Cerpen, Intan Andaru, Republika

Api di Atas Seribu Papan

Api di Atas Seribu Papan - Cerpen Intan Andaru

Api di Atas Seribu Papan ilustrasi Da'an Yahya/Republika

4.3
(3)

Cerpen Intan Andaru (Republika, 14 Juli 2024)

SAAT itu, harum kayu gaharu mampu menembus hutan dan lautan. Banyak kapal baru dengan geladak penuh karung yang siap dijual hingga ke negara jajaran timur tengah. Gaharu adalah inti magnet, sementara kapal-kapal itu adalah serbuk besi yang menempelinya. Tanah dipetakan. Hutan berisi gaharu lalu disewa dengan segepok uang. Para lelaki meninggalkan jew, rumah bujang mereka, dan menerima panggilan untuk mengumpulkan gaharu. Mereka menjual gaharu kepada para penyewa seperti gajah yang mematahkan gadingnya sendiri.

***

“Apa Ibu tidak ingin pulang? Aku ingin bertemu kakek-nenekku.”

Sudah dua puluh tahun, Loka tinggal di tanah lumpur itu. Ia dulu lahir sungsang di tengah belantara, dibantu seorang bidan kampung. Air mata bidan itu tumpah saat mendapati tubuh Loka berhasil memerah dan menangis setelah sekian menit tak merespons rangsang taktilnya. Ia mengira Loka akan mati di tangannya karena ibunya, Asmani, memiliki kehamilan risiko tinggi namun menolak dirujuk ke kota. Asmani sengaja memenjara dirinya, membuat batas sungai dan hutan adalah dinding yang tak ingin ia lewati. Asmani telah menjadi patahan kayu yang dikeringkan cuaca. Baginya kota adalah nyala api yang harus ia hindari.

“Ibu sudah tidak ada rumah lagi. Ibu tidak tahu bagaimana kabar orang-tua Ibu. Terakhir saat Ibu pulang, mereka tak mau menerima Ibu.”

Asmani lupa kapan terakhir ia menghubungi keluarganya di Blitar. Setelah adik-adiknya menyelesaikan kuliah dan mendapatkan pekerjaan kantoran, mereka melihat Asmani dengan cara berbeda. Asmani yang rutin memberikan uang bulanan sudah dianggapnya pendosa besar. Uang itu seharusnya tak pernah ia kirim. Mereka meyakini bahwa uang itu adalah sumber api neraka yang mengalir di darah mereka sampai-sampai saat ini mereka sibuk menyucikan diri.

“Kalau begitu, aku ingin bertemu dengan ayahku. Apakah bisa?” Loka menata bicaranya agar tidak melukai ibunya.

Loka tak pernah bertemu ayahnya. Ia tumbuh di pelukan Asmani dan pangkuan Mama Eli, warga tempatan yang membantunya melakukan pekerjaan rumah. Sejak Asmani menetap di kampung itu, ia membuka warung makan karena ia tidak tahu dengan cara apalagi ia dapat bertahan hidup. Sehari-hari ia memasak nasi, ikan, dan sayur. Bahan-bahan ia dapatkan dari pedagang kios yang rutin berbelanja di kota.

Baca juga  Tangan-tangan Buntung

“Ayahmu ada di Makassar. Ia meninggalkan ibu sebelum kau lahir,” jelas Asmani, “tidak perlu kau cari-cari lagi sepertinya ia juga tidak menganggap kita ada.”

“Siapa namanya?”

Asmani berpikir. Mengingat-ingat sekian lama. Dan di antara sederet nama yang muncul di ingatannya, ia menyebutkan nama lelaki itu. Loka mencatatnya di kepala.

“Di mana Ibu bertemu dengannya?”

Krisis moneter saat itu disiarkan di seluruh penjuru televisi. Harga sembako melangit. Masyarakat mulai mencemaskan beras dan minyak yang tak terbeli. Saat itu, Asmani adalah gadis yang putus sekolah dan bekerja sebelum waktunya. Ibu dan ayahnya adalah para buruh pabrik yang tak pernah mengenal keluarga berencana sehingga melahirkan banyak anak. Bagi mereka, hidup adalah tentang mencari makan. Terlalu berlebihan bagi mereka bila berharap anak-anak yang lahir dari rahim seorang buruh dapat melanjutkan sekolah. Pendidikan adalah kemewahan yang langka. Mereka sudah lama hidup dalam jerat kemiskinan dan kebodohan—kedua karib yang sulit dipisahkan.

Ajakan dari teman-temannya ke Timika ia sambut baik. Bersama 11 perempuan lain, ia melanjutkan perjalanan ke Asmat, kota seribu papan, untuk menemani para pencari gaharu. Sebuah hotel di tengah kota, mereka gunakan untuk melakukan transaksi seksual yang penuh risiko. Asmani sudah bermalam dengan banyak laki-laki yang nama mereka tak pernah ia ingat lagi. Kecuali seorang lelaki yang pernah singgah di hatinya.

Ia yang pernah membawa Asmani pergi ke kampung-kampung untuk mengumpulkan kayu gaharu. Asmani bahkan pernah hanyut dalam delusinya bahwa lelaki itu kelak akan meminangnya. Pada suatu hari, ia mendapati kenyataan bahwa ia bukan yang istimewa. Kenyataan menyadarkan bahwa ia hanya seorang penyaji layanan seksual yang dicari lelaki itu saat dibutuhkan saja. Lelaki itu pun kembali ke Makassar, menikah dengan seorang perawat, dan tak pernah ia dengar kabarnya lagi.

“Apa boleh aku mencarinya?” tanya Loka.

Tentu saja Loka ingin bertemu. Loka ingin melihat, menanyakan banyak hal, menghakimi, sekaligus ingin memakinya. Bila perlu, memukulnya atas utang-utang kewajiban kepadanya dan Asmani selama dua puluh tahun ini. Asmani bilang tidak perlu sebab itu akan sia-sia.

***

Mereka yang tinggal di kampung sebuah distrik pedalaman memiliki jadwal rutin ke kota untuk berbelanja sebagaimana Loka yang selalu ikut para pemilik kios untuk memenuhi barang dagangan. Di kota, mereka selalu berbelanja di kios Paman Kohar. Selain karena lebih murah dan lengkap, sepasang suami istri pemilik kios juga baik. Tak segan menawari mereka makanan—apalagi kepada Loka. Kabar bahwa ia anak seorang mantan pelacur dan tak memiliki ayah telah terendus di mana pun ia pergi.

Baca juga  Nirvana

“Saya ingin melanjutkan kuliah di Makassar, Paman,” Loka bicara sambil melahap kudapan yang tersaji di meja kasir Pamah Kohar.

“Sudah lama saya lulus, saya hanya membantu Ibu membuka warung.”

“Mau cari apa di Makassar? Kuliah di Jayapura saja. Makassar terlalu banyak ongkos,” Bibi Kohar muncul di balik pintu sambil membawa kalkulator dan sebuah buku untuk menghitung laba.

“Saya ingin bertemu ayah saya, Bibi.”

Paman Kohar dan istrinya saling tatap seolah bertanya-tanya apakah Loka tidak mengerti bahwa ibunya adalah seorang pelacur. Bukankah tidak memiliki ayah adalah risiko yang harus ia terima?

Barang pesanan sudah terbungkus dalam kardus dan karung, rombongannya akan segera kembali. Ketika pamit kepada mereka, Paman Kohar memintanya mampir lagi bila jadi berangkat ke Makassar. Loka berlalu meninggalkan ucapan terima kasih. Orang baik seperti Paman Kohar memang banyak. Saat ia masih sekolah, Paman Kohar sering memberinya uang saku tiap Loka berbelanja di kiosnya. Bibi Kohar sudah menganggarkannya untuk santunan rutin.

Hari itu Loka dan rombongannya kembali ke kampung membawa bahan makanan. Ia begitu yakin untuk mengikuti tes masuk ke perguruan tinggi di Makassar. Loka tahu ibunya memiliki cukup tabungan karena ia pula yang tiap bulan menyetor uang itu di bank daerah.

***

Pikiran Asmani dipenuhi mendung abu-abu saat menyadari anaknya telah dewasa dan mencari jati dirinya. Ia sendiri begitu samar menatap kebenaran. Loka tidak pernah tahu, dua puluh tahun lalu, dalam malam yang gemetar itu, Asmani tak tahu lagi kemana harus bersembunyi. Asap mengepul dengan cepat. Abu berhambur ke langit seperti harapannya yang lebur bersama udara. Hotel tempat ia bekerja dihanguskan api. Teman-temannya telah ditangkap, dikumpulkan, dan diperintahkan pulang, sementara ia menyadari ia tak punya rumah untuk kembali. Mereka bermalam di kantor polisi seperti para pencuri atau perampok atau siapapun itu yang melakukan kejahatan besar. Asmani berhasil menyelinap di kegelapan, menghindari jalan utama, menembus rawa-rawa. Ia berhasil menyelamatkan diri. Tergopoh-gopoh, ia mengetuk sebuah pintu rumah kos yang bersebelahan dengan kios besar.

Baca juga  Kaukah yang Menyuruhku Pulang?

Tangannya gemetaran mengingat api yang menyambar seperti seekor harimau yang kelaparan, melahap bangunan papan itu dengan cepat. Bila tidak lekas menyadari bau asap itu, ia yang baru saja bertransaksi nyaris terbakar bersama tumpukan kayu kering. Bau hangus menyebar dengan cepat, para perempuan dan seisi hotel itu berhambur melarikan diri dalam kekalutan.

Sakunya telah kosong. Ia bahkan tak memilki barang apapun. Saat pintu yang diketuknya terbuka, kepada orang itu, ia memohon belas kasihan untuk tinggal sementara. Namun lelaki paruh baya itu meminta sebuah persyaratan. Ia bersedia memberinya sebuah kamar yang ditukarnya dengan persetubuhan tanpa rencana. Bulan berikutnya Asmani pergi tanpa pamit ke sebuah kampung di ujung perbatasan saat ia menyadari menstruasi tidak kunjung datang. Ia mengenal kampung itu dan orang-orang baik yang tinggal di sana. Mereka yang pernah menemani Asmani di rumah kecil itu selama beberapa hari ketika para lelaki meninjau hutan. Mereka menganggap Asmani adalah istri dari seorang pengusaha gaharu.

Di kampung itu, ia lalu melanjutkan hidup dengan perut yang semakin membesar. Sampai suatu hari, seorang anak berusia sepuluh tahun datang bersama rombongan dari distrik untuk berbelanja di sebuah kios tengah kota. Saat Paman Kohar, pemilik kios, menatap anak itu—ia menemukan masa kecilnya sekaligus menemukan mata Asmani, seorang perempuan ranum yang pernah ia selamatkan di malam terbakarnya sebuah hotel di kota seribu papan.

“Nak, siapa namamu? Apakah mau kudapan?” sapanya.

Anak itu lalu masuk ke kios, duduk sambil menghabiskan sepiring kudapan kesukaan Paman Kohar. Setelahnya, kios itu menjadi langganan para rombongan sebab harganya menjadi lebih murah. ***

.

.

Intan Andaru adalah penulis Emerging Ubud Writers and Readers Festival (2021) dan penulis Emerging Asean Literary Festival (2018). Sempat bekerja sebagai dokter PTT di Maluku Utara dan Papua. Saat ini, masih tetap menulis di tengah kesibukan melanjutkan studi dokter spesialis bedah urologi di Surabaya.

.
Api di Atas  Seribu Papan. Api di Atas  Seribu Papan. Api di Atas  Seribu Papan.

Loading

Average rating 4.3 / 5. Vote count: 3

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!