Cerpen, Solopos, Yin Ude

Pagar

Pagar - Cerpen Yin Ude

Pagar ilustrasi Hengki Irawan/Solopos

2.3
(3)

Cerpen Yin Ude (Solopos, 20 Juli 2024)

INI kali pertama kukunjungi orang tuaku setelah sepuluh tahun sejak aku pindah tugas ke Kalimantan.

Dan ternyata waktu sepuluh tahun itu telah membuat desaku banyak berubah. Jalan-jalan tanah sudah dilapisi aspal. Hunian warga pun didominasi rumah gedung yang megah dan kekinian. Termasuk rumahku yang dulunya rumah papan.

“Ya, Nak. Cepat sekali perubahan desa kita. Bukan hanya bangunan dan jalan. Warganya juga tidak lagi seperti dulu. Banyak pendatang dari luar. Itu, tetangga sebelah, orang Bandung,” ujar bapak saat kami berkumpul di ruang tamu.

Aku memandang kaca jendela samping, memperhatikan rumah tetangga yang disebutkan bapak.

“Saya mau silaturrahim sama tetangga kita itu,” kataku. Dan aku bangkit meninggalkan orang tuaku yang mengangguk-angguk.

“Pergilah. Yang laki-laki namanya Asep, istrinya Neneng.” Suara Ibu mengikutiku.

Aku berdiri di antara rumah kami dengan rumah Pak Asep yang pintu jendelanya tertutup.

“Aduh, Bapak lupa, jam segini Pak Asep dan istrinya di pasar. Mereka jualan di sana!” seru bapak dari balik kaca jendela.

Tak terlalu kuperhatikan kalimat bapak sebab mendadak ada sesuatu yang mencuat dalam pikiranku demi melihat tak adanya pagar pembatas antara rumah kami dengan rumah Pak Asep.

“Kita harus membangun pagar tembok di sini, Pak, Bu! Besok kita pesan materialnya!” ucapku agak keras supaya didengar oleh kedua orang tuaku. Tak ada tanggapan. Aku pun tak merasa harus mendengar tanggapan.

***

Pagar tembok sepanjang 11 meter itu mulai dikerjakan. Tukang bangunan yang kusewa memastikan hanya butuh tiga hari untuk penyelesaian. Dan hari ini, ia beserta dua rekannya memasang fondasi.

Aku duduk di balai-balai kayu samping rumah. Tadinya balai-balai ini ditempatkan oleh bapak tepat antara rumah kami dengan rumah Pak Asep yang sekarang menjadi titik poros pemasangan tembok. Memperhatikan para tukang bekerja, aku sendirian. Bapak dan ibu sejak pagi sekali pergi ke kebun.

Baca juga  Ne Me Quitte Pas

“Kau saja yang mengawasi para tukang itu. Kami sedang ingin ke kebun,” ucap bapak ketika aku protes karena beliau dan ibu tidak mau menyaksikan pembangunan pagar tembok itu.

Kedua orang tuaku itu memang menyerahkan keputusan dan segala proses pembangunan pagar tembok itu padaku. Mereka nampaknya sudah paham dengan penjelasanku setelah kemarin mereka sempat mencetuskan pendapat bahwa pagar pembatas itu tidak penting.

“Sangat penting,” sanggahku. “Sebagai pegawai Badan Pertanahan, saya harus mengamankan tanah milik kita. Banyak sengketa yang penyebabnya antara lain orang-orang abai dengan kejelasan batas tanah mereka. Apalagi dengan perubahan di desa kita yang juga pasti segera mengubah pola pikir masyarakatnya, termasuk bagaimana mereka melihat nilai tanah biar pun sejengkal. Tanpa batas yang jelas, bisa saja suatu waktu tanah pekarangan kita dicaplok, bahkan oleh tetangga sendiri.”

Akhirnya mereka hanya mengangguk-angguk dan berkata, “Terserahlah.”

Kuharap Pak Asep atau istrinya ada bersamaku. Aku ingin saling mengenal dengan mereka, mengobrol tentang pembangunan pagar tembok ini.

Ini hari Minggu. Bapak bilang tiap hari Minggu tetangga kami itu libur berjualan. Kudengar suara langkah kaki di antara bunyi televisi dari dalam rumah mereka. Ingin kupanggil, tapi kurasa tidak sopan. Aku pun menuju pintu depan rumahnya.

“Assalamualaikum!” seruku.

Tak ada jawaban.

“Assalamualaikum, Pak Asep, Bu Neneng! Saya Rahman, anaknya Pak Nasir!”

Kuulang lagi, semakin keras. Hingga tiga kali.

Aku memastikan bahwa orang di dalam mendengar, tapi aku heran tak ditanggapi.

Dengan kecewa dan rasa tidak mengerti aku kembali ke balai-balai. Duduk, mencoba memikirkan apa yang menyebabkan tetanggaku itu bersikap seperti itu.

Aku tidak ingin su’udzon. Maka kuputuskan kembali memperhatikan para tukang yang terus bekerja.

***

Dua hari setelah berdirinya pagar tembok itu aku sudah harus kembali ke Kalimantan.

Baca juga  Marabunta

Sambil menunggu jemputan bus travel yang akan membawaku ke bandara di kota kabupaten, aku minum kopi di balai-balai.

Nyaman sekali di sana. Selama sepekan aku habiskan banyak waktu di balai-balai itu. Dari sekadar minum kopi, baca buku, sampai tidur. Apalagi sekarang di dekat balai-balai itu berdiri pagar tembok dengan cat biru langit, warna kesukaanku, yang semakin menambah mood-ku untuk melakukan apa saja.

Pagar tembok itu kini menghalangi pandanganku pada rumah Pak Asep, yang belum juga bisa kutemui hingga menjelang sore ini. Setiap malam rumahnya tertutup rapat, bahkan pintu gerbang digembok. Sedang pagi hingga siang, ia dan istrinya berjualan di pasar.

Perasaan aneh dan tidak mengerti pada tetangga itu tak juga hilang dari benakku.

“Mereka tahu kehadiranku. Harusnya, adat bertetangga, mereka datang berkunjung ke rumahku, bertemu dan saling mengenal denganku. Apalagi ini aku sudah berinisiatif mendahului berkunjung. Tapi, kenapa tak juga disambut?” kata hatiku.

Tibalah jam keberangkatan. Baru saja aku memikirkan bus travel, busnya sudah berhenti di depan rumah.

“Bapak, Ibu, saya pamit!” seruku.

Bapak dan ibuku masih di dalam rumah. Keduanya juga menunjukkan sikap aneh sejak dua hari belakangan. Lebih banyak diam. Kuajak duduk untuk ngobrol di balai-balai saja tidak lagi mau.

Dugaanku mereka sedih karena aku akan pergi lagi. Begitulah cetusan cinta orang tua, pikirku.

Mereka kini keluar. Bergantian keduanya memelukku. Bus pun berangkat.

Tapi baru lima menit, belum sampai gerbang desa aku ingat flashdrive yang berisi data kantor tertinggal di meja kamar. Kuminta sopir putar balik.

Tapi, di simpang dekat rumah sedang berlangsung karnaval dengan barisan panjang. Kendaraan termasuk bus travelku tak bisa lewat. Suntuk menunggu, kuputuskan turun dan berjalan kaki menuju rumah.

Di gerbang, langkahku terhenti. Di sana, di samping rumah, ada pemandangan yang membuatku tertegun.

Baca juga  Kasus Ketiga J Van: Matinya Seorang Anak Sapi

Bapak dan ibu berdiri di tangga bambu yang disandarkan ke pagar tembok pembatas yang kubangun. Di seberang, di pekarangan rumahnya, Pak Asep dan istrinya melakukan hal yang sama. Ibu menyodorkan panci kecil kepada Bu Neneng. Bapak berbicara kepada Pak Asep.

Jelas kudengar suara beliau.

“Maafkan anak kami. Ia tak tahu bagaimana sebenarnya kita bertetangga yang selalu ingin bersama setiap waktu tanpa dipisahkan pagar pembatas segala.”

“Sekarang kita sama-sama kesepian, malam-malam tidak bisa ngobrol lagi di balai-balai. Ibu dan Bu Neneng jadi susah saling berbagi masakan dan keperluan dapur. Sekarang harus seperti ini, lewat tangga atau harus jauh-jauh ke depan rumah.”

Pak Asep mengangguk-angguk.

“Kami juga sebenarnya merasa bersalah pada Nak Rahman karena kemarin enggan menemuinya. Sama seperti Bapak dan Bu Nasir, saya terpukul dengan pembangunan pagar tembok ini. Sekarang sepertinya ada yang kurang dalam keseharian kami,” katanya.

Batinku dirayapi sesuatu, rasanya perih.

Aku risih dilihat mereka. Aku berbalik kembali, setengah berlari menuju bus. ***

.

.

Yin Ude, penulis Sumbawa Timur, Nusa Tenggara Barat. Menulis sejak 1997. Karyanya berupa puisi, cerpen, novel, dan artikel terpublikasi di media cetak dan online dalam dan luar daerah Sumbawa, seperti Lombok Pos, Suara NTB, Elipsis, Sastra Media, Suara Merdeka, Kompas, Republika dan Tempo. Memenangi beberapa lomba penulisan puisi dan cerpen. Buku tunggalnya adalah Sepilihan Puisi dan cerita Sajak Merah Putih (Rehal Mataram, 2021) dan novel Benteng (CV Prabu Dua Satu Batu Malang, Mei 2021) dan antologi puisi Jejak (Penerbit Lutfi Gilang Banyumas, 2022). Puisinya termuat pula dalam belasan antologi bersama para penyair Indonesia.

.

.

Loading

Average rating 2.3 / 5. Vote count: 3

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!