Cerpen Faldo Mogu (Koran Tempo, 30 Juni 2024)
PASTOR Gaspar ditemukan tak berdaya di bawah kolong meja makan. Tepat setelah ia melahap habis sarapan yang dihidangkan baginya, sebelum ia berangkat ke gereja paroki untuk memimpin perayaan ekaristi hari Minggu.
Ambulance meluncur cepat dari halaman pastoran. Bunyi sirenenya semakin jauh, semakin tak terdengar. Sementara itu, orang-orang yang sebenarnya datang untuk menghadiri misa Minggu itu, perlahan mengisi penuh halaman pastoran. Sedangkan sejumlah umat yang datang lebih awal, dan bermeditasi di dalam Gereja, mendadak ke luar, lalu berduyun-duyun menuju halaman pastoran yang sudah dikerumuni banyak orang.
Pagi itu, karena musibah tiba-tiba menimpa sang pastor, akhirnya diumumkan bahwa misa Minggu ditiadakan dan semua umat diperbolehkan untuk kembali ke rumah masing-masing, sambil menanti kabar yang pasti mengenai kondisi sang pastor.
Meski demikian, beberapa umat justru memilih untuk menanti saja. Mereka menahan diri di pastoran agar lebih cepat mendapat informasi mengenai kondisi sang pastor. Sepanjang waktu itu, mereka memperbincangkan banyak hal tentang musibah yang baru saja menimpa sang pastor.
Bahkan terdapat sejumlah umat yang bertanya berulang kali kepada seorang pemasak di pastoran itu. Mereka tampak belum puas dengan kesaksiannya mengenai sesuatu hal yang diketahuinya tentang musibah yang menimpa sang pastor. Namun, seperti sebelum-sebelumnya, sang pemasak menegaskan bahwa ia tak tahu apa-apa.
Menurut kesaksiannya, pagi itu, setelah menyiapkan sarapan untuk sang pastor, ia langsung ke kamar mandi untuk mempersiapkan diri mengikuti misa. Dari kamar mandi, ia dikagetkan oleh teriakan dari Om Pendik, seorang koster paroki. Lalu ia bergerak cepat ke luar menuju sumber teriakan itu dan menyaksikan sang pastor terkapar di bawah kolong meja makan.
***
SELANG beberapa waktu, setelah banyak umat yang pulang dengan isi kepala penuh tanya, dikabarkan kemudian bahwa sang pastor tidak bisa diselamatkan. Ia meninggal karena keracunan makanan. Berita mengenai kematian sang pastor ini tersebar begitu cepat ke seluruh umat paroki. Kematiannya menaruh banyak kecurigaan di kalangan umat.
Banyak umat curiga bahwa ia mati karena bunuh diri. Entah karena apa. Namun, ada beberapa orang yang berpikir lain. Menurut mereka, pasti ada orang yang dengan sengaja meracuni sang pastor. Lalu siapa? tanya mereka, menelisik.
***
“SUDAHLAH, Pastor Gaspar pasti banyak masalah. Lalu ia memilih bunuh diri sebagai jalan keluarnya!” kata seorang kepada yang lain. “Mana mungkin seorang pastor bunuh diri, Om Rikus,” seorang membantah, menutup mata dengan kasus yang sempat viral beberapa bulan lalu. “Bunuh diri bukanlah jalan yang benar untuk mengakhiri hidup. Hanya orang bodoh yang memilih untuk mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri, Rikus. Sangkamu Pastor Gaspar itu, orang bodoh?!” ujar seorang yang lain yang lebih tua menambahkan.
Ia amat yakin bahwa sang pastor tidak mungkin melakukan tindakan sebodoh itu. Sengaja ia mencekam Om Rikus dengan pertanyaan semacam itu, sebab seluruh umat tahu bahwa Pastor Gaspar adalah seorang yang amat terkenal dengan kebijaksanaannya dalam mengambil sikap. Jadi sangat tidak mungkin jika tiba-tiba ia mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh diri, seperti yang dipikirkan oleh Om Rikus.
“Akhh… tu’a beberapa bulan lalu kan ada pastor yang gantung diri di pendopo pastoran!” kata Om Rikus dengan nada ketus dan sinis. Ia mau menegaskan bahwa seorang pastor juga bisa saja melakukan tindakan semacam itu. Karena seorang yang berpendidikan tinggi semacam pastor tidak bisa menjadi jaminan bahwa ia sungguh bijaksana.
“Yahh, jangan samakan toh!” kata Tu’a Kobus, tak mau kalah. “Tu’a Kobus tidak setuju dengan Om Rikus yang menegaskan bahwa Pastor Gaspar mati karena bunuh diri, sebab Tu’a Kobus sangat dekat, dan mengetahui banyak hal tentang Pastor Gaspar. Keduanya dekat, karena sama-sama menjadi garda terdepan dalam perjuangan menolak proyek geotermal di wilayah paroki, di ujung selatan Manggarai.
Bagi Tu’a Kobus, Pastor Gaspar yang ia kenal adalah seorang yang amat bijak. Jadi, menurut dia, sang pastor tidak mungkin mengakhiri hidup sebodoh itu.
“Terus menurut tu’a ia mati karena dibunuh orang, begitu?” tanya Om Rikus. “Lalu dibunuh siapa?” lanjutnya, memancing. Sebetulnya ia tahu apa yang sedang dipikirkan oleh Tu’a Kobus.
“Mungkin ada orang yang benci dengan tuang,” seorang yang lebih muda di perkumpulan itu menambahkan dari belakang. “Maksud kamu pelakunya mereka?” Om Rikus menyambar. “Huff… mana mungkin ada umat yang benci dengan pastor sebaik dia, Rinus. Kalau saya sendiri, itu sangat tidak mungkin, Rinus!” katanya bernada ketus.
“Kalau dibenci umat itu tidak mungkin,” ujar Tu’a Rikus dengan suara pelan. “Karena tuang sudah berjasa untuk kita. Tanpa dia, pasti tanah kita sudah digarap habis-habisan oleh para penguasa yang ingin membuka proyek geotermal di wilayah kita ini,” kata sang tu’a dengan tegas.
“Akhh, tu’a bagaimana mungkin seperti itu. Bukankah ada beberapa umat kita juga justru turut mendukung proyek ini?” kata Kaka Rinus, sembari mengarahkan matanya ke arah Om Rikus. “Maksudmu mereka membenci pastor, sampai meracuni makanannya, begitu?” sambar Om Rikus dengan bibir lincah. Tak terima tatapan sinis itu. “Barangkali seperti itu. Meskipun jumlah mereka sedikit, tidak menutup kemungkinan, kan?”
“Huff… jangan terlalu banyak mengada-ada lah, Rinus. Secara tidak langsung kau menuduh saya em. Saya memang pro-proyek tersebut, tetapi saya tidak pernah berpikir untuk berbuat demikian. Tolong jaga mulut lah. Kita ini sudah terlalu berlebihan dalam mencurigai orang,” ujar Om Rikus dengan muka murung, menegur Kakak Rinus yang dinilainya terlalu berlebihan. Setelah mengatakan itu, ia langsung meninggalkan perkumpulan tanpa pamit.
Kepergiannya tak ada yang peduli. Sementara itu, diskusi ihwal kematian sang pastor masih berlanjut. Apa yang disampaikan oleh Kakak Rinus justru memperkuat apa yang telah dipikirkan oleh Tu’a Kobus.
***
“SEPERTINYA semua ini ada kaitannya dengan itu ew,” Tu’a Kobus menduga-duga, sambil mencoba mengingat-ingat kembali runtutan ancaman yang pernah mereka alami sepanjang perjalanan menolak proyek itu.
“Maksud tu’a ada umat yang benci dengan sang pastor, karena sang pastor ngotot menolak proyek geotermal ini, terus mereka membuat rencana untuk mengakhiri hidupnya, tanpa kasatmata, dengan cara meracuni makanannya. Begitu?” kata seorang dari perkumpulan yang sejak awal mencoba menyimak kini mengeluarkan suara, memperjelas maksud yang ingin disampaikan oleh Tu’a Kobus.
“Hemmm… barangkali begitu, kan?!” kata sang tu’a. “Sssttt… tapi jangan omong ke mana-mana dulu.” Semua tercengang. “Ini untuk santapan kita saja,” Tu’a Kobus memberi isyarat untuk berhati-hati. Ia amat yakin bahwa kematian sang pastor tak lain karena risiko yang diambilnya sendiri sejak dua tahun lalu.
Namun, ia tak cukup nyali untuk membongkar misteri itu, kecuali dengan orang-orang di perkumpulannya. Ia tahu kalau sampai ada yang membongkar hal ini, sudah pasti dia itu juga dikejar, lalu dibunuh oleh penjahat yang ingin agar proyek geotermal ini segera berjalan.
***
KABARNYA sejak dua tahun lalu, ketika sang pastor ditugaskan di tempat misinya yang baru, di ujung selatan tanah Manggarai, ia menolak keras usaha pemerintah setempat untuk membuka proyek geotermal di wilayah parokinya itu. Baginya proyek tersebut membahayakan masyarakat setempat—umatnya, juga menghancurkan keperawanan hutan di wilayah tersebut. Tak heran, sejak dua tahun lalu ia berkoar-koar untuk membatalkan proyek tersebut.
Dalam menyuarakan perlawanan itu, sang pastor memang tidak sendirian. Ia ditemani Tu’a Kobus, sebagai perwakilan dari warga kampung. Usaha mereka dalam menolak proyek tersebut tak pernah berjalan aman. Keduanya sering mendapat ancaman dari oknum tak dikenal. Secara lebih khusus Pastor Gaspar.
Awalnya hanya berupa ancaman verbal. Mereka diancam akan dihabisi, manakala keduanya terus mengawal masyarakat untuk tetap lantang menyuarakan suara perlawanan.
Dalam perjalanan waktu, keduanya mulai mendapat kekerasan fisik. Sang pastor dan Tu’a Kobus mendapat kekerasan fisik pertama kali, setelah menolak uang suapan pemberian mereka. Mereka menawarkan uang ratusan juta kepada sang pastor dan Tu’a Kobus, dengan intensi penuh bahwa keduanya dapat memberhentikan perlawanan dari masyarakat.
Namun, sang pastor dan tu’a menolak tawaran itu. Keduanya tetap berpendirian untuk terus berdiri tegak di hadapan masyarakat, menolak proyek geotermal. Akibat dari keputusan itu, keberadaan keduanya mulai tak nyaman. Kendati demikian, keduanya tak pernah melaporkan itu kepada pihak kepolisian karena sudah pasti ujung-ujungnya begitu-begitu saja, tak ada tindak lanjut yang lebih jelas. Entahlah.
***
“KALAU benar orang-orang itu yang meracuni makanan, lantas bagaimana mereka bisa masuk ke dapur pastoran?” Setelah beberapa jenak, Kakak Rinus kembali membuka mulut. “Pasti mereka bekerja sama dengan orang dalam,” lanjutnya dengan nada pelan. “Maksudmu pemasak dan koster paroki itu bersekongkol untuk membunuh sang pastor?” Tu’a Kobus menelisik. “Bisa jadi kan tu’a?” balas Kakak Rinus singkat.
Di pastoran paroki hanya terdapat tiga orang, yakni sang pastor, koster paroki, dan pemasak. Kakak Rinus mencurigai dua orang itu karena ia tahu persis sifat keduanya. Keduanya mudah sekali dibujuk. Entah apa pun risikonya mereka tak peduli.
“Kalau benar demikian, pasti ada orang terdekat yang membujuk keduanya untuk melakukan itu, kan?” Tu’a Kobus menelusuri lebih dalam. Seketika itu, mereka langsung memikirkan Om Rikus. Pasalnya, hanya Om Rikus yang dekat dengan mereka.
Kecurigaan orang-orang di perkumpulan itu makin kuat, ketika salah seorang dari tengah perkumpulan menyampaikan desas-desus yang beredar di tengah masyarakat bahwa selama ini rumah Om Rikus menjadi satu-satunya tempat penerimaan tamu-tamu asing yang datang meninjau lokasi proyek geotermal itu. Lantas kecurigaan orang-orang di perkumpulan makin besar; Pastor Gaspar mati bukan karena bunuh diri, tetapi karena dibunuh oleh pihak yang menginginkan agar proyek geotermal segera dijalankan! ***
.
.
Keterangan:
– Tu’a: Panggilan untuk orang yang sudah tua di Manggarai, Flores.
– Tuang: Panggilan untuk seorang pastor di perkampungan Manggarai.
.
.
Faldo Mogu, penulis cerpen asal Manggarai, Flores, Nusa Tenggara Timur. Karya-karyanya tersiar di media lokal dan nasional. Saat ini penulis bergiat di Komunitas Tutur Karya.
.
Ihwal Kematian Pastor Gaspar. Ihwal Kematian Pastor Gaspar. Ihwal Kematian Pastor Gaspar. Ihwal Kematian Pastor Gaspar. Ihwal Kematian Pastor Gaspar.
Leave a Reply