Cerpen S Prasetyo Utomo (Solopos, 13-14 Juli 2024)
PENUH gairah Surti meninggalkan rumah, berlari menuju Lembah Kelelawar. Di tangannya tergenggam tangkai kembang mawar merah rekah.
Bulan bulat penuh. Tetapi, lembah itu gelap dinaungi pepohonan sonokeling, jati, dan munggur yang lebat, daun-daunnya tak tertembus cahaya bulan. Gadis itu menemui Samsul, lelaki yang baru sembuh sunat.
Sambil menyanyi, pinggul bergoyang-goyang, gadis itu melepas segala hasratnya menjadi penyanyi. Lelaki yang baru sembuh sunat itu membawa sebotol ciu dari meja judi ayahnya. Matanya memerah, menatap nanar goyang pinggul Surti.
“Ayo, minum ciu,” kata Samsul.
Surti menenggak ciu dari mulut botol. Ia menyanyi, bergoyang, dan tangkai bunga mawar itu masih digenggamnya.
Samsul memandangi gadis itu dengan mata meradang, sambil duduk, dan menggenggam botol ciu. Kelelawar-kelelawar terbang rendah di pelataran rumah. Ayahnya berjudi dengan teman-temannya di ruang tamu, tak peduli gadis itu terus menyanyi dan bergoyang.
Hampir tengah malam, Surti duduk di sisi Samsul yang masih menggenggam botol ciu. Tetapi, botol ciu sudah kosong. Lelaki itu tak bergerak ke mana pun. Terdiam di pelataran rumahnya yang senyap.
“Kamu sudah menemukan orang tuamu?” tanya Samsul tanpa memandang wajah Surti yang dibintiki keringat.
“Aku bayi yang ditemukan Mak Yah di bawah pohon mawar merah ketika bulan purnama, dekat warung kopinya. Mak Yah tak pernah berpikir aku anak siapa. Sebagai janda kembang, ia bahagia bisa membesarkanku. Ia tak ingin mencari orang tuaku,” kata Surti dengan suara meradang.
“Apa kamu sudah menemukan ibumu?”
Menggeleng, Samsul menenggak botol ciu. Lidahnya menjilati tetes terakhir ciu di mulut botol. Ingin mengobati luka rindu pada ibunya. Tetapi, luka itu terasa nyeri di hatinya.
***
Senyap pelataran rumah Samsul di Lembah Kelelawar, bulan purnama. Setangkai bunga mawar merah di tangan Surti. Gadis itu tidak menyanyi. Ia duduk di batu besar, berdekatan dengan Samsul.
“Ini kisah Mak Yah saat menemukanku. Menjelang tengah malam, tak ada pembeli di warung kopinya. Mak Yah enggan pulang. Ia tinggal seorang diri di rumah, selalu merasakan sepi. Ia termangu setelah menutup pintu warung. Didengarnya suara tangis bayi yang kencang di bawah pohon mawar. Bergegas ia mendekati suara tangis bayi. Berjongkok. Tangannya meraih bayi perempuan berselimut merah jambu, mengangkatnya, mencium lembut,” kisah Surti. “Bayi itu adalah aku.”
Terdiam, menenggak ciu, Samsul mendengarkan kisah Surti.
“Pagi masih gelap ketika Mak Yah bergegas mendaki lereng Gunung Jabalkat. Ia menggendongku. Napasnya terengah-engah. Langkah kakinya teratur. Ia ingin bertemu Ki Gandrung Marsudi yang tinggal di pedepokan sunyi Gunung Jabalkat. Ia mengadukan nasibnya setelah kematian suami. Alangkah sunyi pendapa pedepokan Ki Gandrung Marsudi. Ia meletakkanku di hamparan tikar pandan. Ki Gandrung Marsudi menemui Mak Yah dengan wajah cerah.”
Samsul memandangi wajah gadis di sisinya. Tangan kanan gadis itu menggenggam tangkai bunga mawar. Tergetar.
“Sebelum menemukanku, Mak Yah bermimpi memangku bulan. Lalu, ia bertanya pada Ki Gandrung Marsudi apa makna mimpi itu.”
Tersenyum, mengerutkan dahi, Samsul menatap Surti. Matanya kemerahan, “Apa yang dikatakan Ki Gandrung Marsudi?”
“Lelaki tua itu berkata, ‘Kau sudah memiliki anak. Rezeki akan melimpah dalam hidupmu’. Mak Yah menceritakan kisah ini berulang kali padaku.”
***
Sambil membawa setangkai mawar merah yang dipetik dari pelataran, Surti berlarian ke Lembah Kelelawar pada malam terang bulan. Ia menemui Samsul yang masih merokok di pelataran, sesekali menenggak ciu dari botol.
“Mungkin aku tak akan datang lagi ke pelataran ini,” kata Surti. Ia memandangi mata Samsul yang meradang. Tiap kali melihat mata Samsul kemerahan, ia memikirkan kerinduan lelaki itu pada sosok ibu yang tak pernah dilihatnya.
“Kenapa kau tak akan datang lagi kemari?”
“Seorang bos mengajakku bernyanyi di Orkes Melayu Mawar Rembulan.”
Sepasang mata Samsul yang kemerahan terbelalak. Memandangi gadis lincah itu.
“Kamu akan jadi penyanyi terkenal,” kata Samsul. “Lalu akan kautinggalkan desa ini?”
“Aku tetap menemani Mak Yah,” kata Surti. “Dia telah merawatku sejak bayi. Aku tak ingin dia hidup seorang diri.”
Samsul memandangi Surti seperti kehilangan sahabat yang selama ini senantiasa menemaninya di malam purnama. Surti memberikan bunga mawar itu pada lelaki di hadapannya.
“Kelak kau mesti jadi istriku!” kata Samsul parau.
Terbelalak, Surti memandangi Samsul dengan tatapan tajam. Ia tidak menertawakan harapan lelaki mabuk di hadapannya. Tetapi, ia tak ingin menolak permintaan lelaki itu. Ia bangkit. Kembali menyanyi.
Pelataran rumah yang senyap dan gelap—dinaungi rimbun dedaunan—serupa panggung Surti. Ia membayangkan penonton berjubel, berjoget, mengikuti irama nyanyiannya.
Hingga larut malam, ia terus menyanyi dan memberi hiburan lelaki di hadapannya yang menghabiskan sebotol ciu, ditenggak seorang diri, dalam sunyi dan terasing. Lelaki itu tak pernah bermain dengan teman-teman sebaya. Ia berkali-kali direndahkan karena ibunya meninggalkan desa, melarikan diri dengan seorang lelaki muda, mengembara ke Ibu Kota.
Surti tak pernah mengolok-olok Samsul. Tetapi, kali ini Samsul merasa masgul. Surti akan menjalani kehidupan sebagai penyanyi panggung.
Pelataran rumahnya akan sangat senyap meski bulan purnama. Di Lembah Kelelawar ini cuma berdiri rumah orang tuanya tanpa tetangga.
***
Surti dikenal sebagai penyanyi kenamaan Orkes Melayu Mawar Rembulan. Hampir tiap malam gadis itu selalu meninggalkan rumah, menyanyi ke daerah-daerah yang jauh.
Mak Yah teringat Ki Gandrung Marsudi, yang berpesan bahwa ia akan berlimpah rezeki. Tetapi, ia masih tetap membuka warung kopi, bertemu dengan para pelanggan dan bisa bercanda dengan mereka sampai larut malam.
Malam purnama, Surti tidak berangkat ke panggung. Ia menemani Mak Yah di warung kopi. Sebuah mobil sedan tua berhenti di tepi jalan. Penumpangnya seorang wanita setengah baya, cantik, memasuki warung kopi. Dia menatap Surti dengan wajah tercengang.
Surti memandangi wanita setengah baya itu dengan dada berdegup kencang. Ia seperti melihat wajahnya sendiri dalam umur yang lebih tua.
“Apa kamu yang memungut bayiku di bawah pohon mawar?” tanya perempuan setengah baya itu.
Mak Yah gugup. Ia tak menyangka bakal kedatangan tamu yang mencari bayi perempuan yang sudah dianggap sebagai anaknya. “Memang saya yang membesarkan bayi itu.”
“Di mana dia sekarang? Apa dia tumbuh menjadi gadis cantik ini?”
Sepasang mata Mak Yah menajam, menyerang perempuan setengah baya yang baru datang. “Kenapa kau berurusan dengan bayi itu?”
“Akulah ibunya. Bayi itu kubuang karena Lurah Ngarso tak mau membesarkannya. Ia takut pada istrinya. Aku sibuk menyanyi dari panggung ke panggung, tak mau membesarkan bayiku seorang diri. Kuletakkan ia di bawah pohon mawar, tak jauh dari warung ini. Kuharap seseorang mau merawat bayiku. Sekarang aku ingin menjemputnya.”
“Surti inilah anak gadismu,” kata Mak Yah menahan rasa kehilangan. Ia memandangi gadis yang selama ini dibesarkannya. Akankah Surti memilih untuk kembali pada ibu kandungnya? Kini gadis itu tahu orang tuanya. Ibunya penyanyi, ayahnya lurah desa ini.
“Aku akan tetap tinggal bersama Mak Yah,” kata Surti yakin dengan keputusannya. Ia tak bisa menghapus kenangannya bersama Samsul.
Ia selalu ingat, dulu, tiap bulan purnama ia menyanyi di pelataran rumah lelaki itu sambil menggenggam setangkai bunga mawar. ***
.
.
Pandana Merdeka, Juni 2024
S Prasetyo Utomo lahir di Yogyakarta, 7 Januari 1961. Menyelesaikan program doktor Ilmu Pendidikan Bahasa Unnes pada 9 Maret 2018 dengan disertasi Defamiliarisasi Hegemoni Kekuasaan Tokoh Novel Kitab Omong Kosong karya Seno Gumira Ajidarma. Semenjak 1983, ia menulis cerpen, esai sastra, puisi, novel, dan artikel di beberapa media massa seperti Horison, Kompas, Suara Pembaruan, Republika, Koran Tempo, Media Indonesia, Jawa Pos, Bisnis Indonesia, Nova, Seputar Indonesia, Suara Karya, Majalah Noor, Majalah Esquire, Basabasi.
.
Bulan di Pangkuan. Bulan di Pangkuan. Bulan di Pangkuan. Bulan di Pangkuan.
Leave a Reply