Cerpen Silvester Petara Hurit (Kompas, 21 Juli 2024)
LIMA hari Hoda bergulat. Sejauh pandang hanya laut. Asin dan kelat. Gelombang merumpun dan pecah. Senja murung. Laut mengguncangkan segalanya.
Juga rasa nyaman. Pelabuhan Tanjung Priok sudah tampak di depan mata. Hoda melemparkan pandangannya sejauh mungkin.
“Tanah satu dan sama walau dipisahkan laut. Jika kau mencintai tanahmu seutuh-utuhnya, setiap tanah yang kau datangi akan sepenuhnya menerima dan mencintaimu.” Pesan leluhur yang selalu disampaikan kedua orangtuanya itu terus hidup seperti gelombang yang tak henti-henti mengempas badan kapal. Hidup sesungguhnya baru dimulai.
Hoda percaya Ibu Tanah menjaganya. Semua orang makan dari hasil tanah. Menghirup udara dari pohon yang tumbuh dari tanah. Mati pun akan berkalang tanah. Maka, tak ada yang lebih besar, lebih kuat dari Ibu Tanah. Ia sangat percaya leluhur pertamanya dilahirkan gunung dan dibesarkan bukit. Dari tanah asalnya. Karena itu, Ibu Tanah pasti menjaganya.
Seperti mimpi naik taksi pertama kali di Jakarta. Mobil merayap rapat seperti kawanan semut. Jembatan layang dengan tiang-tiang sanggah besar. Gedung rapat-rapat. Berjejal. Menjulang. Tinggi-tinggi. Matanya lekat melihat segala yang tampak di kedua sisi jalan. Semua mencuri perhatian. Namun, ini ibu kota. Maka, tak pernah ia kurangi sedikit pun rasa waswas terhadap sopir taksi. Berdosa mencurigai orang yang belum tentu jahat. Tapi, sekali lagi: ini ibu kota. Orang selalu bilang ibu kota lebih kejam daripada ibu tiri. Segala jenis orang berkumpul di sini. Mulai dari yang baik-baik sampai yang paling jahat.
Tiga hari pertama Hoda dikepung rasa kecewa yang hebat. Senyum tulusnya lebih banyak tak berguna. Kalau di kampung, setiap yang lewat mesti diberi senyum, disapa atau dipanggil mampir minum tuak. Tamu itu pembawa berkah. Tidak demikian dengan Jakarta. Senyumnya malah bikin orang menampakkan respons curiga dan menjauh. Mungkin karena kulitnya hitam, rambutnya keriting, badannya kurus ceking berdada tipis. Dikira gelandangan yang bakal mengancam.
Aroma parit bikin dadanya sesak. Bangunan di mana-mana memblokir pandangan. Deru kendaraan tak pernah berhenti dari arah jalan. Dan jalan ada di mana-mana. Semua mengimpit. Ditambah panas terus melelehkan keringat. Kencing saja harus bayar.
Jakarta lebih banyak mengolok-olok dirinya. Ia tak fasih. Lamban beradaptasi dengan benda-benda mati yang serba mekanis, prosedural, dan tak bisa diajak bicara.
Sebulan sudah ia numpang. Sepupunya selalu memberi semangat untuk tak henti mencari informasi kerja. Apa pun itu asalkan bisa untuk bertahan hidup.
“Ada orang-orang kamu di lantai lima gedung X,” seseorang memberi tahu.
Ada angin segar. Ada harapan di hati. Jam 10 pagi Hoda pergi ke sana. Lima pria menerimanya dengan sangat ramah. Ia mengutarakan maksudnya. Kelima orang itu saling pandang. Melihat dia dengan penuh simpati. Sekali-dua pria yang paling tua menarik napas panjang lalu mengembuskan dengan lebih kuat.
“No, memang ada kerjaan. Tapi, sangat keras. Taruhannya hidup-mati. Kami melayani jasa penarikan kredit macet khusus untuk perusahaan-perusahaan besar.”
Hoda tampak bingung.
“No terlalu halus, lugu, dan baik,” sambungnya.
“Demi melindungi diri, kami membawa juga senjata tajam,” seseorang yang lain menyambung.
“Kami sudah telanjur. No masih muda. Masih ada peluang untuk pekerjaan yang lebih baik.”
Hoda tak bisa sepenuhnya membayangkan seperti apa saling berhadapan dengan senjata tajam. Tak sanggup menyembunyikan rasa kecewanya, ia mohon pamit. Di kampung bisa hidup damai walau makan jagung, pisang, dan umbi-umbian. Kenapa harus ke Jakarta bertarung hidup dengan senjata tajam? Matahari bagai membakar. Keringat dan panas bikin pikirannya berantakan. Hatinya perih.
Ingatan masa kecil menyelinap. Menangkap kunang-kunang di malam hari. Melukis bayangan tubuh dengan abu dapur di tanah ketika terang purnama. Lalu tertawa cekikikan saat pagi. Mengenali kencing siapa yang paling dalam melubangi tanah. Ingatan masa kecil tersebut meninggalkan jejak perih atas nama harapan akan hidup yang lebih baik.
Siapa suruh datang ke Jakarta? Pertanyaan itu bagai menertawakan dirinya. Perasaan kalut membuat kakinya seakan tak menyentuh tanah. Yang pasti bahwa ia berjalan ke arah kos sepupunya. Jauh. Tapi, apa artinya jarak itu. Di kampung, ia biasa berburu. Naik bukit, turun jurang, dari gunung sampai pantai. Napasnya rusa liar. Tak terasa sudah jauh ia berjalan. Tiba-tiba, ia hendak kencing. Ia bingung harus kencing di mana. Diangkatnya wajahnya. Tak begitu jauh ada sejumlah pohon. Berderet mengapit rel kereta api. Berjalan ia lebih cepat menuju ke sana.
Seeeeeerrrrrrrr. Kencingnya nendang keras sebelum lengkung jatuh mengempas kardus di tanah.
Lega. Seperti nikmatnya kencing di halaman rumah ketika bermain bersama teman-teman seusianya saat purnama.
“Suuuuit, suuuitt. Ia menoleh cepat. Seorang perempuan paruh baya memanggilnya dengan tangannya. Memberinya senyum. Ia agak ragu. Namun, perempuan itu menunjukkan keramahan. Seolah sudah pernah kenal.
“Ada rokok, Bang?”
Hoda menggeleng.
“Belum makan siang, Bang. Main yuk?” ajaknya dengan sedikit memelas.
Hoda bingung
“Cuma dua puluh ribu, Bang. Buat beli nasi.”
“Atau mau saya?” seorang perempuan lain menyela genit sambil memainkan alisnya.
Seseorang lagi memberinya senyum yang lebih menggoda.
“Di sini saja, cepat-cepat,” sambil menunjuk semacam bivak kecil dari terpal lusuh. Ada beberapa bivak serupa berderet di sisi rel.
Keringat dingin. Hoda gemetar. Perempuan yang memanggilnya tadi membaca kekikukannya lalu merapat, menarik tangannya. Hoda mengikuti. Perempuan itu melorotkan celananya.
“Pakai berdiri, ya?”
Hoda gemetar. Ia meremas bagian depan celana Hoda. Meraih resletingnya.
Hoda meraba-raba kantong celananya. Mengeluarkan uang 50 ribu dan memberinya.
“Abang tidak mau?” Sambil meraih uang dengan cepat, perempuan itu membetulkan kembali celananya. Merapatkan dadanya ke tubuh Hoda dan memberinya ciuman.
“Terima kasih, ya, Bang. Banyak ya berkah dan rezekinya.”
Sekujur tubuh Hoda gemetar. Keringat dingin menyembul dari pori-pori kulitnya. Perempuan itu tersenyum senang.
Hoda segera keluar dari bivak itu.
“Udah ya, Bang?”
Hoda melangkah lebih.
“Kok cepat, Bang? Nanti datang lagi dengan saya, ya?”
Tanpa menoleh. Hoda menjauhi tempat itu. Jantungnya berdebar kencang.
Wajah ibunya dan wajah Somi gadis lesung pipit itu berganti hadir dalam benaknya. Untuk mendapat ibuku, Bapak masih saja utang mahar satu batang gading gajah sepanjang rentangan tangan orang dewasa yang kalau ditakar sudah di atas seratus juta rupiah. Bagaimana ini 20 ribu rupiah? Beginikah harga tidur dengan seorang perempuan?
Ia ingat wajah perempuan tadi. Di mana suami dan anak-anaknya? Apa dia tak punya rumah? Bagaimana main pakai berdiri itu? Kardus bekas yang jadi lantai bivak tadi, lipstik menor, kulit lusuh, pria-pria bertampang kasar yang duduk ngopi di antara bivak-bivak, rel yang muram, gedung-gedung tinggi, mobil bagus-bagus yang memadat di jalan hadir silih berganti.
Ibu Tanah, kenapa hidup begitu berjarak antara yang satu dan lainnya? Lalu kenapa orang-orang mengimpikan kota tanpa ibu? Betapa sialnya dirinya sudah datang ke kota celaka ini.
Sampai di kos, Hoda membantingkan diri ke tempat tidur. Kota bikin orang baik-baik harus pakai senjata tajam demi bertahan hidup. Nilai manusia cuma seharga 20 ribu. Kesal menggunduk. Sesak.
Dipandangnya lekat-lekat gambar Bunda Maria di dinding. Semakin lama semakin sempurna menyerupai wajah perempuan yang tak sempat ia tanyakan namanya tadi. Juga perempuan-perempuan lainnya di rel itu.
“Maafkan peradaban kami, Ibu Tanah.”
Ada yang keliru, pikirnya. Membiarkan perempuan mengais hidup di rel-rel garang. Padahal, mereka ibu kehidupan. Sang empunya rezeki dan penjaga hangatnya rumah. Apa jadinya rumah tanpa ibu? Kalau ibu digelandangkan, kota jadi begini. Ibu kota sungguh kota tanpa ibu. Apalagi Ibu Tanah. Sudah hilang terlindas beton-beton.
Pikirannya berselancar tanpa bisa ia kendalikan. Ia merasa kota seperti perumpamaan dalam Injil. Kuburan yang dilabur putih tampak bersih sebelah luarnya. Namun, di dalamnya penuh tulang belulang dan pelbagai jenis kotoran.
Masih lebih baik di kampung. Seseorang ketika dalam perjalanan diperbolehkan memetik kelapa muda atau buah-buahan di kebun orang untuk melepas dahaga atau rasa lapar. Setiap tahunnya, ada ritual pau kriden bekat kenuka, yaitu memberi makan yatim piatu. Orang susah jadi tanggung jawab bersama. Hidup tuan tanah tak boleh terlalu jauh berjarak dari hidup seorang janda atau yatim piatu.
Rasa kesal menumpuk. Semakin berusaha mengusir, semakin hadir bayangan perempuan-perempuan di rel tadi. Seperti gambar-gambar bisu yang makin lama makin hidup. Meneror dan menggebuk.
Bayangan perempuan yang melorotkan celananya tadi hadir lebih dekat. Lipstik menyembunyikan bibir pecahnya. Mata yang layu dan napasnya menyemburkan perih. Wajahnya berubah perlahan. Makin utuh menyerupai wajah ibunya yang kemudian melorotkan celananya.
Hoda menutup mata dengan kedua telapak tangannya. Memukul-mukul dahinya untuk menghentikan gerak pikirannya.
Hoda tak berdaya. Mendapati diri jadi salah satu di antara pria-pria lusuh dan kasar yang ngopi di rel tadi menyaksikan susu ibunya diremas disuruh jongkok, kangkang, nungging, dan disodok tanpa perasaan lalu diberi uang 20 ribu rupiah.
Tubuhnya gemetar. Ia mencari cara untuk menghentikan pikirannya. Didapatnya koran usang alas lemari.
“Koruptor Berinisial GT Plesiran ke Macau dan Kuala Lumpur Setelah Menyogok Petugas Lapas”.
Tak lanjut. Ia buka ke halaman berikut.
“Harga Tas Artis X Seharga 1 Miliar”.
“Cuih!” ia meludah sambil beralih ke halaman yang lain.
“Pemimpin Partai A Menerima 10 Gelar Doktor dan Profesor Kehormatan dari Berbagai Universitas”.
“Percuma dapat semua itu kalau kau bikin negara ini macam milik kau punya partai!”
Langsung dilihatnya halaman terakhir. Dua judul terpampang di sana.
“Anggaran Kemiskinan 500 Triliun Sebagian Tersedot untuk Seminar di Hotel”.
“Pemkab C Anggarkan Dinas Luar Negeri untuk Atasi Kemiskinan Ekstrem”.
“Taik!”
Diremas dan dilemparnya koran dengan sekuat tenaga. Matanya memerah.
Perempuan di rel itu datang lagi lebih jelas dalam pikirannya. Kini menjelma Somi kekasihnya. Hoda masih ingat salah satu dari pria-pria kasar dan dekil duduk ngopi dengan rokok murah yang tinggal puntung menyaksikan seorang bocah kencing belum lurus meraih dada dan meremas bokong kekasihnya. Lalu memberinya uang dua ribu rupiah. ***
.
.
Lewotala Flores Timur, Mei 2024
.
Catatan:
No: Sapaan untuk pria suku Lamaholot
.
.
Silvester Petara Hurit, alumnus Jurusan Teater STSI Bandung (ISBI sekarang). Menulis cerpen, esai, dan lakon. Mendirikan Nara Teater. Bergiat mengembangkan iklim teater dan sastra di Flores Timur, Nusa Tenggara Timur.
Nandanggawe, bernama asli Nandang Gumelar Wahyudi, lahir di Bandung tahun 1970. Proses keseniannya dimulai saat hijrah ke Yogyakarta pada 1986, menyelesaikan pendidikan seni secara formal di SMSR Yogyakarta (1990), STSI Bandung (2013), dan Pascasarjana ISBI Bandung (2017). Pada 1999 karya lukisnya mendapat penghargaan 10 terbaik Philip Morris Indonesian Art Award, dan pada 2009-2010 menjadi nomine dalam kompetisi drawing di Kulturni Centar Zrenjanin-Kraljevo, serta karya video drawing-nya tercatat dalam Triennial of Extended Art Media di Belgrade, Serbia. Pada 2011, sampai sekarang, Nandanggawe mendirikan DrawingClass212, mewadahi para seniman muda yang memiliki ketertarikan khusus untuk bersama-sama mengeksplorasi gagasan-gagasan baru seni melalui teknik drawing.
.
.
Ricardo
Anjirrr, bagus sekali ini cerpen. Calon cerpen terbaik kompas tahun depan ini. Bagusss.
krisna
cerpennya mantap bikin bergairah
SD
Cerpennya sangat bagus
Nama Tolong Diisi
Wawww.. emejing!
Eh amazing..
Cerpen kompas tuh yang begini cuy. Keren abiez!!!
Joria Parmin
miris…tapi itulah fakta kehidupan..