Cerpen, Kak Ian, Koran Tempo

Ichi, Ni, San… Kampai!

Ichi, Ni, San... Kampai! - Cerpen Kak Ian

Ichi, Ni, San... Kampai! ilustrasi Alvin Siregar/Koran Tempo

4
(1)

Cerpen Kak Ian (Koran Tempo, 14 Juli 2024)

SEJAK peristiwa itu terjadi di Nagoya, kami meninggalkan kota yang mendapatkan julukan paling membosankan di Jepang tersebut. Bukan itu saja, langkah tersebut sekaligus untuk mengubur kenangan pahit yang sudah banyak kami lalui di sana.

Aku dan ayah akhirnya memutuskan untuk pindah ke Osaka ketika musim semi tiba. Saat itu bunga sakura sedang bermekaran begitu lebatnya di setiap taman maupun di tepi jalan.

Tapi kepindahan kami ke kota di bagian barat Jepang itu tidak lantas membuat kebiasaan buruk ayah berubah. Ya, ayah masih tetap sama saja dengan kebiasaannya yang sudah sejak lama ia lakukan: gemar mencekik botol.

Memang kebiasaan ayah yang selalu minum-minum itu sebenarnya bukan hal baru. Apalagi ayah memang seorang pemabuk berat. Di sela-sela pekerjaannya sebagai pengawas bangunan, ia tidak akan lepas dari kebiasaan tersebut. Entah itu bersama anak buahnya atau atasannya.

Ayah sering menghabiskan waktu dengan minum-minum di izakaya [1], tempat karaoke, sampai di emperan toko—bahkan di tempat kerja sekalipun ia pernah melakukannya. Biasanya ia minum-minum seorang diri, kecuali saat akhir pekan ayah akan melakukannya bersama teman-teman sekerjanya.

Saat dini hari barulah ayah pulang ke apartemen kami dengan mulutnya dipenuhi bau yang sangat menyengat ketika aku membopong dia yang sempoyongan ke kamarnya.

Kebiasaan ayah itu sudah berlangsung lama. Kemudian diperparah lagi menjadi pemabuk berat sampai saat ini lantaran ia sangat sakit hati sebagai lelaki sekaligus seorang suami. Ibu main gila dengan tetangga dekat kami yang tinggal satu apartemen dengan kami. Saat itu kami masih tinggal di Nagoya.

Memang lelaki yang menjadi selingkuhan ibu itu masih sangat muda, bugar, dan badannya bagus sekali—mungkin karena sering berolahraga di gym. Sedangkan tubuh ayah agak tambun, di kepalanya sudah beruban, dan perut buncit yang menambah ketidakproposionalannya sebagai lelaki idaman.

Aku pernah satu kali melihat lelaki selingkuhan ibu ketika ia ingin belanja sayuran di pagi hari. Aku memergoki ibu sedang berduaan dengan lelaki itu di bawah tangga apartemen. Saat itu aku sedang tergesa-gesa berangkat kerja.

Setelah itu, mereka ada skandal dan aku pun tidak tahu-menahu. Aku juga tidak memedulikan affair antara ibu dan lelaki tetangga dekat kami yang tinggal satu apartemen itu.

Hingga suatu hari peristiwa terkutuk itu pun terjadi. Saat itu ayah tidak biasanya pulang cepat. Mungkin dalam kondisinya yang sedang sakit saat itu ia akhirnya memutuskan untuk segera pulang lebih awal dari tempat kerjanya.

Namun sesampai di apartemen ia melihat pemandangan yang sangat menjijikkan di luar dugaannya. Saat itu ayah memergoki ibu sedang bergumul dengan lelaki selingkuhannya. Ayah yang mendengar suara desahan ibu dari dalam pun langsung mendobrak pintu apartemen. Kemudian ayah menghajar habis-habisan lelaki itu bahkan sampai ingin membunuhnya.

Beruntung, selingkuhan ibu itu lolos sampai kabur terbirit-birit hanya mengenakan baju untuk menutupi kemaluannya. Sedangkan ibu sembunyi di balik selimut tanpa sehelai benang pun menutupi dirinya. Dengan wajah ketakutan, ia tidak berani menatap wajah ayah yang saat itu seperti serigala yang siap menerkam mangsanya.

Setelah kejadian itu, ayah mengusir ibu dari apartemen kami. Hingga tinggallah kami berdua. Dan beberapa tahun kemudian kami memutuskan pindah. Osakalah saat ini tempat terakhir yang kami pijak. Itu pun atas keputusan ayah.

Namun, kepindahan kami ke Osaka tak bisa mengubah kebiasaan lama ayah, mencekik botol minuman keras.

Begitupun denganku! Aku dan ayah sama-sama suka menenggak minuman keras. Bila diumpamakan, buah jatuh tidak jauh dari pohonnya.

Seperti ayah itulah aku saat ini. Aku sering minum-minum di kafe, restoran, atau bar. Namun, tidak seperti ayah di mana saja jadi. Aku biasanya mencari tempat untuk minum-minum bersama teman-teman alumni semasa SMA dulu.

Ya, tinggal kuajak mereka melalui pesan singkat via grup pun jadi. Setelah itu, baru kuberi tahu tempatnya, jadilah kami mengadakan pesta kecil untuk minum-minum.

Baca juga  Perempuan Tinggi Berbuku Besar

Bahkan ketika ada nomikai [2] di tempat aku bekerja, kebiasaanku juga tidak pernah ketinggalan. Bersama rekan-rekan kerjaku, seusai dari kantor kami berpesta pora untuk minum-minum. Itu sering aku lakukan bersama mereka.

Namun, ada peristiwa aneh yang menghinggapiku akhir-akhir ini. Tidak lain mengenai kebiasaanku minum-minum. Hingga hal itu membuatku bertanya-tanya, sebenarnya apa yang terjadi padaku?

Ini kualami ketika suatu malam seusai pulang kerja aku mengundang teman-teman alumni SMA mampir ke sebuah bar untuk minum-minum. Kami pun minum-minum sambil membenturkan gelas masing-masing. Dengan suara lantang kami kompak bersorak, “Ichi, ni, san… [3] kampai!” [4]

Saat itu, tiba-tiba aku melihat di atas kepala teman-teman minumku wajah-wajah perempuan lain di kehidupan mereka. Walaupun di antara mereka ada yang sudah beristri atau bertunangan, ternyata mereka masih saja suka main hati dengan perempuan lain.

“Kamu sudah seberapa sering berkencan dengan sekretaris bosmu itu?” tanyaku pada Tatsuya. “Apa kamu tidak kasihan dengan tunanganmu?”

“Kamu tahu dari mana, Shota?” Tatsuya terkejut ketika aku berkata begitu.

“Jangan sering-sering main belakang dengan rekan kerjamu yang perempuan, Shinji?” aku beralih kepada temanku yang istrinya sedang hamil tua.

Lha, Shota dari mana kamu bisa tahu hal itu?” kali ini Shinji yang terheran-heran.

“Aku tidak tahu apa-apa! Hanya ketika aku bersulang dengan kalian tetiba aku melihat di atas kepala kalian keluar wajah-wajah perempuan yang sedang kalian kencani itu. Sangat tampak sekali kulihat! Sangat jelas wajah-wajah perempuan itu,” kataku apa adanya.

“Kamu sedang bercanda, kan, Shota? Kamu hanya mengarang, kan!” Tatsuya tidak terima ketika aku mengatakan perilakunya yang suka mengencani sekretaris bosnya padahal ia sudah bertunangan. “Atau, kamu memata-matai aku setelah itu kamu adukan kepada Aimee, tunanganku itu?”

“Persetan, soal apa yang kamu katakan tadi. Kukira aku kurang kerjaan, sedangkan di kantorku lagi banyak pekerjaan!” tukasku kepada Tatsuya.

“Baik-baik, Shota! Soal apa yang dikatakan Tatsuya tadi jangan kamu ambil hati. Sekarang aku percaya apa yang kamu katakan itu. Kalau aku bilang kamu punya kelebihan perkara soal ini. Tapi sejak kapan kamu bisa melihat seseorang yang dicintai oleh teman minummu hanya lewat benturan gelas?” Shinji meredakan situasi saat itu. Hampir saja acara minum-minum kami berantakan lantaran aku berkata apa adanya ihwal yang kulihat.

“Entahlah, aku sendiri tidak tahu sejak kapan? Tapi yang pasti secara tiba-tiba aku bisa melihat perempuan-perempuan yang kalian kencani itu keluar sendiri dari kepala kalian masing-masing. Itu benar adanya!” aku menegaskan apa yang terjadi pada diriku.

“Tapi, tenang, semua kebusukan kalian pada istri atau kekasih kalian aku jaga rapat-rapat. Kalau begitu kita bersulang lagi. Kita habiskan malam ini bersama-sama, ya. Ichi, ni, san… kampai!”

Akhirnya kami pun bisa menikmati sisa-sisa malam itu bersama kembali. Walaupun istri atau kekasih mereka sedang menunggu kepulangan mereka di luar sana, semua terkalahkan oleh botol-botol minuman yang ada di hadapan kami saat itu.

Botol-botol wiski itu kini tergeletak begitu saja di atas meja. Diam membisu, tidak kami pedulikan. Begitu juga aku tidak memedulikan apa yang aku alami sejak tadi.

***

HARI ini ayah tidak biasanya mengajak aku untuk minum-minum di apartemen kami. Menurut dia, nanti sepulang kerja ia akan langsung membeli beberapa minuman keras. Walaupun sebenarnya aku ingin menolak karena pekerjaanku sebagai akuntan cukup padat, kuiyakan saja saat ayah menelepon siang itu. Ia mengatakan ingin mengajak aku minum-minum bersamanya.

Oya, aku baru ingat! Mungkin sudah lima tahun lebih aku mengikuti jejak ayah, suka minum-minum dan menjadi pemabuk berat. Itu berawal dari kekecewaanku yang dikhianati oleh Aiko—kekasihku yang baru aku kenal lewat aplikasi dating.

Aku menangkap basah Aiko berselingkuh. Ia sedang sebadan dengan lelaki tua bangka berperut buncit yang kuketahui lewat aplikasi itu. Ternyata lelaki itu seorang anggota parlemen yang suka sekali memanggil perempuan semacam Aiko di aplikasi dating untuk menemani berkencan.

Baca juga  Madah Duka Lara

Kukira Aiko akan berubah setelah mengenalku. Tapi ia masih tetap menerima panggilan dari lelaki lain. Seperti siang itu, aku memergoki dia di apartemennya. Anggota parlemen itu kulihat sedang menari-nari di atas tubuh Aiko. Bajingan!

Sejak itulah aku menumpahkan segala kekesalan, amarah, dan kekecewaan—bahkan keterpurukanku pada perempuan itu dengan minum-minum. Akhirnya aku menjadi terbiasa selalu minum-minum seperti ayah, baik ketika banyak permasalahan maupun hanya untuk bersenang-senang.

Maka ketika ayah mengajak aku untuk minum-minum bersamanya, aku pun tidak menolaknya. Memang tidak biasanya ayah seperti itu, mengajak aku minum-minum secara tiba-tiba.

“Baik, Yah! Nanti aku pulang cepat!” kataku dari balik ponsel.

“Oke! Nanti ayah yang beli sake [5], jangan kamu. Baiklah, ayah sudah dulu, ya. Nanti jika sudah ada di toko minuman, ayah telepon kembali,” ujar ayah.

“Siap, Yah!”

Klik. Sambungan kami berakhir. Aku pun mempercepat menyelesaikan pekerjaanku. Apalagi jam duduk di meja kerjaku menunjukkan pukul 17.00. Sebelum pukul 19.00 nanti aku harus tiba di apartemen kami.

***

MALAM itu akhirnya aku bersama ayah minum-minum. Sake yang ayah beli cukup banyak, lima botol, untuk kami minum-minum di rumah.

Tapi lagi-lagi kejadian itu kembali terulang, sama persis ketika aku sedang minum-minum bersama teman-teman alumni SMA di sebuah bar belum lama berselang. Saat aku sedang bersulang dengan ayah, gelas minuman kami beradu sambil berucap bersama-sama, “Ichi, ni, san… kampai!” tiba-tiba, aku melihat seorang perempuan paruh baya seusia ayah, cantik, berambut sebahu dan senyumnya sangat meneduhkan. Paras perempuan itu terlihat ada di atas kepala ayah.

Bila kulihat dari penampakannya, perempuan paruh baya itu…, bukankah…. Ya, bukankah itu Nyonya Miyako! Seorang janda yang suaminya tewas karena kecelakaan tunggal lalu lintas. Karena mengantuk, suami Nyonya Miyako itu menghantam pembatas jalan dengan begitu kerasnya hingga ia tewas di tempat. Aku sesaat melihatnya sangat terkejut. Kaget sekali.

“Ayah, apakah menyukai seseorang?” tanyaku kepada ayah yang sudah mulai mabuk.

“Kamu tahu dari mana anak ingusan!” seru ayah mengelak.

“Jujur sajalah jika ayah menyukai Nyonya Miyako! Tetangga kita yang hanya berjarak tiga pintu apartemen kita ini. Iya kan? Jika ayah menyukainya lantas menunggu apa lagi? Menikahlah dengannya agar hidup ayah bisa lebih teratur. Lagi pula bukankah ayah sudah cukup lama pisah dari ibu? Aku sangat mendukung sekali jika ayah menikah dengannya. Karena ia wanita baik dan cerdas,” ujarku.

Aku kemudian menceritakan bahwa aku pernah bertemu dengannya dan ngopi bareng di apartemennya saat berpapasan pulang kerja. Saat itu ia menawarkan aku untuk sekadar ngeteh atau ngopi. Akhirnya kuterima ajakannya itu. Kemudian aku melihat-lihat seisi rumahnya. Ternyata ia perempuan mandiri pula. “Menikahlah dengannya, Yah,” aku pun sedikit memerintahkan ayah untuk bisa menuruti perkataanku saat itu.

Kulihat ayah salah tingkah. Sesaat ia terdiam.

“Maaf, ayah mau ke kamar kecil,” ayah mengalihkan pertanyaanku dengan wajah penuh semu. Sepertinya ayah malu ketika aku katakan apa adanya sesuai dengan penglihatanku.

Aku pun tersenyum melihat ayah seperti itu. Ia tak ubahnya seperti anak remaja yang sedang jatuh cinta.

***

AKHIRNYA ayah pun menikah dengan Nyonya Miyako. Entah, ayah menikahinya karena mencintai perempuan paruh baya yang masih terlihat cantik dan menarik itu. Atau, karena bujuk rayuku saat minum-minum bersama di rumah beberapa waktu lalu. Yang terpenting bagiku, ayah ada yang mengurusi ketimbang sendirian tanpa tujuan hidup.

Maka, saat ayah sudah memiliki pendamping hidup mungkin ia bisa semakin bergairah menapaki kehidupannya lagi, setelah ia menelan pil pahit ketika mengingat mantan istrinya berselingkuh dengan pria tetangga apartemen kami di Nagoya dulu. Ia tidak bisa begitu saja melupakannya sampai tak berani untuk menjalin hubungan dengan perempuan lain. Mungkin dengan menikahi Nyonya Miyako, semoga hidup ayah bahagia dan tentram.

“Bisakah kita minum-minum bersama lagi di pesta pernikahan ayah kali ini? Sekali saja?” bisikku di telinga ayah.

Baca juga  Dongeng Burung Hantu

Sengaja aku berkata seperti itu ingin menguji keimanan ayah. Apakah masih tergoda untuk minum-minum kembali setelah menemukan pasangan hidupnya atau tidak? Aku penasaran.

“Pokoknya, sekarang ayahmu harus berhenti mencekik botol lagi. Itu jika ia mau menginginkan anak dari rahimku,” tetiba Nyonya Miyako datang menjawab apa yang aku katakan kepada ayah.

“Apa! Ayah ingin punya anak. Ha-ha-ha,” saat itu tawaku pun meledak.

Aku langsung melihat wajah ayah yang kembali tersipu. Ia juga tidak bisa menahan senyum ketika keinginannya itu dibocorkan oleh istri barunya.

“Baiklah, kalau begitu aku tidak akan memaksa ayah untuk minum-minum lagi. Daripada nanti aku tidak dimasakkan oleh ibuku yang cantik dan pintar masak ini,” akhirnya aku pun mengiyakan saja apa yang dikatakan oleh Nyonya Miyako. “Kalau begitu aku balik ke mejaku lagi. Kali saja aku nanti ada teman minum,” lanjutku menuju meja tamu.

Kini aku sudah duduk kembali di meja tamu dengan penuh minuman sambil kembali melihat ayah yang tersenyum bahagia ketika para undangan memberikan ucapan kepadanya dan Nyonya Miyako yang kini sudah menjadi sepasang suami-istri.

“Bolehkah aku duduk sini?” samar-samar aku mendengar suara perempuan di hadapanku. Saat itu aku tidak tahu kehadirannya karena aku sedang berfokus kepada ayah dan Nyonya Miyako yang menerima ucapan dari para undangan.

“Si-silakan!” seruku terbata-bata campur kikuk karena tiba-tiba dihampiri perempuan muda bergaun hijau toska, berambut panjang tergerai, dan bermata indah.

“Oh, terima kasih!” ujar perempuan itu ketika aku mempersilakannya.

Sesaat suasana hening. Aku jadi salah tingkah. Aku membatu seraya melihat kecantikan perempuan yang ada di hadapanku. Sambil mengingat-ingat aku sepertinya pernah melihatnya. Tapi aku lupa di mana?

“Bolehkah tuangkan bir ke dalam gelasku ini?” pintanya. “Oya, lupa aku belum mengenalkan diri. Namaku Ryuka, aku keponakan Nyonya Miyako,” lanjutnya.

“I-iya! Kenalkan aku, Shota! Anak dari Pak Kurama, suami Nyonya Miyako yang juga ayahku,” aku masih tetap terbata-bata ketika memperkenalkan diri.

“Oh, baiklah!” seru Ryuka. “Bagaimana kalau kita bersulang?”

“Ba-baik! Ichi, ni, san… kampai!” gelas minumanku beradu dengan gelas minuman Ryuka.

Seusai kami bersulang tetiba suasana hening. Ryuka melihat ke arahku begitu beda. Kali ini sangat dalam melihatku. Ada apakah gerangan?

“Apakah kita pernah bertemu?” tanya Ryuka. “Mengapa aku mengatakan hal ini karena di atas kepalamu ada wajahku?”

“Begitukah?!” tukasku.

Seketika itu pesta pernikahan ayah yang gegap gempita langsung senyap. Tidak ada tawa ceria dari para tamu undangan maupun ayah dan Nyonya Miyako. Semua seperti membisu ketika Ryuka mengatakan hal itu.

Sedangkan aku hanya bisa termangu.

Aku tidak mampu lagi mengucapkan sepatah kata pun di hadapan Ryuka. Apalagi saat kulihat Ryuka tersenyum manis ke arahku. Ia seperti punya hati padaku. Tapi, apakah itu mungkin? Atau, jangan-jangan Ryuka tahu jika aku dan dirinya sama-sama memiliki kemampuan seperti itu?

Entahlah. Dan bukan itu saja. Ternyata kami adalah dua orang yang sama-sama memiliki keistimewaan untuk melihat seseorang yang dicintainya hanya lewat dua gelas minuman yang saling beradu ketika sedang minum-minum. Kalau begitu apa kalian juga meyakininya?

.

Keterangan:

[1] Izakaya: kedai minuman

[2] Nomikai: tradisi minum-minum di Jepang khusus untuk para pekerja

[3] Ichi, ni, san: hitungan Jepang (satu, dua, tiga)

[4] Kampai: bersulang

[5] Sake: minuman beralkohol khas Jepang

.

.

Kak Ian adalah penulis, pengajar, dan penikmat sastra. Ia aktif dan bergiat di Komunitas Pembatas Buku Jakarta. Karya-karyanya berupa cerpen, cerita anak, cerita remaja, opini, dan puisi sudah termaktub di sejumlah media massa.

.
Ichi, ni, san… kampai!” “Ichi, ni, san… kampai!” “Ichi, ni, san… kampai!”“Ichi, ni, san… kampai!

Loading

Average rating 4 / 5. Vote count: 1

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!