Sajak Mardi Luhung (Jawa Pos, 20 Juli 2024)
KEPADA MASA KERJA
I
Pagi berbicara kepada puasa
yang kedua puluh enam. Orang
mengaji masih terdengar lirih.
Orang yang berkata, mungkin
sehari cukup seribu rupiah untuk
THR bagi masa kerja yang tak
bisa berdebat, sedang membuat
prosedur mengirim lamaran kerja
yang antre. Lalu terkenang juga,
bagaimana entengnya, orang
yang baru saja dewasa merasa
lebih tua seratus tahun daripada
beringin di alun-alun. Baiklah,
jika percaya pada orang yang
menunggu tanpa lelah, pasti ada
semacam pasar pagi yang selalu
muncul setiap diinginkan angan.
II
Masa kerja yang tak diinginkan
untuk menjadi tua, digiring agar
menjadi anak yang akan dihadiahi
sekantong permen dengan rasa
manis atau kecut. Apa yang ada
harus digenggam dengan kedua
tangan yang tak tahu lagi gemetar
atau sebaliknya. Tapi satu per satu
yang masih ingin terus menanak
nasi, mesti belajar pada nyala api.
Jangan terlalu besar, nanti nasinya
menjadi bubur. Jangan terlalu kecil,
nanti nasinya tak matang. Memang,
bus akan tetap datang dan pergi lagi.
Sedang, yang di terminal, matanya
entah terpejam atau terbelalak, tetap
tak akan pernah sempat berangkat.
III
Sebut saja namanya waktu saat ini.
Sebab kemarin dan besok bukan
yang digenggam. Yang digenggam
adalah sejumput kewaswasan yang
tak bosan-bosan disuapkan ke mulut.
Mulut siapa saja yang merasa, jika
masa kerja tak lebih semacam cerita
berbingkai. Yang saking bersaf-saf
bingkainya, pun menjadi rumit dan
tak tertebak, apa punya plot atau tidak.
Tapi, karena yang bertahan di seratus
tahun tetap dianggap yang berdiri
di luar pintu, maka selalu ada payung
bila nanti hujan tiba-tiba turun. Dan
itu selalu begitu, tanpa ba atau bu.
.
(Gresik, 2024)
.
.
BERANGKAT KE KOTA
.
Aku berangkat ke kota: Kota yang
menyimpani gedung-gedung tua
yang meminta diawetkan. Sebagai
kenangan dari masa lalu yang tak
boleh beranjak. Masa lalu yang
menghargai si buaya putih gaib
yang berkuasa di jantung bandar.
Yang katanya, seumuran dengan
kunci kedaton milik sang paduka
yang kini telah raib tanpa bekas.
.
Jalan aspal disaput angin pagi
yang tak terlihat: Aku merasa ini
adalah keberangkatan yang lain.
Sebab, pompa bensin di dekat
pertelon, bentuknya jadi begitu
berbeda. Yang semula seperti
rumah makan cepat saji, kini
malah seperti rumah bongkar
pasang yang membosankan.
Rumah yang tak mungkin aku
temui di dalam kitab-kitab yang
berbicara lewat mulut nenekku.
.
Selanjutnya, pasar pinggiran kota:
Para bakul berjajar di trotoarnya.
Para bakul sederhana dan terlihat
segar. Sesegar sawi, seledri, dan
bayam di meja-meja lapak. Pukul
berapa meja-meja lapak itu mulai
dibuka? Sebelum ataukah seusai
subuh. Teka-teki waktu adalah
lubang gelap yang tak berdasar.
.
Dan dua ratus langkah ke depan:
Gapura kota akan terlihat jelas.
Warnanya mungkin telah diganti.
Mungkin lebih terang atau malah
sebaliknya. Tapi anganku tetap
tak berubah. Bahwa, di belakang
gapura kota itu, ada kolam dan air
mancur mampet. Tempat si buaya
putih gaib, yang aku sebut di atas,
sesekali berjemur dengan tenang.
.
(Gresik, 2024)
.
.
Mardi Luhung. Lahir di Gresik. Buku-buku terakhirnya adalah buku puisi Tiga Kuda di Bulan Tiga dan Lampirannya (2022), buku puisi Gerbang Banda (2023), serta buku kumpulan cerpen Jembatan Tak Kembali (2022).
.
KEPADA MASA KERJA.
Leave a Reply