Cerpen Ikrom Rifa’i (Suara Merdeka, 04 Juli 2024)
Penajam Paser Utara, 2054
KETEGUHAN itu tetap tidak berubah sejak dulu. Keteguhan yang dibawanya sejak seperempat abad yang lalu. Sejak sebuah rezim yang mengatasnamakan ‘pembangunan’ menanam puluhan gedung pencakar langit di tanah kami, tanah Sepaku.
Enam periode pergantian presiden telah berlalu. Namun, betapa rentang waktu sepanjang itu sama sekali tidak membuat pendirian Bapak goyah. Bahkan, sekalipun kini dia tengah terbaring ringkih di ranjang kamarnya lantaran penyakit radang paru-paru yang semakin kronis.
“Bapak tidak mau mengkhianati leluhur dengan memasrahkan tubuh ini pada obat-obatan kimia,” jawabnya dengan keras kepala, ketika berulang kali kuajak ke rumah sakit di pusat Kota Nusantara. “Selamanya Bapak adalah orang Balik [1], yang hanya memasrahkan hidup dan matinya pada apa yang disediakan alam—juga Tuhan.”
Pernyataan penuh keangkuhan itu sebenarnya mudah saja untuk aku timpali dengan kalimat, “Memangnya masih ada alam yang tersisa di bumi Sepaku ini?”
Namun, aku mesti berpikir dua kali untuk melontarkan kalimat itu. Tidak saja karena terkesan lancang, kalimat semacam itu juga hanya akan membangkitkan ingatan Bapak perihal kejadian kelam yang terjadi dua puluh lima tahun silam. Kejadian yang membawa kami sekeluarga pada jurang keterasingan—juga kesengsaraan.
Tentu, masih tergambar jelas dalam lanskap ingatanku bagaimana getirnya suasana pagi itu. Ketika deru excavator dan suara reruntuhan bangunan beradu dengan jerit dan tangisan.
Anak-anak kecil menatap dengan nanar rumah-rumah mereka yang porak-poranda, seakan di kepalanya terbesit tanya, “Mengapa bisa begini? Mengapa?” Seekor anak kambing yang luput diselamatkan pemiliknya mengembik-ngembik usai kandangnya roboh ditimpa pohon angsana.
Para polisi dengan tongkat dan tameng membentuk barisan; menghadang sejumlah warga—termasuk Bapak—yang berupaya menggagalkan penggusuran.
Butuh waktu setengah hari sampai akhirnya mereka menyadari bahwa tindakan itu sama sekali tak ada gunanya.
Bila diruntut dari awal, petaka itu bermula ketika di ladang tempat kami menggantungkan hidup tampak mulai ditanami patok-patok bertuliskan, “Batas Kawasan Inti Pusat Pemerintahan. Dilarang masuk!” Siapa yang menanam patok-patok itu, kami tak pernah tahu. Akan tetapi, tak lama setelah itu, kami melihat berita di televisi soal rencana pemindahan Ibu Kota negara baru ke tanah Borneo ini.
Aku yang masih duduk di bangku SMP kala itu, tidak punya cukup bayangan soal kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi di masa depan.
Namun, dari semua peristiwa yang terjadi, sampailah aku pada satu kesimpulan bahwa cepat atau lambat, kami harus angkat kaki dari tanah ini, tanah Sepaku.
“Bukankah ini tanah kita, Pak? Tanah leluhur kita?” tanyaku, kepada Bapak, saat itu.
“Memang. Tapi kita tak punya sertifikat kepemilikan.”
Aku pun bukannya tidak tahu, bahwa ladang-ladang itu sudah digarap oleh orang Balik sejak puluhan tahun silam—bahkan sebelum negara ini terbentuk.
“Ladang-ladang itu dulunya hanya hutan belantara. Ketika kecil, Bapak pernah diajak Bue [2] untuk ikut sempolo [3]. Alhasil, keluarga kita memiliki ladang untuk digarap. Namun, tampaknya semuanya akan berakhir setelah patok-patok itu dipasang. Padahal, selama puluhan tahun, kamilah yang menjaga hutan Sepaku ini.”
Memang, jauh sebelum peristiwa mencekam itu terjadi, pemerintah telah mengimbau kami untuk pindah ke sebuah rumah susun yang berjarak sekitar 35 kilometer dari Sepaku.
Dari berita yang kubaca, ini disebut relokasi.
Akan tetapi, mereka lupa, bahwa tarif sewa yang mereka berikan terlampau keterlaluan untuk orang-orang seperti kami.
“Lagi pula,” lanjut Bapak, ketika saat itu ditanya bersedia atau tidak untuk direlokasi, “Kalau kami pindah ke rumah susun itu, kami mau kerja apa? Apa mereka lupa bahwa kami hanya bisa hidup dari ladang?”
Kalaupun pada akhirnya kami memutuskan untuk pindah ke rumah susun, itu karena memang tak ada pilihan lain.
Selepas itu, Bapak bekerja serabutan. Apa saja asal halal. Dari kuli bangunan, hingga jualan makanan ringan.
Meski sungguh tak mengenakkan menjadi warga urban, tapi toh kami tetap bisa hidup.
Tetap bisa makan nasi walau sesekali berhutang; tetap bisa berpakaian walau ala kadarnya; dan tetap bisa berteduh ketika hujan walau sesekali menunggak biaya sewa bulanan.
Aku pun tetap bisa melanjutkan sekolah. Kendati tak sampai perguruan tinggi, tapi aku berhasil mendapat pekerjaan tetap. Lewat kenalan seorang teman SMA, yang ayahnya adalah sebagai kontraktor, aku ditawari pekerjaan.
Mula-mulai sebagai kuli, tapi dua tahun berselang—barangkali karena keuletanku—aku diangkat jadi mandor.
Kepada Bapak, saya menyuruh agar berhenti bekerja seiring usianya yang kian menua—juga penyakitnya yang kerap kambuh.
“Gajiku sudah lebih dari cukup untuk beli beras dan bayar biasa sewa rumah, Pak. Sekarang, biar aku yang bekerja, Bapak istirahat.”
Keteguhan itu benar-benar tidak berubah sejak dulu. Keteguhan yang dibawanya sejak seperempat abad yang lalu.
Sejak sebuah rezim yang mengatasnamakan ‘pembangunan’ memboyong istananya ke Pulau Seribu Sungai ini. Juga gedung parlemen berikut dengan dewan-dewannya yang terhormat.
Enam pemilu telah berlalu sejak peristiwa mencekam itu.
Namun, betapa rentang waktu selama itu sama sekali membuat watak dan pendirian Bapak berubah.
Kini, di rumah susunnya yang sumpek, Bapak hanya bisa berpasrah dengan radang paru-parunya.
Penyakit itu, entah bagaimana mulanya, telah membuat Bapak merasa semakin dekat dengan ajalnya.
Aku yang saat ini tinggal bersama istri di sebuah perumahan kecil tak jauh dari rumah susun, amat kehabisan cara untuk membujuk Bapak agar mau dibawa ke rumah sakit.
“Bapak tetap akan jadi orang Balik. Tetap.”
Pagi tadi, Ibu menelponku dan mengabarkan bahwa keadaan Bapak semakin parah. Aku terpaksa cuti kerja dan segera menuju ke rumah susun.
Manakala sampai di rumah, aku terkejut melihat Ibu yang tengah menangis terisak-isak di ruang tamu.
“Cepat susul Bapak, Nak!”
“Ke mana? Mana Bapak?”
“Ke Sepaku. Tadi dia batuk darah di kamar, terus pergi naik bus. Katanya Bapak mau mati di Sepaku. Ibu sudah mencegah, tapi tidak bisa. Cepat susul!”
Segera kugeber motorku.
Namun, semuanya sudah terlambat. Bapak mengembuskan napas terakhir di dalam bus.
Sesaat sebelum tarikan napasnya yang terakhir, Bapak sempatkan menulis pesan di secarik kertas: “Tolong semayamkan aku di Sepaku, tanah kelahiranku, tanah leluhurku. Tolong.”
Ah, tidakkah Bapak lupa kalau tanah leluhur kita itu sekarang sudah jadi gedung parlemen yang dihuni oleh orang-orang terhormat? Bagaimana bisa, Pak? Bagaimana bisa? ***
.
.
Purbalingga, 2023-2024
.
Catatan Kaki:
[1] Balik: suku atau komunitas adat di Kecamatan Sepaku, Penajam Paser Utara.
[2] Bue: panggilan kakek dalam bahasa Paser (Dayak).
[3] Sempolo: tradisi gotong-royong Suku Balik dalam membuka lahan baru.
.
.
Ikrom Rifa’i. Penulis lahir di Purbalingga, Jawa Tengah. Alumnus Universitas Singaperbangsa, Karawang. Cerpennya tersiar di sejumlah media cetak dan daring. Bergiat di Komunitas Teater & Sastra Perwira (KATASAPA) Purbalingga.
.
Bapak hanya Ingin Mati di Sepaku. Bapak hanya Ingin Mati di Sepaku. Bapak hanya Ingin Mati di Sepaku.
Leave a Reply