Cerpen, Kaltim Post, May Wagiman

Suara dari Ruang Jemala

Suara dari Ruang Jemala - Cerpen May Wagiman

Suara dari Ruang Jemala ilustrasi Jumed/Kaltim Post

4.7
(6)

Cerpen May Wagiman (Kaltim Post, 21 Juli 2024)

“DIAM! diam!” Ivy berkata sambil menutup kedua telinganya. Ia berjalan bolak-balik di dalam kamar. Dahi mengernyit. Kedua pelipis berdenyut. Dada penuh kepedihan.

Seperti Ivy, gemawan hitam di luar sana terlihat berat membawa beban. Berusaha keras membendung sesuatu yang mendesak keluar.

Kamar berdinding putih diam mengamati. Menjadi saksi bisu pertarungan Ivy melawan suara-suara menakutkan yang kerap muncul tanpa aba-aba dari ruang pikirannya. Kekesalan, kemarahan, duka, dan campuran perasaan kusut lain menciptakan ramuan pahit yang mencekoki batin. Hingga kapan suara-suara itu akan terus merongrong, serunya putus asa.

Suara itu mirip suara Ma. Berlogat bagaikan Ma. Cara berbicara pun sama. Suara bernada tinggi yang menghardik dan mencemooh.

“Ngapain dandan. Mau cari pacar? Jangan genit!” Perkataan menyakitkan khas ibunya. Suara itu, berseru lantang dari dalam sudut jemala.

“Berisik!” teriak Ivy marah kepada suara di kepalanya.

Langkah wanita ini berhenti di depan jendela besar. Taman asri di luar sana tak banyak membantu meringankan perasaan. Baginya dunia luar penuh dengan tantangan. Penuh ketakutan. Membuatnya selalu bersiaga dan terus membangun benteng kokoh untuk melindungi relung hatinya. Namun tanpa disadari benteng ini juga yang sering kali menghalanginya menemukan cinta sejati.

“Laki-laki itu pembual. Enggak jelas siapa keluarganya. Kamu masih berhubungan dengan anak itu, ya. Mama enggak suka!” lagi-lagi nada tudingan terdengar.

“Sudah putus, kok, Ma.” Ivy berkata pelan kepada jendela berbingkai putih di hadapannya.

“Bohong!” suara Ma menggelegar. Seketika itu juga Ivy terbawa kembali ke masa kuliah. Berdiri di hadapan Ma. Kepala menunduk, merasa jengah dituduh berbohong karena laki-laki. Ivy melihat kepercayaan dirinya perlahan hancur berkeping. Ia membangun benteng hatinya semakin tinggi.

Baca juga  Semangkuk Rendang di Atas Meja

Ada konflik dalam diri Ivy. Sering ia mengamati bahwa tindakan orangtuanya—entah mereka sadar atau tidak, bisa disebut mental abuse. Tak berpikir dua kali mengeluarkan perkataan menyakitkan, menakut-nakuti, mengontrol, atau mengucilkan anak. Tak sadar kalau tindakan itu dapat meninggalkan trauma psikis yang dalam. Namun di sisi lain, ia merasa berdosa. Berdosa karena mempunyai pikiran negatif terhadap orangtua sendiri.

Pandangan Ivy terfokus pada motif di gorden. Bulatan besar dan kecil pada kain tebal itu membentuk wajah-wajah asing. Puluhan wajah kecil itu memandang Ivy. Satu wajah tersenyum mengejek. Wajah lain memandang dengan mata melotot garang. Tak ada satu pun memandangnya dengan senyuman lembut.

“Aku berharap aku spesial. Seperti anak-anak lain,” kata Ivy kepada wajah Ma di gorden.

Gemawan hitam yang berarak di langit kelabu akhirnya menyerah dan mencurahkan beban beratnya. Bunga Mawar di taman sempoyongan menghadapi tusukan tajam butiran hujan. Mahkota putihnya merunduk seakan menahan tekanan kuat. Peluru air menghantam keras kaca jendela.

Letih. Ivy memutuskan berbaring di ranjang memandang hujan mengguyur bumi. Bahkan langit pun menolak untuk tersenyum, katanya dalam hati.

Ruang kamarnya terlihat begitu steril dan kosong. Selain ranjang, hanya terlihat lemari pakaian, kursi, dan sebuah meja. Kecuali gorden cokelat, semuanya berwarna putih.

Deretan pendek buku menutupi sebagian kecil permukaan meja. Kumpulan puisi Rumi, seorang penyair Persia—buku favorit Ivy, terbuka di atas meja. Sejak bertemu Leo–laki-laki yang dibenci Ma–saat kuliah dulu, cintanya terbagi antara Leo dan Rumi. Ia menemukan kebahagiaan dari kata-kata bijak penyair itu. Kebahagiaan satu-satunya yang tak bisa diambil Ma dan Pa darinya.

“Dingin,” Ivy berkata lirih.

Masa SMA yang kali ini terbayang di mata pikirannya. Vertigo-nya kumat. Tubuhnya berpeluh menahan sakit. Ivy menolak asupan bubur dari tangan Ma. Dingin. Buburnya dingin, Ivy berkata lemas. “Cerewet!” suara Ma menghardik. “Sudah, makan saja!” tambahnya lagi.

Baca juga  Novel Sampah

Dada Ivy sesak. Ia mengap-mengap menarik napas. Bayangan masa lalu menariknya kembali ke dalam kamar. Keseluruhan tubuhnya terasa panas. Air mata meleleh. Aku cuma mau ucapan lembut. Aku mau disayang. Diberi semangat dan dukungan.

Ivy lalu bangun dan menangis sejadi-jadinya. Dua tangan menutupi wajah. Sekonyong-konyong, tangannya dengan cepat meraih bantal dan dengan sekuat tenaga dihantamnya permukaan bantal dengan kepalan kedua tangannya.

“Benci! Aku benci! Benci diriku. Lemah! Jahat, orangtua jahat …,” teriak Ivy berkali-kali sambil terus memukuli bantal. Luapan rasa marah dan putus asa tak dapat dibendungnya.

Umpatan kemarahan selalu ditekannya dalam-dalam. “Anak durhaka,” Ma selalu berkata pongah. Seolah dua kata itu bagaikan mantra ampuh yang membuat anaknya takut dan bisa dikontrol.

Ivy kesal pada dirinya yang lemah dan selalu defensif. Menerima pasrah atasan yang pilih kasih. Mentoleransi kolega yang menjatuhkan. Terus membantu teman yang memanfaatkan. Dan yang paling parah, bersikap posesif terhadap kekasih.

Selama hidupnya Ivy selalu menghindar. Berlari kencang menjauhi bayangan mengerikan dan kepingan memori menyakitkan yang sering muncul. Ia takut menghadapi langsung. Takut merasakan duka.

Ivy merasa selamanya menjadi anak kecil yang selalu ketakutan. Selamanya tenggelam dalam konflik batinnya. Bayangan Ma dan Pa yang sudah tiada–tetap baginya, bagaikan dua raksasa mengerikan yang terus menghantui hidupnya.

Aku enggak ada nilainya. Aku takut. Aku takut dengan semua orang. Semua orang membenciku. Aku anak durhaka. Suara-suara di kepalanya berteriak. Di atas ranjang Ivy menekuk dan memeluk erat lututnya. Kepala menunduk dan membuat tubuhnya sekecil mungkin hingga akhirnya tak terlihat dari pandangan dunia.

Suara-suara itu membuat fisik dan mentalnya kelelahan. Wanita itu berharap bisa menghilang ke buana lain. Buana di mana Ma dan Pa menerimanya tanpa syarat. Menuntun saat ia perlu bimbingan. Menawarkan perhatian mereka saat ia mencurahkan keluh-kesahnya. Membuka lebar hati mereka saat ia bersedih.

Baca juga  Gadis Kecil Beralis Tebal Bermata Cemerlang

“Rumi. Andaikan aku bisa pindah ke duniamu. Rumi…,” Ivy bergumam berulang-ulang mengikuti irama tubuhnyayang mulai berayun ke depan dan ke belakang.

“Ivy!” Terdengar panggilan namanya disertai ketukan pintu.

Seorang wanita memakai seragam memasuki kamarnya.

“Ivy, waktunya minum obat.” Wanita berwajah ramah itu berkata lembut. Memegang pundak Ivy yang masih berayun.

Ivy mendongak. Matanya tiba-tiba berbinar.

“Suster, tadi Ma ada di sini. Mukanya di gorden normal. Enggak seperti raksasa hari ini, Suster.”

“Bagus, Ivy. Yuk, minum obat dulu.” Suster rumah sakit pelayanan mental ini membujuk.

Ivy lalu menyeracau.

“Ma bilang aku enggak genit. Aku bukan anak durhaka, Suster. Ma bilang, dia sayang. Aku enggak bohong. Ma tadi bilang ….”

Ia terus menyeracau. Ivy lalu bangkit dari ranjang dan mulai berjalan bolak balik sambil terus berkata tak keruan.

Tiba-tiba. Langkahnya terhenti. Senyum abnormal tergambar di wajahnya. Awalnya pasien ini mengekeh sendiri. Lambat laun, tawa histeris terdengar dari dalam kamar. Tawa resah yang keluar dari sudut relung hati paling suram. ***

.
Suara dari Ruang Jemala. Suara dari Ruang Jemala. Suara dari Ruang Jemala.

Loading

Average rating 4.7 / 5. Vote count: 6

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!