Cerpen Tin Miswary (Suara Merdeka, 18 Juli 2024)
PERTEMUAN terakhirku dengan laki-laki itu berlangsung singkat.
Sangat singkat, hanya lima belas menit, sebelum kepalanya dipenggal orang-orang dan lalu tubuhnya jatuh terjerembab bersama genangan darah yang terus mengusik tidurku bertahun-tahun.
Aku sendiri nyaris diangkut hari itu, dalam gemuruh orang-orang berwajah malaikat tapi berhati setan.
Namun, selembar kartu pers yang terselip di kantong belakang celanaku yang telah koyak—setelah ditarik-tarik mereka—menyelamatkanku dari api kemarahan yang sedang menyala dan membakar kewarasan mereka sendiri.
Mengingat peristiwa itu, ketakutanku pada neraka sedikit berkurang.
Kautahu? Tuhan baru melemparmu ke neraka setelah kau berjalan terseok-seok di atas titi sirathal mustaqim [1] dan lalu amalmu ditimbang beribu-ribu tahun, baru kemudian kau dicampakkan ke sana.
Dan, di sana pun kau masih punya harapan, sebab Tuhan akan segera memisahkan tubuhmu yang telah menjadi arang dari bara api yang membakar dan lalu surga membuka pintunya untukmu. Setidaknya begitu yang kudengar dari orang-orang saleh.
Namun, di sini, di tempat aku bertemu Thaib Adamy, masing-masing orang memiliki neraka mereka sendiri, neraka yang tak pernah memberimu kesempatan dan harapan.
Neraka yang bukan saja menelanmu, tapi menelan seluruh masa depan anak cucumu di kemudian hari. Neraka yang membuat wajahmu kekal membusuk di cermin sejarah.
“Apa yang ada di pikiran Tuan sekarang?” tanyaku hari itu, lima belas menit sebelum neraka membuka mulutnya dengan lebar dan lalu menelannya.
Saat itu, mataku menangkap cahaya di wajahnya yang bersih. Begitu jelas, memancar bagai sinar pagi di tepi ufuk.
Dia tersenyum, senyum yang membuat bidadari berdesak-desakan di pintu surga, hanya karena ingin menjadi orang pertama yang melihat senyum itu, senyum keabadian yang tak dimiliki oleh siapa pun.
“Ada pertanyaan lain yang lebih penting? Waktu saya hanya sedikit.”
Matanya mendelik seraya mulutnya terus bergerak, seperti berzikir. Tapi, apa mungkin orang marah berzikir? Apa mungkin?
Aku terus berpikir dan mengingat-ingat lagi pertemuanku dengan Thaib Adamy tiga tahun sebelumnya, saat ia ditangkap bagai perompak dan disidang di Pengadilan Pedir atas tuduhan agitasi hanya karena ia menyebut pejabat-pejabat di sana sebagai pencoleng.
Di sana aku melihat lautan manusia yang juga berzikir seraya berteriak-teriak agar laki-laki jangkung itu dibebaskan. Dan, kau sendiri ada di sana, mengacungkan senapan ke arah orang-orang yang kala itu membalas menatapmu seperti babi.
Sembari terus memandang wajah laki-laki itu, yang duduk di hadapanku, yang mulutnya terus berkomat-kamit, aku mengingat satu peristiwa lain, ketika ia, dengan tanpa rasa takut meminta hakim menghentikan sidang tatkala azan sedang berkumandang.
“Aku ingin salat Zuhur!” katanya dengan dada membusung dan lalu bangkit dari kursi pesakitan.
Ruang sidang seketika riuh. Namun, aku lupa, apa yang terjadi kemudian. Aku memang pernah menuliskannya di Koran Peristiwa, tapi aku benar-benar lupa. Apa kau masih ingat peristiwa itu? Jangan menggeleng!
Waktuku tersisa 12 menit ketika laki-laki yang rambutnya bagai gulungan ombak itu merogoh kantong kemeja putihnya, mengeluarkan sebatang rokok, membakarnya dan kemudian mengisapnya dengan dalam.
Dia tersenyum dan lalu berkata, “Saya tidak keberatan orang lain menari di atas kakinya sendiri….” Saat mengatakan itu asap keluar pelan dari hidungnya yang tirus.
“Akan tetapi,” katanya lagi, “saya sangat keberatan bila ada orang menari di atas kepala rakyat. Kautahu, milik manusia yang paling besar dalam hidupnya adalah perasaan dan pikiran. Merampas milik yang asasi ini berarti memperlakukan rakyat sebagai kuda tunggangan.”
Jujur, aku tak begitu mengerti apa yang ia katakan, walau aku tahu dia teramat marah kepada pencoleng harta negara yang disebutnya sebagai birokrat kapitalis busuk, atau kadang-kadang, dengan tanpa berpikir panjang, dia menuding mereka sebagai manipolis munafik yang mengaku manipol tapi tak tahu apa itu manipol.
Dia sering mengulang kata-kata itu hampir di setiap pidato yang aku selalu hadir di sana, dan lalu mencatatnya di Koran Peristiwa.
“Lalu apa yang sebenarnya terjadi?” tanyaku sedikit tergesa, mengingat waktuku dan waktunya yang terus berkurang. Aku tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini, kesempatan terakhir yang aku punya.
Dan, kau harus tahu, sebelum tiba di rumah ini, aku melihat orang-orang sudah berkumpul di alun-alun kota.
Orang-orang itu berteriak seperti setan sembari membawa neraka di tangannya, neraka yang akan membakar semuanya, membakar sejarah orang-orang merah di tanah ini.
“Seperti wanita menumbuk padi,” jawabnya, “meletakkan alu di pohon belimbing. Angin datang pohonnya goyang. Alunya jatuh terkejut anjing. Lalu anjing menggigit kambing,” [2] katanya terkekeh.
Kali ini dia benar-benar tergelak, menatapku dengan sinis.
“Itulah yang terjadi sekarang,” katanya lagi, “birokrat kapitalis yang mencoleng harta negara, yang membuat petani, buruh dan nelayan mengikat perut menahan lapar, tapi orang-orang merah yang diganyang. Itulah tabiat kaum reaksioner, kaum kontra revolusi yang tidak mengerti amanat penderitaan rakyat.”
Aku mengangguk beberapa kali, mencatat kata-kata itu dengan baik, walau tanganku sedikit bergetar.
Tak kubiarkan satu patah kata pun terjatuh begitu saja di lantai yang sebentar lagi akan diinjak-injak oleh kaki-kaki pembawa neraka, yang menurut perkiraanku semakin mendekat.
Aku mulai mendengar bunyi langkah mereka yang berjalan tergesa-gesa.
“Tapi, orang-orang menuduh Tuan tidak bertuhan. Bagaimana pendapat Tuan?”
Jujur, aku terpaksa menanyakan ini, pertanyaan paling konyol yang aku punya.
Aku ingin mendengar langsung dari mulutnya sendiri. Kau pasti tahu maksudku. Bukankah teman-temanmu menuduhnya demikian?
Sampai-sampai orang berpeci mengutuk orang merah di masjid-masjid, menyebut mereka sebagai Belanda kepala hitam. Jangan pura-pura bodoh, kau pasti tahu.
Namun, laki-laki itu kembali tergelak. Hampir saja tubuhnya terpental ke belakang, menahan tawa yang saling menumbuk di perutnya yang tipis, tak seperti perut birokrat-birokrat kapitalis dan manipol-manipol munafik, dua umpatan yang paling ia sukai.
“Tuhan terlalu suci untuk dijual,” katanya kemudian, sambil kembali menyeluk lintingan tembakau di saku kemeja putihnya, kemeja yang membuat wajahnya terlihat dingin dan damai. Dia mempermainkan batang rokok putih itu dengan jarinya, memutarnya bagai baling-baling. Tuhan tak butuh manifesto sehingga kau tak perlu berteriak-teriak bagai orang kesurupan bahwa Tuhan adalah milikmu, sementara di belakang-Nya kau mencoleng harta rakyat.”
Kata-kata itu mengingatkanku pada sosok lain yang aku temui dua hari lalu, sebelum aku menyimpulkan untuk berjumpa Thaib Adamy. Kau pasti kenal orang itu. Sekali waktu kau pernah ingin menghajarnya seperti babi, tapi aku melarangmu, memberi jaminan bahwa ia adalah orang suci yang sengaja menyamar untuk menguji imanmu.
Sekiranya kaulupa, akan kuterangkan sekarang. Duduk dan dengarkan baik-baik!
Aku bertemu Samadikin di Masjid Raya, pada satu petang yang dingin, ditemani gema gemuruh di langit kota. Kami duduk di anak tangga, di pelataran yang ditumbuhi rumput-rumput hijau.
Aku mendengar suara zikir dalam setiap tarikan napasnya, membuat napas yang keluar dari hidungnya membentuk lukisan nama Tuhan. Aku mengeluarkan buku catatan dan menunjukkan kartu pers, sebagai penanda bahwa aku layak mendapat kabar.
“Kau temui saja Thaib Adamy. Jangan membuang waktu karena hari-hari akan semakin gelap dan kau akan kehilangan kesempatan.”
Suara itu terdengar begitu saja dan lalu dia pergi meninggalkanku di bawah bayang langit yang semakin suram. Aku menggunakan seluruh indraku untuk mencarinya, untuk menanyakan kenapa dia mengatakan begitu. Namun, aku benar-benar kehilangan sosok itu, sosok yang wajahnya memancar cahaya. Aku memasuki masjid, mencari-carinya di setiap sudut.
“Apa Tuan melihat Samadikin?” tanyaku pada seorang khadam tua yang sudah tak sanggup lagi berjalan. Laki-laki itu menunjuk ke pojok barat, tak jauh dari mimbar kayu yang lima puluh tahun kemudian digunakan sebagai panggung neraka untuk merampus orang-orang sesat.
“Kau bisa menemuinya di sana, di barisan paling depan, tiga belas langkah dari mimbar,” kata laki-laki itu.
Sampai di sana, aku benar-benar terkesiap. Aku melihat Samadikin tersenyum. Kilau wajahnya terpancar jelas.
“Tak seorang pun berani berdiri di sini,” kata khadam tua, seraya menunjuk lantai.
Dia menunjuk pada lantai masjid yang memantul wajah Samadikin.
Aku membuktikannya bertahun-tahun kemudian, setelah orang-orang merah diusir dan dibantai di jalanan kota, di parit-parit hutan dan di tebing-tebing jurang.
Saat itu aku menemukan saf terputus di depan mimbar, tempat seharusnya Samadikin berdiri, bermunajat pada Tuhannya, tanpa harus berteriak seperti orang-orang kesurupan bahwa Tuhan milik mereka.
“Tapi kenapa sekarang orang-orang ingin melempar Tuan ke neraka?”
Aku kembali bertanya, dua mataku memandang wajahnya yang dingin.
Dia menghela napas dan menyimpan kembali rokok ke dalam saku kemeja putihnya.
Ujung jari kanannya menjumput dan menarik-narik janggut kecil yang tumbuh bagai jambul merpati di dagunya yang tirus, sepadan dengan tubuhnya yang kurus bagai ranting kayu.
Tiba-tiba dia bangkit dari kursi rotan dan mengangkat celananya yang sedikit melorot, lalu kembali duduk.
“Digop pu payah bak peukap taroh. Nyang cucoe reu-oeh geutanyo dua.” [3]
Dia mengucapkan kata-kata itu dengan sangat hati-hati, seperti hendak menjaga lidahnya agar tidak terpeleset dan lalu kata-katanya tersesat jauh.
Dengan menggunakan bahasa itu, bahasa ibu kami, aku jadi tahu kalau kali ini dia benar-benar serius.
Awalnya aku sempat berpikir kalau dia akan mengumpat dan menuduhku sebagai kaki tangan pencoleng karena telah bertanya yang bukan-bukan.
Tapi, itu semua tidak terjadi. Thaib Adamy tetaplah orang yang ramah, yang memberimu sepotong roti ketika gajimu dicoleng birokrat kapitalis.
Kau pasti ingat itu, ketika senapanmu tak berdaya di tengah gejolak perutmu yang lapar.
“Mengingat waktu kita telah habis, adakah hal lain yang ingin Tuan sampaikan?”
Lekas-lekas aku memasang telinga, membuka lubangnya lebih dalam, dan bersiap-siap mencatat kata-kata terakhir yang akan keluar dari mulutnya.
Namun, dari luar sana aku mendengar suara gaduh, suara-suara neraka yang kian dekat.
Aku bergidik. Cepat-cepat aku permisi pada laki-laki itu, yang masih duduk dengan tenang sembari senyumnya terus mengembang, membuat para bidadari kembali berdesak, saling berebut untuk memungut senyum itu, senyum keabadian yang sebentar lagi akan padam.
Sampai di sini, kau pasti tahu apa yang terjadi selanjutnya. Kau sendiri ada di sana. Kau membunuhnya seperti babi, membuat darahnya tergenang bersama teriakan-teriakan kepedihan orang-orang merah di negeri ini.
Genangan darah yang menenggelamkan mereka dalam sejarah di tanah mereka sendiri. Dasar pencoleng! Birokrat kapitalis! Manipolis munafik! ***
.
Catatan:
[1] Titi sirathal mustaqim: Jembatan Siratal Mustaqim.
[2] Seperti wanita menumbuk padi, meletakkan alu di pohon belimbing. Angin datang pohonnya goyang. Alunya jatuh terkejut anjing. Lalu anjing menggigit kambing (pepatah Aceh)
[3] Digop pu payah bak peukap taroh. Nyang cucoe reu-oeh geutanyo dua (Orang apa susahnya mengadu domba. Yang keluar keringat kita berdua), pepatah Aceh
.
.
Tin Miswary menulis esai, cerpen dan resensi buku, berdomisili di Bireuen.
.
Lima Belas Menit sebelum Neraka Membuka Mulutnya. Lima Belas Menit sebelum Neraka Membuka Mulutnya. Lima Belas Menit sebelum Neraka Membuka Mulutnya.
Leave a Reply