A Muttaqin, Cerpen, Kompas

Lelucon Musim Hujan

Lelucon Musim Hujan - Cerpen A Muttaqin

Lelucon Musim Hujan ilustrasi Wayan Kun Adnyana/Kompas

3.8
(4)

Cerpen A Muttaqin (Kompas, 14 Juli 2024)

PADA mulanya adalah lembu. Seekor lembu mogok. Lembu itu milik Uripan. Ia seorang petani militan. Hidup di sebuah dusun di kaki bukit kapur yang dikelilingi sawah dan hutan. Sore itu, ketika seekor perkutut terdengar manggung dan segerombol mendung menggantung, hati Uripan dilanda sedih, demikian sedih, sebab satu dari dua lembu kesayangan yang tengah ia pakai membajak sawah tiba-tiba ambruk ke tanah.

Berkali-kali tali kendali yang melingkari hidung lembu itu ia tarik dengan lembut, tapi si lembu tetap menggelosor di tanah sehingga lembu yang sebelah kanan terpaksa menunduk untuk menjaga keseimbangan. Kedua napas lembu itu ngos-ngosan dan Uripan, si tuan lembu yang budiman itu, tahu betul jika sepasang lembunya sangat kelelahan. Tapi, apa boleh buat. Langit tengah mendung dan hujan akan segera turun. Sepetak sawah—satu-satunya warisan orangtuanya itu—harus segera dibajak dan ditaburi benih padi sebelum hujan berjatuhan.

Sekelebat kilat menyilet langit. Uripan bertambah panik. Sekali lagi ia tarik tali kendali lembu itu, tapi si lembu hanya melihat Uripan dengan tatapan aneh. Uripan lalu berlari meninggalkan sepasang lembu itu.

Ia menyambar timba-janur di bawah gubuk kecil tempat ia sesekali mengaso, menyantap bekal atau mengisap rokok kelobot. Ia berlari menuju sumur, mengambil air dan kembali dengan napas ngos-ngosan, seolah napas yang demikian adalah isyarat permohonan pada lembu itu agar segera bangkit.

Ia meletakkan timba-janur berisi air tepat di bawah mulut lembu itu. Tapi, lembu malang itu hanya menyelupkan mulutnya dengan gerakan lemah, tanpa menyesap air dari timba. Busa putih yang tadi menggumpal di mulut lembu itu mengambang di permukaan timba.

Uripan bertambah panik. Kepala lembu itu ia usap-usap dengan air. Sementara lembu yang sebelah kanan mengibaskan beberapa ekor lalat yang menyerbu borok di lehernya. Uripan ingat, ia lupa mengoleskan minyak cem-ceman-tembakau, ramuan khusus yang biasa ia gunakan untuk luka lecet di leher lembu akibat menarik bajak atau borok busuk akibat sengatan serangga.

Ia menyesal dan segera mengalihkan timba itu ke lembu sebelah kanan. Lembu itu langsung menyedot air itu hingga habis dan Uripan mengelus kepala lembu itu seperti isyarat bahwa ia telah khilaf.

Baca juga  Balap

Uripan mengendurkan tali kendali. Ia kemudian melepas pasangan, palang penarik bajak yang ia pasang sejajar di leher kedua lembu itu. Ia bawa lembu itu ke sudut sawah di mana segerumbul rumput gajah sengaja ditanam Uripan dekat gubuk. Ia ikat lembu itu di tiang gubuk dan setelah mengelus kepala lembu itu, ia kembali ke tengah sawah, ke satu lembunya yang tengah mogok.

Kembali pelan-pelan ia tarik tali kendali yang melingkari hidung lembu itu. Tapi, si lembu hanya bergidik mengibaskan lalat-lalat yang merubung matanya. Uripan mulai menepuk-nepuk pantat lembu itu, tapi hasilnya tetap nihil. Si lembu malah menyandarkan kepala ke tanah.

Krakal, alat bajak kayu yang dirancang khusus untuk membajak sawah, itu pun rebah. Uripan melepas pasangan yang terpasang di leher lembu itu dan memutar krakal itu sembilan puluh derajat. Sepasang kuntul hinggap lalu mencucuk percil yang riang berloncatan dari celah dan lubang-lubang tanah. Mendung semakin hitam. Dan Uripan tetap tak menemukan cara membangunkan lembunya.

Kendati demikian, Uripan tetap menahan diri. Ia sekali-kali tak sampai hati mengambil pecut dan memukul lembu itu. Baginya, ia terlalu berutang banyak pada sang lembu.

Lembu itu sudah hidup bersama Uripan selama enam musim tanam. Itu artinya, lembu itu sudah bersama Uripan selama enam tahun, sebab di dusun di kaki bukit kapur itu saluran irigasi belum tergarap dengan betul dan para penduduk sudah terbiasa menanam padi dengan mengandalkan tadah hujan. Kebiasaan menanam dengan tadah hujan inilah yang membuat Uripan harus cepat-cepat merampungkan membajak sawah. Agar ia segera menabur benih dan benih-benih itu segera cukul selepas hujan turun.

Keadaan demikianlah yang membuat Uripan merasa terlambat. Para tetangga sudah pada membajak dan menabur benih di sawah mereka. Ini lumrah. Sebagai petani tadah, sudah sepatutnya hujan pertama tak mereka sia-siakan. Sebab, tahun lalu, mereka telah gagal panen akibat hujan yang tidak cukup.

Pengalaman ini juga yang membuat Uripan cemas. Dengan lembut ia berkata kepada lembunya, “Maaf, aku lupa mencampur garam pada dedak minummu. Kau pasti minum sedikit. Hingga tenagamu ambyar. Tapi, demi Tuhan, kau harus bangkit.”

Uripan tahu, lembunya tak mengerti persis omongannya. Namun, setidaknya si lembu telah melihat mulut komat-kamit dan mata Uripan yang kelu. Dan ia percaya, komunikasi dengan lembu tidak hanya terjalin lewat kata. Ia mengelus lembu itu. Menarik tali kendalinya pelan-pelan. Tapi, lembu itu tetap mogok.

Baca juga  Orang yang Tak Bisa Berbohong

Gerimis menebal menjadi hujan. Sepasang burung kuntul yang tadi berburu percil kini terbang. Uripan mengangkat wajahnya menghadap langit. Butiran hujan menerpa wajahnya. Ia memejamkan mata dan mulutnya kembali komat-kamit.

Hujan bertambah lebat. Apa yang terjadi selanjutnya sungguh di luar dugaan. Sekelebat petir tiba-tiba menyambar lembu Uripan yang tengah mogok. Lembu itu gosong seketika. Uripan terpental ke pojok sawah, ke segerumbul rumput gajah, tepat di pinggir gubuk tempat ia mengikat satu lembunya.

Lembu itu spontan lari sambil melenguh panjang seperti kerasukan setan. Sementara wajah Uripan tersungkur. Mulutnya berlepotan lumpur. Kakinya gemetar. Namun, sepasang matanya masih sempat melihat langit yang kian gelap. Dalam hatinya ia mengutuk Kiai Sela, mengapa tak menumpas semua petir yang jail dan mengutuk menjadi jenglot.

Sementara itu, di langit beberapa malaikat bergerombol mengintip ke bawah. Satu dari mereka melihat Uripan dengan rasa iba. Satu lagi menyikut malaikat di sebelahnya. Gerombolan malaikat itu menunggu satu malaikat yang baru saja turun ke bumi. Malaikat itu tengah naik dengan sayap basah.

“Saya terlambat,” malaikat penjaga kilat itu berkata. “Iblis lebih cepat. Ia menyaru sebagai kilat dan menghantam lembu itu.”

“Apa begitu yang ada di buku nasib Uripan?” tanya malaikat penjaga angin.

“Tampaknya tak persis begitu,” jawab malaikat penjaga kilat sambil mengibas-ngibaskan sayapnya yang basah.

“Bagaimana bisa?” tanya malaikat penjaga daun-daunan.

“Apa itu yang diminta Uripan dalam doanya?” tanya malaikat penjaga mendung.

“Tidak. Ia meminta agar hujan ditunda dan lembunya dibangkitkan segera,” jawab malaikat penjaga kilat.

“Bukankah telah ada perintah yang demikian?” tanya malaikat pembawa terompet.

“Itulah,” kata malaikat penjaga hujan, “saya tidak merasa melepas hujan.”

“Lalu, siapa yang telah menyamar sebagai hujan? Bukankah iblis adalah api? Ia bisa menyamar sebagai petir, tapi tak akan sanggup menyaru sebagai hujan?” malaikat penjaga angin tampak kelabakan.

Sementara para malaikat masih berdebat dan tak menemukan jawaban, keajaiban datang. Lembu Uripan yang telah hangus itu tiba-tiba bangkit dan melenguh keras sekali. Suaranya seperti terompet pemanggil roh.

Baca juga  Mbah Mahdi dan Cerita Pagi Itu

Uripan yang meringkuk kesakitan menatap lembu itu. Ia mengira lembunya yang gosong itu telah jadi hantu. Sementara itu, dari dalam tanah, menyembul lembu-lembu gaib yang juga hitam legam. Lembu-lembu itu mendekat ke lembu Uripan. Mereka melenguh bergantian, kemudian berjalan di tengah guyuran hujan, seperti sekelompok lembu hantu yang mengerikan. Uripan mendadak pingsan.

Di langit para malaikat masih bergerombol. Mereka melihat lembu-lembu hitam itu terbang, melayang dan satu per satu menggantung menjadi bongkahan-bongkahan mendung. Langit bertambah hitam. Hujan bertambah lebat. Hujan bertambah lebat lagi. Lantaran lembu-lembu hitam yang menjelma menjadi bongkah-bongkah mendung itu turut kencing sepanjang malam.

Malam itu, malam yang gelap dan dingin itu, kepada seorang anak perempuannya yang sejak tadi merengek-rengek karena lapar, cerita ini dituturkan seorang ibu di loteng sebuah rumah. Listrik tengah dipadamkan. Kota seperti pingsan. Geluduk sesekali datang dan hujan terus turun. Sementara warga yang rumahnya tak punya loteng telah mengungsi ke kampung sebelah. ***

.

Catatan:

Jenglot: Dalam satu cerita yang masyhur di kalangan petani Jawa, Kyai Sela—Ki Angeng Ngabdurahman Sela—yang tengah membuka sebidang lahan tiba-tiba “diganggu” petir yang menyambar-nyambar. Petir tersebut konon menjadi naga dan makhluk aneka rupa sebelum akhirnya ditaklukkan oleh Kyai Sela dengan dijepit cangkul. Sementara itu, dalam legenda lain, jenglot, si makhluk mungil pengisap darah itu, tak lain adalah petir yang dikutuk.

.

.

A Muttaqin, menulis puisi dan prosa. Dua bukunya, Hari-hari Menjadi Kelinci (novel) dan Mengerjakan Cinta (puisi), akan terbit dalam waktu dekat. Selain menulis, ia juga tekun merawat bonsai, perkutut, dan kura-kura.

Wayan Kun Adnyana, guru besar sejarah seni (seni rupa), yang aktif berpameran di berbagai pergelaran seni rupa berpengaruh. Terakhir pameran tunggal Wastu Waktu di Agung Rai Museum of Arts, Ubud. Sejak Maret 2023 diberi amanah sebagai Rektor Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar.

.
Lelucon Musim Hujan. Lelucon Musim Hujan. Lelucon Musim Hujan. Lelucon Musim Hujan. Lelucon Musim Hujan.

Loading

Average rating 3.8 / 5. Vote count: 4

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!