sejak Boli hadir berbarengan dengan musim kemarau panjang, ayahnya hilang akal, lalu berusaha mencari-cari pekerjaan untuk bisa membeli beras.
Hanya tinggal segelintir orang yang tersisa di hutan. Orang-orang hijrah ke perkampungan dan membangun rumah untuk ditinggali.
Hal-hal buruk mulai menampakkan batang hidungnya.
Pembunuhan atas nama tanah warisan mulai terdengar. Darah bagai air yang tak berharga.
Sanak saudara seperti neraka dan nyawa adalah jawaban dari sekian kegelisahan yang mengendap. Dalam pada itu, fobia terhadap tanah warisan leluhur menggerogoti otak ayah Boli, membuat ia benar-benar nanar sementara tubuhnya tambah kerap gemetaran. Bangun pagi, ia selalu mencari-cari golok, mengasahnya lalu menaruh di punggungnya. Dalam ceracaunya, istrinya—ibu Boli menjadi sasaran amarahnya.
“Pergilah, katakan kepada sanak saudaramu. Jika merka tak puas denganku. Datang, hadapi aku!” ibu Boli lari terbirit-birit. Begitu juga Boli, sepulang sekolah ia pergi ke rumah Matias. Makan, mandi dan tidur.
“Apa? Ayahmu berulah lagi?” Mata Matias melotot.
“Tidakkah kau perhatikan bagaimana sesungguhnya ayahmu seperti kehausan darah. Ingat, darah akan terus mengalir hingga tujuh turunan,” ujar Matias layaknya orang dewasa.
Sore itu gerimis mempercepat kelam. Di langit mendung tipis terus bergantung.
Ayah Boli membawa golok, disusul gonggongan anjing, suara dahan pohon yang jatuh, bahkan bunyi detak jarum jam selalu dianggap sebagai pertanda kedatangan sang ayah. Dan Boli bersusah payah memejamkan mata. Bagaimanapun juga, ketakutan merambati seluruh tubuhnya hingga ia memanggil Matias berulang kali.
“Hatiku gelisah. Seperti ingin mati,” ujar Boli dengan mata memerah.
“Mati? Tak mungkin, ayahmu membunuhmu,” Matias melunakkan situasi.
“Tidurlah!”
Bagaimana kalau sewaktu-waktu ayah datang? Lampu mati, air yang tiba-tiba tak mengalir, pintu yang mendadak terbuka lebar?
Boli mengosongkan pikirannya. Menahannya untuk tak berpikir apa-apa. Mengalihkannya dengan memperhatikan setiap tetes air hujan yang jatuh di jendela. Lantas, sesosok bayangan menempel erat di jendela kamar.
“Hei, siapa kau? Ayah?”
Lampu yang padam dan setiap hal yang terjadi tak terlihat jelas dari seberang.
Sang ayah mendobrak jendela dengan keras lalu membunuh Boli yang sedang ketakutan.
“Praaaakkk,” darah muncrat. Matias mendengar jeritan Boli langsung menyalakan lampu.
“Astaga!”
Satu yang Matias catat tentang ayah Boli. Bahwa Boli adalah tumbal ketujuh di tanah berdarah. ***
.
.
Keterangan:
– Cerita ini terinspirasi dari kasus tanah berdarah di salah satu pulau di Flores Timur. Saling bunuh karena tanah warisan leluhur. Salah satu ritual yakni pengangkatan potongan-potongan tubuh orang yang telah meninggal dengan tak wajar.
– Tembako koli: Rokok yang terbuat dari daun lontar
– Pau kwokot: Upacara memberi makan orang yang meninggal atau leluhur
.
.
Betarix Polen Aran, seorang guru di SMP Negeri 3 Tanjung Bunga. Aktif menulis cerpen, puisi dan opini di media cetak maupun media online. Buku kumpulan cerpennya berjudul Nitun Pohon Beringin. Bergiat di Nara teater dan Komunitas Literasi Ata Liwang.
.
Semerah Darah. Semerah Darah. Semerah Darah. Semerah Darah. Semerah Darah.
Leave a Reply