Cerpen Yoga Zen (Jawa Pos, 20 Juli 2024)
KAU bangun kesiangan lalu mengumpat dan menyumpahi dunia sebagaimana yang lazim terjadi akhir-akhir ini ketika kau tersadar dari tidur yang tak nyenyak. Senin cenderung lebih lantang dibanding hari lainnya. Kau meneguk air putih, berkumur membersihkan tenggorokan sembari berjalan menuju jendela. Selepas tirai disibak dan engsel ditarik, kau menyemburkan air itu keluar seolah ingin meludahi dunia yang kau pikir jarang berpihak kepadamu.
Gambaran betapa menyedihkannya dirimu terpantul samar lewat kaca jendela tembus pandang, dan lagi-lagi, seperti biasa, kau ingin menertawakannya.
Tumpukan cucian di keranjang memanggilmu. Lalu piring-piring kotor di bak pencucian. Debu lantai. Helai rambut. Sampah-sampah kecil yang tak kasatmata. Seprai penuh noda itu ingin diganti. Bahkan sepasang bantal yang lembap oleh air matamu juga ikut mengemis ingin dijemur. Kau mengerjakan semua dengan hati riang, kecuali menyetrika. Kau tak pernah tahu kenapa pekerjaan itu terasa begitu menyiksa sampai-sampai kau rela menyisihkan sebagian gajimu yang tak seberapa itu kepada penatu langganan dekat tempat tinggalmu.
Kau meracik kopi yang rasanya tidak pernah sama. Kali ini pahit dan menurut seleramu itu pas. Kau menghirup perlahan sambil menggulir ponsel, menjatuhkan diri sesaat dalam dunia maya. Beberapa saat kemudian, kau menyadari terjebak di antara begitu banyak drama perselingkuhan yang sering kali dibagikan layaknya kabar gembira. Kenyataan itu, sejujurnya, lebih membuatmu bergidik, ketakutan, bahkan hilang kepercayaan alih-alih simpati.
Kau beranjak ke dapur menggoreng telur mata sapi. Laptop kembali menyala. Kau makan di atas kasur seraya kembali melanjutkan maraton drama Korea. Perut kenyang melayangkan matamu. Kau tidur lagi. Dininabobokan oleh bahasa asing.
Entah di episode berapa, kau bangun kali kedua di siang itu. Di luar kebetulan cerah. Terlampau cerah untuk langit yang sering mendung akhir-akhir itu. Sore itu kau memutuskan keluar dan berharap dapat memotret langit petang yang indah. Kau mandi. Keramas. Berlama-lama di kamar mandi, menelisik lebih jauh bagian tubuh yang kadang luput dari perhatian lantaran sering tergesa-gesa diburu waktu pagi. Tetapi sekarang kau punya waktu luang yang melimpah, paling tidak sampai matahari tak semenyengat di siang itu.
Kau berdandan secukupnya. Kemeja biru muda bergaris tipis berpadu dengan celana sewarna buah pala jadi pilihan. Kau berani memilih warna-warna itu sebab menurut perkiraan cuaca, hujan takkan turun hari itu, dan kau meyakininya. Kau memasukkan bekal berupa roti lapis ke dalam tas jinjing berbahan belacu. Setelah berpikir lama antara pakai sandal atau sepatu, kau akhirnya memilih sepatu karena sandal hitam itu terlihat tak dapat menunjang rasa percaya dirimu.
Kau menata rambut dengan jari, seadanya, lalu becermin, sekejap saja, sekadar memastikan tidak ada yang salah dengan penampilanmu. Cermin oval itu tahu bahwa kau muak berlama-lama di depannya. Terlalu banyak penyesalan, dan kau tak sanggup menatap wajah itu lebih lama.
Jarak tempuh menuju pantai, tempat rutin yang kau kunjungi sebagai pelarian ketika tempat kerjamu terasa begitu menyesakkan, nyaris berjarak tiga ribu meter. Tidak terlalu jauh. Tidak pula terlalu dekat. Kau memutuskan berjalan kaki. Kau berjalan di depan deretan toko-toko beretalase tinggi dan bercahaya menyilaukan, membalas senyum orang-orang yang biasa kau lihat sepulang kerja, tetapi tak satu pun di antara mereka yang benar-benar kau kenal.
Langit petang mulai memamerkan warna-warna memesona bahkan sebelum kau tiba di pantai. Awan juga serupa. Bergumul membentuk lukisan abstrak yang tak kalah cantik. Keindahan itu mendorongmu bergegas. Aku tak ingin kehilangan momentum, batinmu. Dan setiba di sana, kau disambut keriuhan akhir pekan alih-alih debur ombak. Kau tak perlu risau sebab di antara sedikit keahlianmu, mencari titik tersembunyi di keramaian adalah salah satunya. Kau memperhatikan sekitar lalu menemukan tempat itu tanpa berlama-lama. Setidaknya, di sana, menawarkan sedikit ruang yang barangkali cukup bagi dirimu serta luka yang selalu kau bawa.
Kemudian, kau mulai memotret apa saja yang kau anggap indah. Langit serta kerlap-kerlip di atas permukaan laut. Buih ombak yang timbul tenggelam. Karang dan batu-batu besar pemecah pasang. Dua sampan di tengah lautan yang juga ikut berkilau. Sekawanan camar yang melintasi langit petang. Daun nyiur menjuntai, meliuk-liuk dibuai angin. Semua itu, sesungguhnya, terlihat sederhana, hanya saja kau butuh sesuatu untuk merasa sedikit diisi—daripada dibiarkan selalu kosong.
Ketika melangkah lebih jauh kau menyesal tidak mengenakan sandal. Butiran pasir masuk dalam sepatu dan itu cukup mengganggu. Kau mencopot kemudian menentengnya. Kau berjalan bertelanjang kaki di bibir pantai. Lalu, tiba-tiba kau berhenti lantas membenamkan kaki ke dalam pasir. Hangat yang menenteramkan. Sesekali lidah ombak sampai, mengecup kakimu seolah-olah tengah menggelitik. Sensasi itu, secara tidak langsung, mengingatkanmu akan sentuhannya. Sentuhan seseorang yang amat sangat kau kenal. Dan mata kameramu menangkap semua itu dengan sempurna.
Hasrat ingin membagikan foto itu tiba-tiba menggebu dalam dirimu. Nyaris di saat yang sama, kau teringat pada salah satu puisi Subagio Sastrowardoyo. Sudah begitu lama kau tak membagikan sesuatu di media sosial. Kau selalu beranggapan bahwa orang lain, siapa pun itu, seharusnya tak perlu tahu apa yang sedang kau kerjakan sebagaimana juga dirimu yang tak pernah ingin tahu keseharian mereka. Barangkali, hari itu, kau merasa sedikit perlu membagikan sesuatu, sekadar untuk menunjukkan keberadaanmu kepada orang lain—atau dia?
Kau login ke Instagram. Tidak ada notifikasi. Kau membagikan foto kaki itu tanpa filter berlebihan, dengan takarir; tak ada yang kita punya//yang kita bisa hanya/membekaskan telapak kaki/dalam, sangat dalam/ke pasir/lalu cepat lari sebelum/semuanya berakhir//semuanya luput//juga waktu.
Sesaat setelah unggahan itu berhasil, kau keluar, tidak peduli siapa yang akan melihat, mengomentari apalagi menyukai. Lalu, kau mundur beberapa langkah ke titik terjauh hingga lidah ombak tak dapat menggapai kakimu. Kau duduk di atas pasir. Kedua lututmu menekuk sedang telapak kakimu masih mengais-ngais pasir, mencari celah tenggelam lebih dalam dan anehnya, di titik itu, kau masih berharap ombak dating—dan mengecup kakimu.
Di waktu-waktu tertentu—sering kali malam—kau kerap membayangkan apa jadinya bila dia kembali ke kehidupanmu atau sebaliknya meskipun kemungkinan kedua terdengar hampir mustahil. Kau membayangkan kembali menghabiskan waktu bersama. Bersenda gurau. Berbagi lelucon konyol. Semua tentu akan lebih mudah, lebih indah, setidaknya menurut bayanganmu. Kau tersenyum setiap kali teringat hal itu. Ya, tersenyum, sebelum akhirnya menyesal.
Sejujurnya, dari celah terdalam hatimu itu, kau benar-benar menginginkan dia kembali. Tetapi kemudian kau sadar bahwa kau tak pernah mengakui perasaan itu. Kau payah. Kau membohongi dirimu sendiri dan kau mengamininya. Kadang kau berusaha melawan keegoisanmu dan sesekali akhirnya luluh juga, seperti saat itu.
Tiba-tiba terlintas di pikiranmu buat menghubunginya, sekadar bertegur sapa. Tak lebih. Kau mencari kontak namanya lalu memberanikan diri mengetik, “halo, apa kabar?” Tidak. Terlalu berlebihan. Kau menghapusnya lalu mengganti dengan sapaan sederhana, “hai.” Sejenak timbul rasa ragu. Akhirnya bisa ditebak dengan mudah; jarimu gemetar dan kau gagal. Semua selalu berakhir dengan satu tarikan napas panjang. Dadamu bergetar. Beruntung bila tak ada air mata yang keluar.
Matahari sepenuhnya jatuh, namun masih menyisakan terang yang memukau. Suara-suara keriuhan perlahan memudar, tapi debur ombak tetap mempertahankan ritmenya. Kau mengenakan sepatu lantas berdiri seraya menepuk-nepuk bokong. Kau bergegas pulang, melewati jalan tadi. Di minimarket dekat tempat tinggalmu, kau berniat beli sebungkus mi instan, tapi akhirnya tergoda membawa pulang tiga kaleng bir. “Apa kau berencana kembali merayakan ulang tahunmu bulan ini?” basa-basi si kasir sambil tersenyum. Meski terdengar bersahabat, kau yakin dia tengah mengejek kesendirianmu sebagaimana pada minggu lalu, di bulan yang sama ketika kau merayakan pertambahan usia ke-35 bersama setengah lusin bir.
Setibanya di kamar, kau tampak senang mendapati ruangan itu bersih. Seulas senyum kecil tersungging di bibirmu sebab hari itu kau bangga pada dirimu. Kau membersihkan wajah, memasak mi instan, kemudian makan sambil menyaksikan konten mukbang di YouTube. Bagaimanapun itu tak cukup membuatmu kenyang. Kau ingat ternyata masih ada roti lapis yang tadi belum sempat kau makan. Kau mengunyah perlahan dan mendorongnya dengan tegukan bir. Pada gigitan ketiga kau menyadari betapa nikmatnya roti itu. Seulas senyum kembali tersungging di bibirmu, dan sejenak, kau tiba-tiba merasa ganjil dengan kegembiraan itu.
Malam itu kau ingin tidur cepat sebab besok kau tak boleh terlambat lagi atau taruhannya kau dipecat. Tapi matamu tak mengizinkan secepat itu. Kau akhirnya begadang lagi. Mendengarkan lagu-lagu pengantar tidur, lagi. Dan anehnya semua lagu yang kau putar terkesan seakan menceritakan kisahmu dengan dia. Saat ada satu lagu yang paling menggambarkan isi hatimu, kau membenarkan letak headset seraya menaikkan volume hingga batas akhir, mengabaikan peringatan kerusakan pendengaran dan ya, kau terisak lagi. Bantal kering beraroma matahari itu kembali basah. Paginya, kau bangun telat, diiringi rentetan umpatan yang terdengar cukup lantang. ***
.
.
Yoga Zen. Lahir di Batusangkar. Naskah novel pertamanya, Tersesat setelah Terlahir Kembali, memenangi Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta 2023 dan segera terbit di Marjin Kiri.
.
Kisah Sedih di Hari Minggu 4.0 Kisah Sedih di Hari Minggu 4.0 Kisah Sedih di Hari Minggu 4.0
Leave a Reply