Cerpen, Inayah Kenia Pratiwi, Suara Merdeka

Tolak Bala

Tolak Bala - Cerpen Inayah Kenia Pratiwi

Tolak Bala ilustrasi Suara Merdeka

1
(1)

Cerpen Inayah Kenia Pratiwi (Suara Merdeka, 27 Juni 2024)

AYAM telah berkokok, penanda petang telah sirna dan mentari datang menyambut pagi. Terdengar suara bising warga desa Renggosjati, yang rupanya telah bersiap-siap untuk menyambut acara besok. Ya, acara tahunan yang selalu dinantikan warga, “Tolak Bala” namanya. Tradisi turun temurun yang memuat kearifan lokal Kota Tuban ini memang masih dilestarikan hingga saat ini.

“Faid, ayo sini bantu Bapak bersih-bersih tempat ini,” ucap pak RT sekaligus ketua penyelenggara upacara ini.

“Fina, Irul, ayo ikut bantu-bantu,” Faid pun mengajak teman-teman yang lain untuk turut membantu Pak RT. Mereka dan para warga desa Renggosjati pun turut bergotong-royong membersihkan pelataran mushola pagi ini.

***

Apa hubungannya dengan mushola? Ya, jadi sebenarnya acara tolak bala ini adalah tradisi menolak musibah yang dilaksanakan pada hari Rabu terakhir di bulan Safar dan biasanya dilaksanakan di tempat sakral maupun tempat ibadah.

Masyarakat desa percaya pada bulan Safar Allah SWT banyak menurunkan berbagai macam bentuk bala (bahaya) di muka bumi ini. Tolak bala di desa Renggosjati sendiri dilakukan dengan tradisi kenduri—jamuan makan yang dilakukan setelah rangkaian ritual dan doa untuk tolak bala sebagai bentuk ungkapan syukur atas perlindungan yang diharapkan diterima dari yang Maha Kuasa—dan tradisi air kembang—Tradisi Air kembang dipercaya memiliki kekuatan spiritual untuk membersihkan dan melindungi dari bala atau energi negatif.

Dalam upacara tolak bala, air kembang dapat disiramkan ke tempat-tempat yang dianggap rentan terhadap ancaman bala, seperti rumah-rumah atau area permukiman.

Selain itu, air kembang juga dapat digunakan untuk mencuci muka yang diyakini dapat membersihkan dan melindungi dari energi negatif atau bala yang ada di tubuh kita.

Baca juga  Bangunan Itu Menelan Ibu dan Bulanku

Proses mencuci muka dengan air kembang juga sering diikuti dengan doa atau mantra sebagai bentuk pemohonan perlindungan dan keberkahan dari yang Maha Kuasa. Sekalipun sekilas terlihat aneh, tetapi tradisi ini mengandung unsur kekeluargaan, spiritual, dan kepercayaan dari masyarakat pada tiap susunan acaranya.

Di sisi lain tampak gadis-gadis yang membantu para Ibu memasak. Namun ada satu gadis yang bersikap acuh pada tradisi ini, dia merasa acara ini tidak bermanfaat baginya.

Di saat yang lainnya sibuk membuat makanan untuk dihidangkan dalam tradisi kenduri, Kenia justru asik memainkan gawainya.

“Kenia, sini bantu ibu buat nasi urap, dari tadi kok malah main gawai mulu. Nanti Ibu sita gawaimu,” ucap ibu yang mulai geram atas sikap anaknya yang kecanduan gawai hingga tidak memperhatikan sekitarnya.

“Ogah, ah Bu. Ini lagi seru-serun ya,” bantah Kenia yang asik bermain game digawainya hingga menoleh saja tidak.

“Jika kamu tetap tidak mau, mulai besok gawai kamu Ibu sita,” lontar sang ibu.

Segala persiapan telah usai. Semua warga laki-laki telah menyelesaikan tugasnya dalam membersihkan pelataran mushola dan menyiapkan air kembang 7 rupa, sementara itu semua wanita telah menyelesaikan tugasnya dalam membuat makanan untuk tradisi kenduri.

Keesokan harinya senja telah tiba, tepat pada hari Rabu terakhir pada bulan Safar ini acara tolak bala dimulai. Para warga mulai berdatangan satu persatu, warga duduk melingkar dengan makanan kenduri dan air kembang terletak di tengahnya.

Tampaknya seluruh warga sudah hadir, ketua adat siap memulai acara air kembang dilanjut dengan acara kenduri sebagai bentuk ungkapan syukur atas perlindungan yang diharapkan diterima dari yang Maha Kuasa. Masih pada waktu yang sama, Kenia gadis bergaya modern ini sama sekali tidak menghiraukan suasana saat itu.

Baca juga  Cerita dari Sunyapringga

“Kenia kamu ini dari tadi masih bermain gawai terus,” ujar sang Ibu yang kesal akan kelakuan anaknya yang dinilai sombong oleh para warga karena sikapnya tersebut.

“Ngapain sih, Bu, makan beginian segala, lagian ngapain juga harus cuci muka pakai air kembang, aneh tahu, Bu,” ujar Kenia dengan wajahnya yang berlagak sinis.

Tiba-tiba Faid yang ikut mendengar obrolan tersebut pun menyaut.

“Hei Kenia, kamu jangan sombong. Ini tradisi budaya leluhur kita, kita semua harus menghormatinya. Lagian tradisi seperti ini juga cuma setahun sekali kok, apa susahnya sih mengikuti dengan baik,” ujar Faid, dengan nada sedikit kesal.

“Huuu, sok tahu kamu Faid, emangnya apa faedah ikut acara beginian, aneh”.

Dengkus Kenia.

“Tentu aku paham betul makna diadakannya acara ini, Kenia. Ini sudah tradisi kita, semua dilakukan untuk menolak bala yang datang. Karena sehebat apapun kita, sepintar dan sekaya apapun kita, kita tidak dapat menghindari yang namanya marabahaya (celaka). Dan perlu kamu pahami, Kenia, walaupun zaman sudah modern dan canggih tapi kita tetap harus meneruskan tradisi kita, sebagai bentuk kecintaan kita terhadap warisan budaya yang kita miliki. Lihatlah sisi positifnya, jarang sekali warga desa berkumpul pada acara khidmat seperti ini!” tegas Faid.

Akhirnya Kenia tersadar akan perkataan yang telah Faid jelaskan, bahwa tradisi yang awalnya dikira aneh ternyata mengandung unsur kearifan lokal seperti kekeluargaan dan spiritual. Yang membuat desa ini tetap makmur dan melestarikan warisan budaya yang ada. ***

.

.

Nb.

Cerpen ini dibuat berdasarkan “Cengkriman” (Umpama/Umpasa) masyarakat badat Jawa, yang berbunyi:

“Busuk Ketekuk, pinter Keblinger”

“Sing bodho lan sing pinter pasti nemu ciloko”

Baca juga  Tentang Ucup Karbol yang Kelak Akan Diperdebatkan

Artinya: Orang yang bodoh mau pun yang pintar, pasti tidak dapat mengelakkan diri dari yang namanya celaka (mara bahaya).

Tradisi tolak bala dilaksanakan oleh masyarakat Jawa sebagai bentuk upaya untuk mengusir atau menghindari bencana atau penyakit yang dianggap sebagai bala. Ini merupakan bagian dari kepercayaan dan warisan budaya yang telah turun-temurun di masyarakat Jawa. Tradisi ini sering melibatkan upacara keagamaan, doa, dan ritual lainnya yang diyakini dapat membawa perlindungan dari bahaya tersebut.

.

.

Inayah Kenia Pratiwi, mahasiswa di Universitas Negeri Medan, Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.

.

.

Loading

Average rating 1 / 5. Vote count: 1

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!