Cerpen Efri Yeni (Republika, 21 Juli 2024)
PELAN langkahku masuk ke ruangan berbau obat. Dingin menggigit, hening mencekam. Pada sebuah tempat tidur yang dikelilingi tirai berwarna biru. Di atasnya terbaring lelaki berambut putih yang terlelap menelan perih. Selang-selang menempel, nafasnya terhubung pada tabung besar oksigen. Tampak Ayah tertidur pulas.
Aku mematung dua langkah darinya. Seperti pesan ibu di luar, Ayah baru saja melewati masa kritis, kehadiranku bisa membuat kondisi ayah semakin buruk. Ucapan ibu menjadi penghalang rindu. Aku bagaikan virus yang menyerang kesehatan Ayah.
***
Lima tahun lalu, pulang dari pemakaman relasi Ayah. Saat tiba di rumah, tanpa menunggu waktu duduk bersama. Ibu langsung menyampaikan sesuatu padaku sebelum membuka pintu.
“Saat di rumah duka, Ayah bicara dengan Pak Amir,” ibu menggantung kalimatnya. Aku tercenung menunggu kelanjutannya. Wanita berkerudung itu menatapku tak berkedip. “Anak bungsu mereka belum menikah. Pak Amir melihat kamu dan meminta Ayah untuk menjadi besan.” Ibu menggantung lagi kalimatnya lalu memasukkan anak kunci membuka pintu.
“Ayah sangat senang dan langsung mengiyakan,” ibu memutar kunci lalu mendorong pintu. Aku sudah menduga arah pembicaraan Ibu. “Ayah selalu memberikan yang terbaik buat kita,” lanjut Ibu, kalimatnya penuh tekanan.
Aku menerobos ke dalam bola matanya, tatapan ibu memaksaku untuk menerima perjodohan ini dan mau melakukan yang terbaik buat Ayah. Ibu melangkah masuk. Aku masih mematung di depan pintu.
Ibuku sangat kolot. Begitu taat pada adat dan tradisi. Pengalamannya menikah karena perjodohan dan memiliki keluarga yang sempurna, membuatnya ingin menerapkan perjodohan juga dalam kehidupanku.
“Niar akan pikirkan malam ini, Bu,” jawabku pelan ketika ia menoleh kebelakang menghentikan langkahnya. Selintas senyum Ibu merekah. Berat kutapaki tangga. Tangisanku tumpah di kamar. Aku harus menerima kenyataan bahwa kebebasan perasaan juga tidak berlaku dalam rumah ini.
***
Ayah sangat senang, hingga lupa secara langsung telah menciptakan sejarah Siti Nurbaya dalam kehidupanku. Ayah percaya anak Pak Amir bisa menjadi pendamping hidupku. Dengan menyatukan kami berdua, hubungan Ayah dan Pak Amir tidak terpisahkan lagi.
Memegang teguh adat dan tradisi Pariaman, tak tanggung-tanggung ayahku menggelar perhelatan besar demi menjaga gengsi. Om Zainal pamanku, menjadi perwakilan keluarga pada acara maetong hari yang diadakan di rumah calon mempelai pria saat meminang. Berbagai macam syarat mereka lontarkan. Dari perlengkapan pengantin pria yang harus disediakan keluarga kami. Sampai uang japuik dengan nominal yang disebutkan seenak perut mereka. Terkesan memanfaatkan hubungan baik ayah dan Pak Amir. Jumlah yang mereka sebutkan membuat Om Zainal geleng-geleng kepala.
Om Zainal sempat minta keringanan tapi ditolak keluarga pak Amir. Seorang menantu Pak Amir angkat bicara, “Itu standar keluarga kami. Saya dibeli dulu di keluarga ini seharga itu. Tidak mungkin adik kami nilainya lebih rendah. Paling tidak setaralah dengan uang jemputan saya dulu. Seharusnya lebih tinggi lagi dari ini. Uang segitu tidak seberapa sama Pak Haji,” ucap pria itu angkuh.
Kalimat itu membuat Om Zainal naik pitam. Kami tidak ada harga diri dan seperti mengemis pada mereka. “Niar bisa mendapatkan laki-laki hebat dan berpangkat tinggi. Tak perlu pakai uang jemputan. Yang mau sama ponakan saya banyak. Pikir-pikir dahulu sebelum pernikahan ini berlanjut. Apa akan menjamin kebahagian Niar kelak? Padahal yang meminta anak kita Pak Amir sendiri,” Om Zainal marah-marah pada ibu setiba di rumah.
Merasa tak enak hati pada sahabatnya, merasa tradisi harus dijalani. Ayah tanpa berdiskusi langsung menyangupi semua permintaan dari keluarga Pak Amir.
***
Hampir satu jam aku mematung menatap Ayah tak berkedip. Tiba-tiba tangan ayah bergerak dan pelan membuka mata menatap ke arahku. Bibirnya bergerak pelan dengan mata berkaca-kaca. Aku menahan diri dan ragu-ragu mendekat. Mengunci air mata agar tidak bergulir. Ayah meraih tanganku dengan mata berlinang.
“Niar, maafkan Ayah. Membuat hidupmu menderita,” ucapnya pelan. Aku diam menahan tangis. “Mengapa tidak cerita pada Ayah semua perlakuan buruk suamimu. Ayah pikir laki-laki itu sudah tepat untukmu. Ternyata salah, bertahun-tahun kamu bertahan demi menjaga perasaan Ayah. Ayah tidak bisa menerima semua ini, Nak,” air kekecewaan mengalir deras dari matanya yang meredup.
Tiba-tiba suara detak dari layar berbunyi kencang. Ayah menggenggam tanganku keras. Suasana hening, jantung ayah bergerak pelan. Aku berteriak memanggil dokter. Ayah memejam mata yang tergenang. Tangisku pecah memeluk tubuhnya. Berteriak berkali-kali, aku masih membutuhkan Ayah. Ayah tak bergeming, genggamannya terlepas.
Langkah berlarian menutup tirai. Dokter memaksaku keluar. Ibu berlari menghampiriku dengan wajah marah dengan air mata berderai. Wanita itu tak memelukku, malah menarikku keluar.
Langkahku goyah, dengan mata sembab. “Harusnya kamu bisa sabar dan tidak minta cerai. Mengapa Ayah harus mendengar cerita cengengmu ini!” bentak ibu dengan tatapan kecewa.
***
Gundukan tanah basah bertabur kelopak mawar. Gerimis jatuh tak selebat air yang mengalir dari mata ibu. Aku duduk di hadapannya sambil menggenggam erat nisan yang baru tertanam. Ayah menghembuskan kesedihannya, menghentikan detak jantungnya dan menutup matanya.
Jantung ayah berdetak hebat saat mendengar perdebatanku dengan ibu. Kami tidak menyadari kehadiran ayah saat aku menyampaikan keputusan ingin bercerai dengan alasan penderitaan yang kualami selama pernikahan. Keretakkan rumah tanggaku membuat ayah terbaring di rumah sakit.
***
Laki-laki itu tidak pernah menyukaiku dan terpaksa menikah demi ayahnya. Berkali mulutnya memaki dan merendahkan karena aku tidak seperti perempuan-perempuan jajanannya. Selama ini aku mencoba bertahan. Tak ingin merusak tali persahabatan ayah dan Om Amir, bertahan berpura-pura bahagia. Pada akhirnya aku menyerah ketika suamiku sengaja mencumbui perempuan lain di hadapanku.
Andai aku tidak bercerai dan menerima kezaliman lelaki yang dibeli ayah, mungkin jantung ayah tidak berhenti berdetak. ***
.
.
Efri Yeni. Penulis belajar kata dari guru kesayangannya Om Yusrizal KW, seorang sastrawan Sumbar. Dongeng-dongengnya banyak dimuat di Padang Ekspres, Majalah Bobo, Elipsis dan media lain. Cerpen pertamanya di Republika, Mawar Layu di Akhir Desember. Penulis merupakan anggota FLP Jakarta angkatan 25. Bisa berkenalan dengannya di @efri_yeni_ di Instagram
.
Lelaki yang Dibeli Ayah. Lelaki yang Dibeli Ayah.
Leave a Reply