Cerpen, Dea Renaizah, Republika

Karma Darah Mela

Karma Darah Mela - Cerpen Dea Renaizah

Karma Darah Mela ilustrasi Da'an Yahya/Republika

0
(0)

Cerpen Dea Renaizah (Republika, 07 Juli 2024)

NONGKRONG di kafe setelah acara reuni selesai. Aku dan teman-temanku bersantai memesan makanan. Kami datang terpisah dan janjian berkumpul melepas penat di sini, kafe langganan yang sering kami jadikan tempat untuk diskusi, pelayannya ramah dan sudah mengenalku dan teman-temanku. Biasanya aku membawa laptop, melakukan pembicaraan perihal pesantren, terutama tentang TPQ yang sudah lebih tiga tahun kami bina. Selain laptop, aku dan teman-teman juga sering membawa berkas-berkas penting. Tapi khusus hari ini aku datang berempat dengan tangan ringan, hanya membawa ponsel.

“Temu kangen kemarin itu lumayan sih,” kata Mbak Nur begitu masuk.

“Lumayan melelahkan bukan,” imbuh Mmbak Alfa.

“Sayangnya nggak semua yang kita undang datang. Padahal undangan sudah pasti didapat dan sampai,” sambungku.

Duduk menikmati makanan dan membuka ponsel, makanan tak serta-merta kami makan. Kami tidak lapar, hanya ingin bersantai dan istirahat saja.

“Ngomong-ngomong, kita sudah beberapa kali reuni dengan memakai aula pesantren sebagai tempat berkumpul dan Mela tak pernah datang sekalipun,” Sika berkata sambil menyuap sepotong kentang goreng ke mulutnya.

“Dia bukan orang penting, kenapa harus memikirkannya,” Mbak Alfa menimpali tanpa mengalihkan wajah dari ponsel.

“Acara juga gak bakalan berantakan meski dia gak hadir kok,” timpal Mbak Nur.

Sika hanya angkat bahu lalu diam mulai menyibukkan diri dengan ponselnya juga.

Amelia Andira, teman baikku sedari SMP sampai lulus SMA. Jika dibanding dengannya atau teman-teman yang lain, aku malang barangkali karena belum punya pasangan. Mbak Alfa dan Mbak Nur sudah lama menikah, Sika yang usianya setahun lebih muda dariku bertunangan sejak bulan kemarin. Tapi, menikah kan bukan ajang perlombaan juga. Entah rasa apa yang kupendam tentang Mela, antara marah, kecewa, sedih, rindu, prihatin sekaligus kasihan. Tak bisa kudefinisikan.

Dia sudah menikah 5 tahun yang lalu dan belum punya momongan. Wanita usia 25 tahun belum terlalu tua sebenarnya, aku santai saja menikmati kelajanganku, hahaha. Lagi pula saudara-saudaraku banyak yang kuliah. Cewek-cewek jomblo yang fokus pendidikan meski usia sudah hampir kepala tiga. Tapi aku tidak kuliah, aku juga tidak dekat dengan saudara-saudaraku.

Selain Sika, teman-teman masa remajaku anaknya banyak yang sudah masuk PAUD. Putri Mbak Alfa justru sudah sekolah TK, putra Mbak Nur hampir lulus PAUD. Mela berbeda, tidak adanya kabar pasca dia menikah menarik jadi bahan gosip di kalangan alumni. Aku sedih dan kasihan padanya dan ini seperti beralasan. Hidup ini penuh teka-teki sekaligus misteri. Jangan sia-siakan masa muda karena karma bekerja memberi porsi terbaiknya.

Manusia bisa berubah kapan saja bukan, tak penting dengan sikonku. Kondisi Mela sepertinya adalah inti dari yang kupikirkan. Aku tak tahu mengapa tiba-tiba merindukannya, bisa jadi karena Sika menyinggungnya tadi. Yang jelas Mela berubah perlahan setelah menikah, meski dilihat dari akun media sosialnya sebenarnya nampak bahagia dan baik-baik saja, mungkin aku sedang men-judge-nya juga, tapi entahlah, nostalgia masa remajaku yang berteman sekaligus bersahabat dekat.

Baca juga  Baboe Laoet

“Kapan kamu akan menikah?” suara Sika sedikit mengacaukan otakku. Aku menarik nafas mendengar pertanyaan bertema hal serenyah kerupuk udang yang perlu jawaban elegan itu.

“Nikah bukan lomba, jadi nggak perlu buru-buru banget kayaknya!” jawabanku pada Sika, disambut tawa kecil Mbak Nur dan Mbak Alfa.

Kemarin, antara berharap atau tidak, aku justru ingin Mela datang ke acara reuni, rindu dan kangen mengingat Mela pasca menikah tak pernah berkunjung ke ndalem pesantren tempatnya dulu nyantri, itu sering menggerogoti sekaligus mengacaukan perasaanku. Kadang juga membuatku ingin melupakannya, adakalanya kurasakan ulahnya membuat ribang terkikis sedikit demi sedikit dan mungkin akhirnya bisa pupus juga.

Mela dulu sangat ceria, bertentangan dengan sikapnya yang sekarang. Pantaslah Mbak Nur dan Mbak Alfa cuek begitu mendengar Sika menyebutkan nama Mela. Aku seperti tahu alasan Mela tak berkunjung, alasan yang sama sekali tidak bisa diterima. Mela pernah berjanji dulu bahwa dia akan datang menemuiku melepas rindu, namun selama dua tahun lebih aku menunggu dan janji itu belum juga ditepati.

Teman-teman lainnya sering merutukinya di hadapanku. Aku tak banyak komentar karena memang tidak tahu harus menjawab apa. Aku kecewa, kadang berusaha acuh tak acuh dengan kabarnya. Aku ingat betul saat Mela menikah. Undangannya datang dan aku pun bertandang. Lantas setelah itu, aku tak pernah bertemu dengannya lagi.

Berdalih suaminya tak mau kompromi dan malu, betapa teman-teman yang sering sowan ke ndalem pesantren benar-benar tak bisa menerima alasan itu. Faktanya, Mela sering ditemui sedang bertamasya ke tempat yang tak jauh dari pesantren, karena memang daerah sekitar pesantren ini banyak tempat wisata, namun sekalipun ia tak pernah mampir ke pesantren sekadar menemui kiai barang sejenak pun. Malu karena apa? Mela seperti masih menjiwai kenakalannya di masa lampau, suaminya adalah saudara sepupu dari pihak ayah sekaligus mantan pacarnya. Dia juga sempat broken home dan aku ingat betul saat dia menangis di pundakku menceritakan perceraian orang tuanya.

Keadaan pesantren zaman aku nyantri dulu sangat tidak memadai, sekarang sih fasilitasnya sudah membaik. Mela adalah santri cukup nakal sekaligus ceria dan menyenangkan, teman-temanku jarang ada yang membencinya. Gambaran kenakalan yang liar seketika melintas di pikiranku, Mela menceritakan padaku bahwa ia pernah melakukan sesuatu yang ekstrem bersama pacarnya.

Braaaak!!!

Sika menggebrak meja sampai membuat Mbak Nur dan Mbak Alfa hampir menjatuhkan ponsel saking kagetnya, lamunanku tentang Mela buyar.

“Perutku sakit,” erang Sika.

Aku mengerutkan alis, bayangan Mela di benakku langsung lenyap, aku lupa detail hal setelahnya. Aku kadangkala melamun memikirkan banyak hal saat tak ada yang dibicarakan, aku tidak pandai bermain game seperti Sika, tak suka bersosial media seperti Mbak Alfa, pun tidak minat berbisnis online shop yang menjadi pekerjaan sampingan Mbak Nur di sela-sela waktu luang dari tugasnya mengurus anak dan pengasuh pesantren. Aku menatap gerak-gerik Mbak Alfa yang sedang selfie itu dengan hati geli.

Baca juga  Segara

Mencoba fokus pada ponsel yang kupegang, mencari kontak Mela. Yaaah, ternyata aku sama sekali tidak punya riwayat chat dengannya di WA, inbox FB ataupun DM IG. Ah iya, aku baru ingat, Mela tak mengikuti akunku di Instagram, aku juga bukan followers-nya. Aku melihat-lihat story WA-nya, yang ternyata hari ini sangat banyak. Padahal Mela bukan sales. Hampir tiap hari pasti ada screen shoot lagi mesra via chat suaminya dan hari ini story Mela lebih banyak dan sama membosankan daripada hari-hari sebelumnya.

“Mens hari pertama….” kami bertiga menoleh barengan ke arah Sika “…. kenapa harus di sini….” gumam Sika sambil memegangi perutnya.

Mens, aha, aku ingat sekarang. Kembali kuperhatikan udara kosong, ruangan kafe yang ber-AC dan menatap kentang goreng dengan saus tomat berwarna merah menyala di atas meja. Mens alias darah, itu media yang digunakan Mela. Astaga, aku sekarang masih merinding juga seperti ketika mendengar pertama kali, padahal kali ini hanya mengenang momen ketika Mela menceritakan polah ekstremnya itu.

“Apa kamu mau minum air bekas cuci kaki ayahmu?” Kilahnya saat itu. Aku mengerutkan kening bertanya-tanya dalam hati mengapa harus disamakan begitu, dan Mela menambahkan

“Itu memang menjijikkan. Tapi jika berhubungan dengan orang yang kamu sayang, maka kata jijik itu bisa hilang.”

Aku yang tak ingin meneruskan perbincangan, bingung, berharap dia menganggap aku mengerti saja tanpa perlu panjang lebar. Memang itu sedikit bisa diterima sih, apapun yang berhubungan dengan orang tersayang takkan pernah menjijikkan.

“Silakan saja tanyakan ke kiai hukumnya,” sambungan ucapannya ini bikin keningku menjadi makin berkerut.

…..

Pulang dari kafe, aku memikirkan Mela lekat-lekat di kamarku tanpa cahaya. Ya meski memang tak semua orang menganggap darah itu menjijikkan.

Mela bilang pernah minum darah pacarnya dan pacarnya itu melakukan hal yang sama. Sungguh gila, memangnya dia makhluk apa, vampir drakula penghisap darah, atau iblis yang menyamar masuk pesantren. Alasannya pun aneh, ia melakukan itu hanya agar apa pun yang terjadi, ia dan pacarnya bisa tetap terhubung tidak hanya soal perasaan saja. Mungkin maksudnya adalah ingin terikat, tak berpikir sedikitpun bahwa itu, entahlah, aku merasa mual lagi. Faktanya, pacarnya itu sekarang menjadi suaminya.

Darah itu memang tidak banyak, menurut Mela pun cenderung jauh dari kata menjijikkan. Hanya setetes dua tetes cairan merah itu dicampur dengan segelas air, kemudian diteguk sampai tandas. Oh Tuhan, aku curiga, jangan-jangan perbuatan itulah yang menjadikan Mela tak kunjung punya momongan. Apa darah itu meracuni rahimnya.

Baca juga  Seorang yang Menunggu di Simpang Bunglai

Mela memiliki cukup banyak mantan pacar, mungkin lebih dari 30 orang, dan itu masih terbilang sedikit untuk ukuran cewek playgirl. Betapa buruk reputasinya di mata wali santri lainnya. Di mata santri cowok, Mela cukup memesona bersinar layaknya bintang kejora. Seolah ada sihir pelet yang melingkupnya, kenyataannya dia memang cantik. Tergiang lagi di telingaku kalimat Mbak Narsih dulu.

“Mel, kalau kamu tidak dipondokkan di sini, mungkin kamu bakal hamil sebelum nikah,” perspektif yang logis banget itu mah.

Ponselku bergetar. Dari layar kotak itu, kulihat Mela muncul di grup WA mengikuti teman-teman yang lain membicarakan hal-hal yang trendi, pasaran, sampai yang nyentrik. Grup itu bagai sebuah tagen yang menampung kami semua meski tak jarang juga banyak yang keluar. Aku hanya menyimak, tiba-tiba seorang anggota grup berkata, “Lebaran nanti wajib sowan ke pondok.”

“Sungguh rindu!” Mela merespon berhias emotikon menangis.

“Ya datanglah, kemarin juga reuni kamu gak datang, Mel!” Aku bersuara setelah lama menyimak.

“Suami tak mau kompromi.” Kembali dengan emotikon menangis lagi seperti mencoba mengundang simpati, tapi tanpa sadar mulutku justru mencibirnya.

“Takut ketemu mantan lagi,” Mela nyerocos dengan emotikon tertawa, kurasakan darahku bergejolak dibuatnya. Aku yakin teman-teman lain ada yang merasakannya juga.

Astaga rutukku dalam hati, aku yang bertempat tinggal paling dekat dari pesantren menimpali, “Hei, kamu ini mau sowan mengharap berkah dari kiai apa mau ketemu mantan?”

“Hehehe canda kok,” jawab Mela terdengar santai. Dia ceria. Hidupnya pasti hampa. Aku mengelus-elus pelipis dengan tiga jari. Lantas tanpa izin, rindu dan keinginan untuk bisa bertemu dengan Mela kembali membesar.

Mela, masa mudamu itu seperti hobi mengumbar omong kosong belaka. Aku yakin polahmu itu adalah penyebab dari kehampaan rumah tangganya yang tanpa anak. Barangkali darah itu menjelma virus yang melemahkan organ reproduksinya, atau dia dan suaminya ada yang mandul. Aku sudah pangling menjadi orang asing, kesalahan terbesarku mungkin karena sudah menghakimi. Sekilas sepak terjang hidupnya kurasa menyedihkan. Tapi sudah kutulis cerita yang tak sempurna ini untuk meluapkan kekecewaan, agar kekecewaan itu tak terus menerus menetap di hatiku. Aku masih tetap menyayanginya. ***

.

.

Dea Renaizah lahir di Probolinggo. Belajar dan bersekolah di pesantren yang dibangun oleh ayahnya sendiri. Histori pendidikannya lumayan kacau, pendengarannya tidak normal pasca sakit DBD parah saat usianya sembilan tahun. Hanya memiliki ijazah Sekolah Dasar dan Sekolah Lanjut Tingkat Pertama. Akun media sosial Dea Renaizah (Facebook) dan alhazhal (Instagram).

.
Karma Darah Mela. Karma Darah Mela. Karma Darah Mela. Karma Darah Mela. Karma Darah Mela. Karma Darah Mela.

Loading

Average rating 0 / 5. Vote count: 0

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!