Puisi A Muttaqin (Kompas, 27 Juli 2024)
PEDOMAN MENJALANKAN SYARIAT CIUM DAN AUM
“Sex is a part of nature. I go along with nature.”
– Marilyn Monroe
/1/ GELIAT CACING
Apa yang lebih lembut dari tubuhmu, kulitmu, lidahmu? Matamu sebenar-benar buta, tapi itulah syarat, itulah syariat bagi cinta.
Dengan kulit dan kulup gaibmu, dengan lidah dan ludah lembutmu, kau telisik lubang di tubuhku, kau telesi rahasia resahku.
Kau rumrum berahiku hingga ke sumsum dan rusukku. Kau masuki aku hingga ke dasar gaung dan raung di ujung jantungku.
/2/ SERUDUKAN TANDUK RUSA
Ketahuilah, kelembutan tak lagi menggetarkan tubuhku, rinduku, cintaku. Beri aku serudukan yang bukan sembarang serudukan.
Apa nama serudukan macam itu? Serudukan lembu terlalu berat, terlalu kebat. Serudukan domba terlalu ringan, terlalu riskan.
Beri aku serudukan bertanduk, mungkin itu tanduk rusa. Tanduk yang bercabang-cabang seperti mimpimu, seperti mimpiku: dua mimpi malang yang hilang di negara tanpa cinta, tanpa cita-cita.
Oalah, kenapa kuungkit juga perkara pekok itu? Lekas, lekas serudukkan tandukmu, hancurkan resahku, kangenku, kenanganku, agar kita tahu, cinta sungguh tak perlu kata, tak perlu bahasa.
Tak perlu ini itu, selain desah dan lenguh, seperti laku mamalia yang mewarisi aku susu, mewariskan kau iduh dan bulu-bulu.
/3/ KEPAK SAYAP PHOENIX
Setelah badai bulu berlalu, beri aku api yang membakar sayapmu, membakar surai saruhmu. Sulut berahiku, sulut lagi, lagi, dan sekali lagi. Mari bersama menjelma menjadi api, menjadi abu.
Ya, menjadi abu dan lahir dalam berahi baru, menjadi abu dan lahir dalam kenikmatan baru, menjadi abu dan lahir dalam mimpi baru, menjadi abu dan lahir dengan cinta yang tak itu-itu melulu.
Beri aku apimu, lebur aku dalam panasmu, satukan aku dengan abumu, agar kita benar-benar bersetubuh, menjadi satu, tak ada lagi tubuhmu, tak ada lagi tubuhku, yang sungguh semu dan palsu.
/4/ MONYET MEMANJAT
Tentu boleh kau menyusu monyet-monyet di hutan, asal kekasih sendiri tak kau acuhkan. Tentu boleh kau menyusu monyet-monyet di dipan, asal kekasih sendiri tak kau biarkan mati kedinginan.
Seribu perempuan boleh kau panjat, kau ambil buah-buahnya, kau sesap-sesap getahnya, kau main-mainkan seluruh bulunya, tapi jangan sekali-kali kau berpedoman kepada peribahasa lama:
Monyet di hutan susunya kau kempeskan, kekasih sendiri di rumah kau biarkan modar dalam kesepian.
Aku dan kau—seperti kata abang Chairil—tentu bukan kanak lagi. Kau telah pandai memilih susu dan aku telah mahir menyusuimu.
Maka panjatlah aku, panjatlah dengan ilmu yang kau curi dari kitab-kitab monyet memanjat, lalu petiklah buah-buahku yang matang, yang mengejang, dalam ngilu dan cemburu.
/5/ KATAK BERENANG
Mengingatmu adalah mengingat hari hangat di kos-kosan itu, saat aku masih mahasiswi baru dan kau pengarang muda yang dilanda haru.
Di semester gasal itu, tahulah aku ilmu berakit-rakit ke hulu berenang-renang sambil menyelam, sakit-sakit dahulu saat kaupaksakan pelimu menusuk kuncup dalamku yang runyam.
Siang itu, kau menjelma menjadi katak bugil dan tengil, berenang dan menyelam, muntup dan mengecupi bibirku, mengisap lidah dan menutup langit-langit mulutku, melompat dari puting susu kanan ke puting kiriku, berkali-kali begitu, sebelum sekejap termangu, seolah memikirkan sesuatu lalu memelintir haiku milik Basho:
“Kolam suwung/seekor katak nyempung/plung,” gumammu sembari menyelundupkan sesuatu ke dalam farjiku.
/6/ KELINCI BERLARI
Istirahatlah dulu barang sebentar, Kelinci manisku. Istirahatkan napasmu, istirahatkan nafsumu. Lihatlah kebun biru yang hampir ludes oleh lembing lidahmu, oleh badai dari mulut dan hidungmu.
Lihat, lihatlah sekali lagi kebun dengan semak semu dan lumut dan jalan setapak yang sempit dan selalu menanti tericak kakimu itu, menanti kau berlari dengan lompatan-lompatan liar dan lucu.
Kendati begitu, jangan terlalu bernafsu. Atur napas dan nafsumu. Mari istirahat sebentar. Sebentar saja. Sebelum kaki-kaki halusmu berkarat, sebelum wajah kita sama-sama pucat, sebelum kita sama-sama sekarat oleh takdir dan luka lahir yang kian laknat.
/7/ MENGATAI IKAN
Gula di mulut ikan di belanga: tubuhmu dan tubuhku tak ingin terbelah. Aku tak akan menangguk ikan, sebab aku tak sudi tertangguk batang, seperti udang hendak mengatai ikan.
Tak peduli umpan habis ikan tak kena. Tak peduli pukat terlabuh ikan tak dapat. Tak peduli ikan belum dapat, tapi airnya telah keruh. Tak peduli ikan telah pulang ke lubuk.
Aku tahu, kuat ikan karena radai, kuat ikan berkawan badai. Dan aku tak akan meniru ikan baung dekat pemandian. Sebab kau ibarat ikan dalam belat, ibarat ikan dalam sekat.
Untuk mengenang semua ciumanmu, aku akan menyelami tujuh belumbang, menjumpai semua jenis ikan, memulangkan peribahasa ke dalam sekam, seperti menenangkan kangenku barang sebentar.
Sebentar saja. Sebab kita tahu, sungguh pun kawat yang dibentuk, ikan di laut yang diadang. Mati ikan karena umpan, mati sahaya kerena cinta.
.
.
Catatan:
Rangkaian puisi dalam tujuh pedoman ini merupakan respons, boleh jadi semacam sempilan atas naskah klasik yang disalin oleh Thomas Cleary: Sex, Health, and Long Life: Manuals of Taoist Practice. Edisi Indonesia, bertajuk: Seks, Kesehatan, dan Panjang Usia: Petunjuk Praktis Menjalani Tao,” diterjemahkan oleh Sovia, didesain oleh Buldanul Khuri, danditerbitkan Pohon Sukma (2004).
.
.
A Muttaqin, lahir di Gresik, tinggal di Surabaya. Buku puisinya, “Pembuangan Phoenix” dan “Tetralogi Kerucut” (2014).
.
PEDOMAN MENJALANKAN SYARIAT CIUM DAN AUM.
Leave a Reply