Cerpen, Hasan Al Banna, Jawa Pos

Kerudung Itik Pulang Petang Sulaman Emak

Kerudung Itik Pulang Petang Sulaman Emak - Cerpen Hasan Al Banna

Kerudung Itik Pulang Petang Sulaman Emak ilustrasi Budiono/Jawa Pos

4.5
(8)

Cerpen Hasan Al Banna (Jawa Pos, 06 Juli 2024)

DALINAR diam melampaui diam patung batu. Dia duduk bermeja mesin jahit goyang kesayangannya yang awet. Kerutan di wajah Dalinar seperti timbul benang bordir di sebidang kain rerak. Ketiga anak laki-lakinya tak bernyali menatap matanya, terlebih berkata-kata. Rentetan kalimat Dalinar sebelum mematung barusan meluncur lunak tapi dingin dan nyaris tanpa intonasi.

Fatur, yang sulung, menyapu-nyapu dahinya sembari menatap langit-langit rumah. Zainal, adiknya, merukuk kepala. Sementara Sahrul tafakur menghadap Fatur. Mata Dalinar tampak menerawang. Sekalipun usianya sudah 76 tahun, mesin ingatannya belum uzur. Dia begitu terperinci mengenang Fadilah kecil yang sehat, lincah, dan bermulut nyinyir. Bungsunya itu tumbuh sebagai anak perempuan yang cerdas, pun pemberani.

“Jadi pajak itu tempat orang belanja, Mak?”

“Iya, Dilah.”

“Kalau pasar, apa?”

“Jalan raya.”

“Lucu ya, Mak.”

“Ya, itulah Medan.”

Pada lain waktu, Dalinar dengan sabar meladeni ragam pertanyaan Fadilah yang bagai cucuran kotoran itik.

“Itik pulang petang, Mak?”

“Iya, itik ke mana pun selalu bersama,” tukas Dalinar sambil menggambar pola itik pulang petang di sebidang kertas. “Cari makan, sama. Main, sama. Pulang ke kandang, sama,” lanjut Dalinar dengan kalimat yang sesederhana mungkin.

“Kalau itik-itiknya jahat, sama-sama masuk neraka, Mak?”

“Satu saja itik jahat, bisa masuk neraka semua,” jawab Dalinar pura-pura serius.

“Dilah suka itik, Mak. Hi… hi… hi…. Lucu.”

Ah, ada saja memang buah nyinyir Fadilah, apalagi saat Dalinar membawanya ke pajak. Tanya ini lah, tanya itu lah. Pernah Fadilah yang belum genap 11 tahun sudah berani mengatai laki-laki muda yang mengiminginya dengan permen, di teras rumah.

“Tak mau. Nanti Om culik aku, Om jual ke pajak.” Kalimat Fadilah itu bikin tawa laki-laki itu meletus. Dalinar yang sedang sibuk membungkus hasil jahitan tersenyum geleng kepala. Dia memang mengajarkan putrinya itu untuk berhati-hati terhadap orang tak dikenal. Namun sebenarnya, laki-laki muda itu pelanggan Dalinar—pedagang busana muslim di Pajak Ikan, pusat perbelanjaan tekstil tersohor di Medan. Pelanggan itu datang mengambil pesanan jahitan, tapi disambut Fadilah yang pemberani.

Apakah sifat berani yang kemudian bikin Fadilah keras kepala, setidaknya menurut Dalinar? Entahlah, Dalinar ingin Fadilah masuk pesantren setamat SD, tapi Fadilah berontak menolak. Keinginan yang sama ditawarkan Dalinar kepada Fadilah saat masuk sekolah menengah. Fadilah yang beranjak remaja sudah lebih berani menggelengkan kepala. Harapan Dalinar agar Fadilah mengenakan kerudung pun tak terwujud. Fadilah memang tak latah memodel-model atau mewarnai rambut, mengekor teman sebayanya. Putrinya itu tak juga hobi pamer-pamer aurat. Namun Fadilah enggan berkerudung, titik.

Apa daya, Dalinar gagal membujuk Fadilah mengikuti jejaknya: tujuh tahun pesantren di Padangpanjang. Dulu pun Dalinar semula menolak titah Atuk-Andung Fadilah, masuk pesantren, tapi kalah kuasa. Namun ujungnya Dalinar mensyukuri penggalan jalan hidup remajanya. Selain paham agama, Dalinar juga dapat ilmu jahit-menjahit di ranah Minang. Jika tidak, mana lah dia mahir kerajinan sulam bordir kerancang khas Minang, yang kemudian jadi usaha rumahannya.

Baca juga  Pak RT Membawa Gergaji

Selain menjahit mukena dan kerudung, Dalinar juga rajin bikin taplak meja dan sarung bantal. Usaha konfeksi rumahan Dalinar lumayan membantu perekonomian keluarga. Suaminya, ayah anak-anaknya, hanya tentara berpangkat rendah, pun tugas berpindah-pindah. Usaha rumahan ini juga penyibuk diri Dalinar saat ditinggal tugas suami.

Tempo waktu, Dalinar dan suami sepakat jika dia dan anak-anak tetap tinggal di Medan. Banyak alasan untuk mengiyakannya, terutama untuk kemudahan pendidikan Fatur, Zainal, Sahrul, dan Fadilah. Pun kedua orang tua mereka, Atuk-Andung keempat anak mereka, berdomisili di Medan. Masih ada tempat mengadu atau sekadar meramai-ramaikan hati.

Persis sejak Fadilah berusia 7 tahun, Dalinar paling remis berkumpul dua kali setahun dengan suaminya. Kadang pun hanya Lebaran, tergantung jauh dekat medan bertugas suami. Tak mengapa, Dalinar sudah mengunci mati pintu keluhan. Dia tak pernah menyesal dinikahi tentara, bahkan sehelai benang pun Dalinar tak menyesal meski suaminya gugur saat bertugas di Papua, saat Fadilah baru saja SMP. Sudah lah dua tahun suaminya tak pulang, eh sekali pulang tak pula beserta nyawa.

Dalinar, dengan seutuh jiwa, mendekap keempat anaknya dalam menentang duka. Dia bergegas menyiapkan rancangan hidup tanpa menikah lagi. Dia besarkan keempat anaknya dengan usaha konfeksinya, ditambah uang pensiunan suami. Sekalipun produksi sulaman bordir tangan tak semelimpah hasil olahan mesin, Dalinar tetap bertahan mengerjakannya secara manual, tentu dibantu mesin jahit kesayangannya.

Hasilnya? Dalinar mampu menyekolahkan anak-anaknya sampai SMA meski kerap diancam cobaan. Selepas tamat, Fatur dan Zainal yang usianya selisih satu tahun pergi menumpang kerja di restoran Wak Angahnya di Jakarta. Buah jerih keduanya berhasil menguliahkan Fadilah ke Jakarta. Allah Maha Pemurah. Seiring waktu, Fatur dan Zainal sudah membangun restoran sendiri dan berkeluarga. Sahrul memilih tetap di Medan, membuka usaha konfeksi baju bersama istrinya.

Ketiga anak laki-lakinya itu bikin luas hati Dalinar, tapi cemas-cemas sempit pula memikirkan Fadilah. Sejak kuliah, menurut cerita abangnya, Fadilah itu sibuk berorganisasi, sudah menjelma aktivis. Meski tepat waktu menyelesaikan kuliah, Fadilah makin menjadi. Kerjanya masuk ormas keluar ormas. Tak berselang lama, sudah anggota partai pula.

“Biarlah. Sudah besar dia, tahu mana baik mana buruk,” kata Dalinar mendamaikan hati abang-abang Fadilah, pun sebenarnya untuk melipur-lipur hatinya. “Belum tergerak juga hatinya pakai kerudung?” tanya Dalinar kepada Fatur di lain waktu.

“Doakan saja, Mak. Mana tahu Dilah berhijab setelah bersuami.” Gantian Zainal yang menghalau risau Dalinar di lain kesempatan.

Namun gelinding waktu bikin cemas hati Dalinar meruncing. Fadilah sudah berusia kepala tiga lebih, harapan ketemu jodoh belum memberikan tanda-tanda.

“Nanti usiamu sudah petang saja, Dilah,” cetus Dalinar mengingatkan.

Namun Fadilah makin sibuk, makin khusyuk dengan dunianya. Bukan sosok calon menantu laki-laki yang Dalinar dapat saat bercakap via seluler, malah kabar Fadilah lolos jadi anggota dewan yang bertengger di telinganya. Dalinar turut senang sekalipun gulananya tetap menggenang. Perasaan campur-baur itu senantiasa terbit setiap kali Fadilah bertelepon. Sejak menyandang anggota dewan, Fadilah rajin menelepon setidaknya sekali dalam sebulan.

Baca juga  Bunga Kesunyian yang Tumbuh di Jantungmu

“Pegang kuat-kuat pesan Emak, Fadilah,” tegas Dalinar berbalur waswas. “Berkah rezeki yang cukup jauh lebih utama daripada uang melimpah tapi tak berkah.”

Fadilah tak membantah, tapi membalasnya dengan merenovasi rumah Dalinar menjadi lebih segar dan tampak lapang. Ahai, hati Dalinar berbunga, tapi pantang kemaruk. Tak heran jika dia menolak tawaran Fadilah agar mesin jahitnya ditukar dengan perkakas yang lebih canggih. Selain karena mesin goyang itu ditumbuhi rimbun kenangan, dia merasa hasil kerja tangan lebih berhati.

“Ayolah, Mak,” bujuk Fadilah.

“Sahrul lebih membutuhkan itu, Dilah. Usaha abangmu makin lancar. Sudah punya anak buah. Pasti butuh modal tambahan,” kata Dalinar mengalihkan tawaran Fadilah.

“Mmm…. Emak pengin apa?”

“Pengin Dilah berkerudung,” sambar Dalinar dengan nada seloroh tapi penuh harap.

Dalinar tak dapat jawaban apa pun selain janji Dilah mengajak umrah, pun mendaftarkannya haji paket ONH Plus. Mata Dalinar berkilau kaca, lalu lekas-lekas dia iyakan. Namun selepas janji itu, mengapa Fadilah tak berkabar hampir dua bulan? Dalinar bertanya ke Fatur dan Zainal, tapi jawaban kedua anaknya laki-lakinya itu setali tiga uang.

“Aman, Mak. Dilah baik-baik saja. Emak sehat?” jawab Fatur.

“Dilah sehat. Mungkin lagi repot, Mak,” timpal Zainal.

Namun Dalinar mengendus ketakberesan. Macam-macam ada yang disembunyikan Fatur dan Zainal. Namun buruk sangka Dalinar buyar saat hampir tiga bulan tanpa kabar, Fadilah menelepon. Percakapan keduanya bergelimang tawa, diselingi permohonan maaf Fadilah karena sempat menghilang bagai ditelan bumi. Rindu terbayar. Menara kebahagiaan Dalinar menjulang saat Fadilah meminta dibikinkan kerudung.

“Emak akan jahit kerudung terbaik, Dilah,” Dalinar terbata. “Kerudung warna merah jalang, warna kesukaanmu,” sambung Dalinar penuh binar. “Bordir timbulnya benang kuning keemasan,” Dalinar menyeret ludah ke kerongkongan. “Kerudung cantik bermotif itik pulang petang,” suara Dalinar bergetar.

Namun tak sedikit pun tangan Dalinar bergetar saat mengerjakan sulamannya. Tangannya masih telaten menggambar hiasan motif, lalu menjiplakkannya ke kain pilihan. Jangan salah, teknik menghias kain membutuhkan tangan yang terampil. Tak heran jika sulaman bordir kerancang tetap bernama kerajinan tangan sekalipun tetap membutuhkan mesin jahit.

Kegesitan Dalinar boleh berkurang, tapi ketelitiannya tidak. Sekalipun sudah berkacamata, mata Dalinar masih tajam mengawasi ujung gunting menoreh lubang-lubang oval ukuran kecil di sepanjang pantai kain. Kesabaran Dalinar masih teruji memperhitungkan setiap tarikan benang saat membordir dengan mesin jahit. Jika benang terlampau tegang, bidang kain lain mengerut. Jika kurang tegang, jalinan kerancang tak padat dan mustahil bernyawa. Mustahil pula jadi karya sempurna dalam paket yang dikirim ke alamat Fadilah. Tak lupa Dalinar menyertakan sejumlah kerudung tambahan—dari persediaan yang belum sempat pindah ke tangan penjual.

Dalinar setia menanti respons Fadilah sambil merawat bunga-bunga hatinya. Namun Fadilah menghilang untuk kali kedua, bahkan sudah hampir empat bulan. Parahnya, nada sambung seluler Fadilah tak lagi bernadi. Fatur dan Zainal berkabar kalau Fadilah sedang kunjungan kerja ke luar negeri. Hei, apa iya kunjungan kerja selama itu?

Baca juga  Pernikahan Setahun

Tunggu punya tunggu, dua bulan waktu berlalu. Kabar Fadilah makin kabur. Fatur dan Zainal ikut-ikutan bersendat-sendat kabar. Ada apa? Dalinar melampiaskan benang kusut pertanyaan ke Sahrul. Namun Sahrul pun, menurut Dalinar, cuma bersandiwara tak tahu apa-apa.

Namun semua jadi benderang ketika Fatur dan Zainal tiba-tiba tegak di depan pintu saat zikir bakda asar Dalinar belum kelar. Jantung tua Dalinar berdebar. Dua anak laki-lakinya pulang tanpa didahului kabar, tanpa disertai menantu dan cucu. Setelah Sahrul datang menyusul kedua abangnya, lunaslah segala wasangka. Sehati-hati apa pun ketiga anak laki-lakinya menyampaikan kabar Fadilah menjadi terdakwa korupsi, tetap saja hati Dalinar bagai ditusuk jutaan peniti, yang kemudian membawanya tak sadarkan diri. Fatur, Zainal, dan Sahrul berlomba membisikkan zikir ketenangan.

Ya, Dalinar tenang, sangat tenang selepas siuman. Dia tak menangis meraung-raung, tak mengicaukan kata-kata ceracau. Dalinar sebenar-benar mengendalikan diri meski hatinya tak terkendali. Deretan kalimat yang keluar dari mulut Dalinar begitu tertata sekalipun miskin intonasi.

“Emak gagal menggantikan Ayah kalian jadi imam bagi anak-anak Emak,” kata-kata Dalinar bikin ketiga anaknya terduduk kaku. “Emak layak sebagai Emak durhaka di mata agama,” sambung Dalinar dengan tatapan sesunyi lorong tak berujung. “Setitik nila merusak susu sebelanga. Itik yang satu merusak itik sekandang,” tumpas Dalinar datar.

Fatur, Zainal, dan Sahrul membeku. Tak guna menghibur Emak atas ketangguhannya jadi orang tua tunggal. Tak guna juga mereka membela Fadilah. Keyakinan mereka bertiga bahwa Fadilah hanya dijebak dan tak terlibat—sesuai pengakuan kukuh Fadilah, percuma saja diutarakan. Buktinya Fadilah dituntut 12 tahun kurungan dan kemungkinan lolos hukuman perkara tilap-menilap uang haram adalah kelangkaan.

“Fadilah sudah pakai kerudung, Mak.” Hati-hati benar Fatur bersuara untuk mengurai sengkarut ketegangan. “Cantik sekali Fadilah pakai kerudung jahitan Emak itu,” sambung Fatur dengan senyum yang diatur.

“Bagaimanapun Fadilah adik kami, anak Emak,” timpal Zainal tak kalah hati-hati. Namun jawaban Dalinar seperti mantra yang mengantarnya diam melampaui diam patung batu.

“Ular pun dia, tetap anak Emak sampai kapan pun. Tapi jangan pernah bilang kerudung merah jalang itu sulaman tangan Emak. Sampai kapan pun Emak tak ikhlas.” ***

.

.

Medan, 2024

Hasan Al Banna. Tinggal di Medan dan bekerja di Balai Bahasa Provinsi Sumatera Utara. Menulis buku prosa berjudul Sampan Zulaiha (Koekoesan, 2011) dan Malim Pesong (Obelia, 2022).

.
Kerudung Itik Pulang Petang Sulaman Emak. Kerudung Itik Pulang Petang Sulaman Emak. Kerudung Itik Pulang Petang Sulaman Emak. Kerudung Itik Pulang Petang Sulaman Emak. 

Loading

Average rating 4.5 / 5. Vote count: 8

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!