Cerpen Iggi H Achsien (Kompas, 28 Juli 2024)
RASANYA tidak ada yang mengharapkan kematian. Meski kematian adalah keniscayaan, bahwa semua makhluk yang hidup pasti akan mati. Karena kematian biasanya dianggap kemalangan yang membuat orang-orang yang ditinggalkan jadi berduka. Rumahnya pun disebut rumah duka. Bahkan bunga papan juga menyatakan ikut berdukacita. Ikut-ikutan seperti mereka yang takut ketinggalan. Dengan kata-kata yang hampir seragam, lalu berjajar berjejer di sekitar rumah tersebut.
Tapi, tidak sedikit yang mengais rezeki dari kematian seseorang. Mendapatkan uang terkait jenazah atau mayat seseorang. Sebutlah tukang gali kubur, penjual kain kafan, pengurus masjid yang memandikan dan mengafani jenazah, sopir ambulans mobil jenazah, penyedia tenda di rumah maupun di pemakaman, para penjual bunga dan air kembangnya. Bahkan belakangan ini lahan pemakaman atau memorial garden menjadi bisnis besar. Oh iya, jangan lupakan pembuat nisan kuburan.
Aku tidak tahu apakah mereka yang mengais rezeki dari kematian itu mengharapkan meninggalnya seseorang atau banyak orang. Memang secara logis, makin banyak yang meninggal tentu makin besar pula rezeki yang mereka bisa dapatkan. Tapi, di dunia ini tidak semuanya serba logis dan kongruen. Yang jelas, mereka bukan bergembira dari kemalangan orang-orang lain. Mereka bukan juga yang termasuk berbahagia di atas penderitaan orang lain. Seperti sebagian orang yang selalu merindukan adanya tahlilan untuk sekadar kebagian nasi bungkusan atau kotakan.
Ayahku seorang pembuat nisan kuburan. Setahuku pekerjaan membuat nisan itu sudah lama dan menjadi pekerjaan utama, bukan sampingan atau sekadar obyekan menambah penghasilan lainnya. Rasanya sejak aku kecil sebelum sekolah. Biaya hidup kami sehari-hari dan ongkos sekolahku didapatkan dari membuat nisan itu. Relatively, eh secara relatif, kami hidup berkecukupan. Mungkin karena ayahku selalu mengajarkan untuk bersyukur dan tidak suka mengeluh.
Ayahku membuat bermacam-macam nisan. Ayahku memahat nisan dari bermacam jenis batu, di antaranya batu granit, batu marmer, dan batu gunung. Ada juga nisan yang dibuat dari keramik. Tapi, yang menurutku menarik, ayahku mengukir nisan dari beberapa jenis kayu, seperti jati, ulin, ataupun merbau. Kayu yang sudah diukir ayahku dan menjadi nisan biasanya mengeluarkan bau harum yang mistis. Seperti bau oud atau gaharu bercampur wangi bunga melati, cempaka, dan cendana. Entah dari mana bau dan wangi itu berasal. Aku terbayang apakah wangi melatinya itu juga dari “Setangkai Melati di Sayap Jibril”?
Setiap kali ayahku menyelesaikan satu nisan, selalu datang lagi pesanan untuk membuat nisan berikutnya. Selalu sambung-menyambung dan tidak berhenti. Seperti pintalan benang yang menggulung. Nisan buatan ayahku saat dipandang konon membuat haru, tapi sekaligus menenangkan. Sehingga memudahkan hadirnya syahdu dan khusyuk orang yang mendoakan di kuburan dengan nisan yang dibuat ayahku.
Dengan reputasi seperti itu, para pemesan nisan selalu bersedia membayar mahal walaupun ayahku tak pernah menetapkan tarif tertentu. Ayahku pernah bercerita dan merasa kebingungan karena seolah-olah melihat malaikat Roqib dan Atid beradu hitungan atas amal yang dibuat oleh nama yang dipahat atau diukir pada nisan itu. Karenanya ayahku tak berani menetapkan tarif, tidak pernah melakukan tawar-menawar, dan menyerahkan seikhlasnya kepada para pemesan nisan.
Dengan pesanan yang selalu datang seperti itu, ayahku tak pernah menawarkan nisannya di online market place, tak pernah juga mengunggah konten di media sosial populer semacam Instagram dan Tiktok. Ayahku juga tidak ikut proyek pengadaan nisan untuk pemakaman massal saat wabah Covid yang lalu. Padahal nilainya sudah tentu lumayan. Proyek besar dan rezeki nomplok untuk pembuat nisan. Tapi, ayahku tetap hanya mengerjakan pesanan yang sifatnya personal.
Para pemesan nisan itu datang dari berbagai golongan yang semuanya dilayani dengan baik tanpa pembedaan-pembedaan. Padahal para pemesan nisan itu, yang memesan untuk dirinya sendiri atau kerabatnya, tidak sedikit juga yang merupakan pesohor, pejabat atau petinggi negeri, bahkan pula anggota kerajaan dari negara jiran dan negeri seberang. Berarti reputasi ayahku tidak hanya nasional, bahkan regional, malah mungkin juga global.
Kalau mau, bisa saja ayahku meminta berfoto atau swafoto dengan mereka, lalu memasangnya di dinding tempat kerjanya atau di media sosialnya sebagaimana kedai-kedai, rumah-rumah makan, dan restoran-restoran melakukannya. Yang justru terjadi, beberapa pemesan nisan itu yang meminta untuk berfoto atau swafoto dengan ayahku. Meski demikian, aku juga tidak menemukan foto pemesan nisan dengan ayahku di media sosial itu. Ayahku yang dicari para pemesan nisan, bukan sebaliknya.
Pernah suatu hari, datang seorang pemesan dengan membawa batunya sendiri. Sebongkah batu marmer yang indah. Katanya itu batu marmer Thassos dari Yunani, yang dipakai di Masjidil Haram di Mekkah. Bongkahan itu adalah sisa batu yang tidak terpakai. Warnanya putih kristal. Aku melihatnya kadang seperti gulungan awan putih, kadang bagaikan gumpalan kapas. Di malam hari batu itu seperti bercahaya, glow in the dark. Bisa saja itu ejawantah dari cahaya surga di waktu malam. Ayahku sering bercerita bahwa cahaya surga itu selalu memesona walaupun baru hanya ada di alam pikiran. Surga adalah kenikmatan tertinggi dan terluas, yang sudah pasti menyenangkan. Tidak layak untuk diributkan dan terlalu luas untuk diperebutkan.
Batu itu sudah disimpan orang itu bertahun-tahun. Ia merasa sudah waktunya diserahkan kepada ayahku untuk dipahat agar siap pada waktunya nanti. Ayahku memahatnya, mencetakkan nama dan tanggal lahirnya. Aku pikir nisan itu masih menyisakan tanggal kematiannya. Tapi ternyata sudah tercetak lengkap, tanpa sisa, tanpa perlu modifikasi lagi.
Beliau memanggilku, lalu seperti bergumam, tapi aku bisa mendengarnya, “Anakku, sebenarnya kematian bisa ditawar waktunya, asal tahu ilmunya.”
Tambahnya, “Pemesan batu ini, sudah pernah menawar sekali.”
Beliau melanjutkan, “Saat ayah pergi beberapa hari, anak pemesan nisan ini akan datang mengambilnya.”
Kadang kala, ayah bisa mengetahui apa yang akan terjadi. Benar saja, beberapa hari kemudian, sesuai tanggal yang tercetak di nisan marmer itu, ada yang datang untuk mengambil nisan itu.
Ia bilang, “Aku mau mengambil nisan papaku.” Disebutkan nama papanya.
Aku menyerahkan nisan yang sudah disiapkan rapi oleh ayahku. Ia memberikan amplop dan menyampaikan terima kasih dan salam keluarganya untuk ayahku.
Sepertinya, orang-orang semakin sadar untuk mempersiapkan kematian mereka. Tapi, masih yang bersifat materi dan duniawi. Ada yang beralasan, karena tidak mau merepotkan orang-orang yang masih hidup nantinya. Dari membeli asuransi, membayar lahan di TPU atau memorial park, memesan nisan, dan juga menyiapkan kain kafan. Buat orang-orang kaya, semua persiapan itu tetap terasosiasi dengan kemewahan, seperti memorial park yang mahal dan juga batu nisan dari marmer Italia yang indah. Suatu saat, bisa saja akan ada arsitek khusus untuk merancang desain pemakaman, termasuk penataan landscape-nya.
Untuk kain kafan, sekiranya Louis Vuitton, Hermes, atau Loro Piana menjualnya, pasti akan dibeli juga oleh orang-orang kaya itu. Aku kira wajar saja, itu cara mereka mensyukuri rezeki yang didapatkannya. Atau masa iya sih mereka masih mempertahankan gengsi walaupun sudah mati? Mungkin itulah sejatinya makna mati-matian menjaga gengsi. Biarlah.
Ayahku kembali setelah beberapa hari. Beliau membawa sepotong kayu. Kata ayahku, kayu itu dari kapal bahtera Nabi Nuh. Aku terkadang tidak mengerti dengan apa yang dikatakan ayahku, tapi aku tak pernah, tepatnya tak berani, membantahnya. Kadang aku baru mengerti setelah apa yang dikatakan ayahku terjadi. Seperti halnya pemesan nisan marmer Thassos yang sudah aku ceritakan sebelumnya.
Ada yang menyebut kayu kapal Nabi Nuh itu adalah kayu gofir atau gopherwood. Belakangan ada pula peneliti yang mengatakan kalau kayu kapal Nabi Nuh itu adalah kayu jati yang berasal dari Nusantara, tepatnya di tanah Jawa. Mirip seperti dugaan kalau Atlantis itu sebenarnya ada di sekitaran Laut Jawa.
Sepotong kayu itu tampak antik, tapi kokoh, cukup untuk diukir menjadi sebuah nisan. Seperti kayu-kayu nisan yang sebelumnya diukir ayahku, bau harum mistis kembali tercium. Kali ini terasa lebih kuat, lebih tajam.
Esoknya datang lagi seseorang menemui ayahku. Tentu pemesan nisan sebagaimana orang-orang yang sebelumnya datang. Hanya saja, aku mencium semerbak harum mistis dari orang itu sama dengan yang keluar dari sepotong kayu yang dibawa ayah kemarin. Bahkan bau wangi itu sudah terasa beberapa saat sebelum orang itu datang. Jangan-jangan dia tau ayahku membawa sepotong kayu itu, yang cocok dengan dirinya, yang sama bau wanginya.
Ayahku menyambutnya lalu mempersilakan masuk ke ruang kerjanya. Mereka berbincang di dalam, tapi aku tak bisa mendengar apa isinya. Terkadang malah terasa senyap dan mencekam. Sekitar sembilan menit kemudian mereka keluar, bersalaman dan berpelukan. Aku melihat ayahku tersenyum saat orang itu pergi.
Ayahku memanggil. “Yang tadi datang meminta ayah untuk menyelesaikan nisan kayu ini dalam tiga hari.”
Lanjutnya, “Kamu tahu, ayah tidak suka menawar. Ayah akan menyelesaikannya.”
Aku bisa merasakan suaranya agak bergetar, tanpa membuat wibawanya jadi pudar. Ayahku juga berpesan untuk menyedekahkan separuh dari isi amplop yang aku terima sebelumnya. Aku malah belum sempat melaporkan perihal amplop itu kepada ayah.
“Tiga hari dari sekarang, ambillah, setelah subuh,” kata ayahku.
Waktunya sudah tiba. Sesuai pesan ayahku, setelah subuh aku ketuk ruang kerjanya. Tidak ada jawaban dari dalam. Aku masuk, melihat ayah seperti tertidur di atas sajadah biru kesayangannya. Aku berusaha membangunkannya, tapi ayah tak bergerak. Di sampingnya tergeletak kayu nisan yang sangat indah beserta harum mistis itu dan cahaya yang samar-samar terpencar dengan lembut. Terukir nama ayah sendiri, lengkap dengan tanggal lahir dan tanggal hari ini di bawahnya.
Tak terasa air mataku meleleh, seperti lelehan lilin di bawah pijar api, dan membasahi pipi. Aku menyekanya. Aku mengerti, lalu tersenyum seperti wajah ayah yang terlihat tersenyum. Ayah tidak menawar waktunya. Sepertinya ayah mengatakan kalau ini sukacita, bukan dukacita.
Aku teringat orang yang datang itu. Ternyata bukan pemesan nisan seperti yang aku kira sebelumnya. Mungkinkah ia Izrail? ***
.
.
Madrid, 5 Juli 2024
.
Catatan:
Setangkai Melati di Sayap Jibril: Judul cerpen karya Danarto.
.
.
Iggi H Achsien, lahir di Indramayu, 3 Februari 1977. Penikmat karya sastra, tinggal di Tangerang Selatan. Saat ini menjadi anggota Tim Ahli Wakil Presiden RI dan Komisaris Independen PT Pertamina (Persero).
Yuswantoro Adi, perupa, tinggal di Yogyakarta, lahir 11 November 1966. Selain melukis, juga mengajar dan memberi pelatihan seni rupa, terutama untuk anak-anak. Meraih penghargaan Grand Prize Winner Philip Morris Asean Art Award 1997 di Manila, Filipina.
.
Kayu Nisan Terakhir. Kayu Nisan Terakhir. Kayu Nisan Terakhir. Kayu Nisan Terakhir. Kayu Nisan Terakhir.
Sarwanta
Alur ceritanya datar tapi membawa nafas relegiusitas dalam membangun suspens yang melunturkan kesan menggurui
Anonymous
Alur yang datar namun berakhir dengan rasa haru yang menyentuh hati.