Cerpen Yanusa Nugroho (Koran Tempo, 28 Juli 2024)
ADA seorang laki-laki bertubuh baja. Kulitnya cokelat tua, cenderung gelap dengan rambut tidak lurus. Cekungan rongga matanya agak dalam dan mata itu menyorot seolah-olah marah pada dunia. Dialah si ‘bapak’.
Laki-laki yang hanya 159 cm tingginya itu cukup kekar, berotot, tubuh bajanya. Tentu saja karena dia mau mengerjakan apa saja, asal tidak duduk dan menulis. Begitu dia disuruh duduk dan tidak melakukan pekerjaan fisik apa-apa, dia akan tertidur lelap. Itu yang dihindarinya, kalau dia ingin makan hari itu.
Semula dia tukang tambal ban sepeda. Sambil tetap menjalani hidupnya sebagai penambal ban sepeda, kadang sepeda motor, dia menyibukkan diri menanam singkong di sebuah lahan kosong dan terabaikan. Bibitnya dia cari entah dari mana, dan nyatanya lahan singkong itu hasilnya melimpah. Sebagian untuk tambahan makanan, sebagian lagi dia jual borongan dan mendapat hasil lumayan, menurut ukurannya.
Jika singkong usai dipanen, tanah ditanami sayuran: ada cabe, tomat, pisang, di sederet panjang pinggiran dekat kali kecil itu, dia tanami serai dan kunyit. Sekali lagi, ketika panen hasilnya lumayan. Pokoknya, si ‘bapak’ tidak kenal lelah bersusah-payah, mengolah tanah Tuhan yang diabaikan manusia. Dia tak mau hanya duduk dan tidur. Dia hanya berhenti sebentar berladang jika kebetulan ada yang menambal ban. Tetapi, itu tidak terlalu sering. Kadang dalam tiga hari, belum ada satu sepeda pun yang bannya bocor.
Nyaris siang-malam dia berada di kebunnya. Kadang, di suatu siang dia memasang perangkap burung, yang dia sangkutkan di dahan pohon mangga. Dia, tanpa pernah memimpikan, mendapatkan murai, yang sebulan kemudian, karena diumpani jangkrik, menjadi penyanyi jagoan yang suaranya bening menenteramkan subuh. Dia jadikan murai itu sebagai ‘pancingan’ murai yang lain.
Tuhan Maha Baik. Murainya bertambah banyak dan si ‘bapak’ menjadi juragan burung. Para pembuat sangkar burung berdatangan, yang memang dibutuhkan si ‘bapak’. Pemasok jangkrik pun menawarkan jasanya, juga pembuat sangkar. Tak mungkin dia membuat sangkar sendiri. Apalagi kini ladangnya nyaris tak tertangani sendiri. Untunglah si ‘Tomo’ dan si Uut’ sudah bisa diandalkan untuk mengayunkan cangkul, menyiangi, bahkan menghitung harga panen nanti. Mereka berdua sudah bisa berurusan dengan pembeli sayur ataupun singkong. Si ‘bapak’ tentu saja makin gembira, meskipun masih merasa kesulitan untuk tersenyum.
Singkat cerita, ekonomi mereka berubah drastis, karena si ‘bapak’ yang sulit senyum itu benar-benar memeras keringat bekerja agar keluarganya ‘selamat’. Bukankah setiap bapak memang harus demikian? Jadi, memang sewajarnya jika si ‘bapak’ mendapatkan hadiah dari Tuhan atas kerja kerasnya itu. Si ‘Tomo’, si ‘Pipin’, si ‘Uut’, dan si ‘Mimin’ tumbuh dengan sehat penuh madu kegembiraan. Keempatnya tumbuh menjadi remaja, dengan sekejap mata. Tinggal si ‘Mimin’ yang kelihatan masih kanak-kanak. Mereka tidak mengenal sekolah. Mereka bisa baca-tulis dengan huruf latin maupun Arab dari pesantren yang dikelola oleh Ustad Abrar, gratis.
Pesantren Ustad Abrar menyediakan pendidikan dasar baca-tulis dan berhitung sederhana bagi masyarakat sekitar tanpa pungutan biaya apa pun. Bahkan alat tulis diberikan kepada peserta didik. Si ‘bapak’ dan si ‘ibu’ hanya membisu ketika mendengarkan keterangan Ustad Abrar soal pendidikan anak-anaknya. Diam-diam ada setitik intan bening di sudut mata si ‘bapak’ yang hatinya bergetar menggedor pintu langit, ‘dia orang baik Tuhan, kumohon berikan segala kemudahan untuknya….’
***
MEREKA, keluarga yang berbahagia itu, tumbuh. Si ‘aku’—Mimin, tumbuh menjadi gadis remaja. Si ‘aku’ sangat senang membaca. Dia seperti kebalikan dari si bapak yang tak suka membaca. Bapak selalu tertidur jika disuruh membaca; padahal bisa bertahan 24 jam tak tidur jika disuruh mencangkul. Tak ada teori yang bisa menjelaskan kasus si bapak. Si ‘aku’ hanya tersenyum jika harus membacakan koran atau apa pun kepada si ‘bapak’. Seperti didongengi, si ‘bapak’ akan segera tidur mendengkur begitu mendengar kalimat pertama diucapkan; padahal sebelumnya, dengan penuh semangat si ‘bapak’ meminta anaknya untuk membacakan kabar pagi itu, jika pada hari itu tak ada garapan di ladang, atau dengan murai-murainya.
Soal murai-murai itu, yang entah bagaimana seperti ‘menemukan’ tangan yang tepat sehingga cepat berkembang biak. Si ‘bapak’ dengan kebisuannya yang nyaris membatu, berhasil menjual murai, rata-rata hingga sepuluh juta rupiah. Ada yang mengatakan jika dijual ke si anu bisa berharga sampai lima puluh juta, atau ke si itu, bahkan bisa hingga seratus juta.
Si ‘Aku’, perempuan itu pernah suatu kali, mencari dengar percakapan rahasia antara si ‘bapak’ dan murainya.
“Mu, kamu saya pelihara bukan karena cinta untuk saling memiliki, ya. Bukan. Aku cinta sama kamu bukan karena untuk kumiliki, tapi karena suatu kali nanti kamu akan saya jual. Begitu juga cintamu kepadaku, kalau memang kamu punya, bukan karena untuk menjadi milikku. Kamu cinta, karena kamu butuh makan yang sudah agak sulit kamu cari sendiri. Ya, kan?
Jadi, Mu, cinta kita bukan untuk saling memiliki, tapi saling memanfaatkan. Ya? Bagi saya, kalau ada harga jual bagus, ya, harus kulepas dirimu dengan harga yang pantas itu. Jangan sakit hati, ya.”
Si ‘Aku’ menyimak baik-baik pembicaraan si ‘bapak’ dengan murainya. Di lintasan pikirannya, dia membayangkan bapak adalah sutradara film terkenal yang sedang mengarahkan salah satu bintangnya. Si ‘bapak’ memang aneh-aneh saja.
***
“KENAPA bapak tidak jual saja murainya ke si anu, Pak?” tanya pemasok sangkar. “Kan, bapak cukup lama juga memeliharanya, ngasih makan, merawat, belum kalau sakit, bapak beliin segala macam obat. Itu semua, kan perlu modal?”
“Iya. Sepuluh juta, sudah terlalu banyak,” jawab si ‘bapak’.
“Tapi, suaranya nyaring, bening, itu, kan yang bikin mahal?”
“Iya, tapi bukan saya yang bikin suara murai bagus. Itu urusan Tuhan. Jadi, saya tidak berani ngaku-ngaku, itu hasil kerjaan saya. Saya malu, kalau itu dianggap kerjaan saya, lantas pasang tarif lima puluh juta. Kalau mau, kasih saja ke si murai. Tapi, dia kan nggak doyan duit.”
Lalu pembicaraan soal harga mahal si murai selesai begitu saja.
***
SUATU ketika, tak ada hujan, tak ada badai, beberapa orang mendatangi rumah si ‘bapak’. Singkatnya, mempertanyakan hak si ‘bapak’ membangun rumah, meskipun kecil, membuka ladang dan berjualan burung. Tentu saja tak ada surat apa pun, karena semula, ketika masih dihuni jin, tanah itu hanya bentangan tanah terlantar. Tak seorang pun peduli. Bahkan setan paling dibenci pun enggan disuruh tinggal di situ. Lalu, ketekunan si ‘bapak’, juga karena merasa mendapatkan kesempatan hidup dan menghidupi keluarganya, tanah itu digarap hingga memakmurkan hidupnya. Lantas, orang-orang ini datang menggugat, mempertanyakan surat izin dan sebagainya.
Si ‘bapak’ hanya memandang dengan sepasang matanya, yang tersimpan rapi di cekungan matanya yang dalam itu. “Surat apa?” ucapnya dingin.
“Bapak tinggal di sini atas izin siapa?”
“Ini tanah bapak?” si ‘bapak’ balik tanya.
“Jawab pertanyaan saya, pak….”
“Saya juga tanya, ini tanah ini milik bapak?” jawab si ‘bapak’ tak kalah mengancam.
“Kalau tak punya surat izin, jangan main pakai saja, dong. Namanya nyerobot!”
“Bapak ini siapa?”
“Malah berani tanya….”
“Ya, saya tanya, bapak ini siapa, sok main kuasa….”
“Eh, malah ngelawan….”
Dua orang itu hampir saja saling pukul, untung ada yang melerai. Lalu terjadi percakapan, meskipun masih sama-sama keras. Lantas seperti dipisahkan udara dingin, mereka membisu.
“Begini, Pak, perkenalkan, saya Abun, yang punya tanah di sini….”
“Nah, coba dari tadi ngomong begini, kan, enak….” ucap si ‘bapak’ masih menahan emosi.
“Pak Abun yang punya tanah di sini? Sebelah mana, Pak?” tambah si ‘bapak’, kemudian.
“Ya, menurut papi saya, saya ada tanah di sini….”
“Sininya, di mana? Lihat sendiri, berapa kilometer ke sana dan sana, tanah kosong melompong. Hanya ada ilalang. Mungkin ada karet satu-dua batang. Masak semua punya papinya Pak Abun?”
Yang dipanggil Abun agak gugup. Wajahnya makin kelihatan pucat. Buru-buru meminta tas kulit yang dipegang salah seorang—mungkin bawahannya, mengeluarkan map, dan dari situ dia mengeluarkan kertas.
“Kalau dilihat dari surat ini… memang tidak disebutkan batasnya. Hanya daerahnya.”
Si ‘bapak’ geleng-geleng kepala. Memperhatikan lembaran kertas itu, lalu menyimpulkan bahwa itu semacam surat catatan, bukan surat tanah yang punya kekuatan hukum.
Ketegangan terjadi lagi dan kali ini dua anak laki-laki si ‘bapak’, yang baru pulang dari pasar menjual singkong dan hasil ladang lainnya, berada di ruangan kecil itu. Makin sesak, tentu saja. Makin was-was perasaan si Abun, sepertinya. Apalagi dua anak si ‘bapak’ ini kelihatan kekar, muda, dan belum mandi seminggu.
Hingga berbulan-bulan kemudian, tak terjadi apa-apa di tanah sepi yang ditanami singkong itu.
***
ADA gerimis turun tipis. Ada angin berembus. Perempuan muda yang sejak tadi mematung di pinggir kali berwarna cokelat kental itu, seperti tak peduli pada basah dan dingin yang membungkus tubuhnya.
Tapi, sekarang di mana mereka yang kau ceritakan tadi, tanya gerimis yang masih tipis melapisi senja itu. Tak ada jawaban. Si ‘aku’, Si ‘Mimin’, perempuan yang entah hamil, entah busung lapar itu, diam saja. Seolah-olah rohnya sudah berkelana jauh, entah ke langit yang ke berapa. Dia hanya berkedip, karena kelopak matanya bekerja tanpa kendali kesadarannya; persis seperti detak jantungnya. Dia seperti tak mau mendengar, meskipun sebenarnya dia mendengar, apa saja yang diucapkan gerimis kepadanya. Meskipun bisikan tiap butiran gerimis itu berbeda-beda, si ‘aku’ tetap membisu.
Dia hanya teringat, tiba-tiba rumah mereka yang kecil dikelilingi ladang singkong itu didatangi banyak orang. Malam. Gelap. Dingin. Orang-orang itu seperti malaikat. Tubuhnya terlalu kuat untuk ukuran manusia. Tenaganya terlalu besar untuk bisa disebut manusia. Si ‘Mimin’ dan emak hanya bisa berdekapan, menangis dan akhirnya lari. Lari menyelamatkan diri.
Mimin hanya sekilas menyaksikan si ‘bapak’ melawan mati-matian tanah yang digarapnya itu dibantu oleh anak-anaknya yang laki-laki. Si ‘Pipin’, kakak perempuan satu-satunya, baru saja menikah dan ikut suaminya—katanya ke Lampung.
Setelah itu, senyap. Setelah itu, gelap.
Tak ada cerita lagi, di mana dan bagaimana si ‘bapak’ dan saudara-saudaranya. Di pelarian, si emak yang sudah sakit-sakitan akhirnya meninggal. Di ingatan Mimin, yang mematung itu, samar-samar terbayang bagaimana jenazah emaknya diurus polisi. Mimin yang masih bocah hanya bisa menangis dan melarikan diri menjauh dari sesuatu yang tak dipahaminya. Yang tiba-tiba hadir dalam hidupnya.
Mimin, si ‘aku’ hanya bisa mereka-reka. Di pinggiran kali ini, dulu ada dirinya dan si ‘bapak’ yang mengajaknya memancing. Mimin kecil yang sibuk membawakan ember—yang terlalu besar untuk ukuran tubuhnya—menemani bapak memancing. Sering kali dapat ikan sapu-sapu. Kadang-kadang di tempat yang berawa-rawa mereka dapat ikan gabus. Kalau dapat ikan gabus banyak, sebagian dibawa ke pasar dan pasti laku—katanya untuk obat.
Mimin mencoba menebak-nebak di antara rumah-rumah bagus yang bermunculan itu, di mana tanah yang dulu digarap si bapak? Laki-laki yang sulit tersenyum, yang matanya seperti marah kepada dunia, namun tenaga dan semangat kerjanya melebihi seribu kerbau itu?
Suatu ketika Mimin pernah berada dalam keadaan antara tidur dan jaga. Dia seperti berada di negeri awan putih bersih. Di bentangan awan itu dia melihat si ‘bapak’ dibantu kakak-kakaknya tengah mencangkul awan, ditunggui emak yang tengah memangku bibit-bibit pohon cahaya. Mimin menangis menyaksikan keindahan itu. Tapi tentu saja, tak ada seorang pun yang bisa paham arti tangisan perempuan muda itu. ***
.
.
Yanusa Nugroho adalah seorang penulis. Sejak 2000, ia dijadikan narasumber untuk berbagai pelatihan penulisan cerpen bagi siswa dan guru, ke pelbagai daerah, oleh Badan Bahasa.
.
Menanam Pohon Cahaya. Menanam Pohon Cahaya. Menanam Pohon Cahaya. Menanam Pohon Cahaya. Menanam Pohon Cahaya. Menanam Pohon Cahaya.
Leave a Reply