Cerpen, Kompas, Tiqom Tarra

Dari Teluk Terima kepada Dewa-dewa

Dari Teluk Terima kepada Dewa-dewa - Cerpen Tiqom Tarra

Dari Teluk Terima kepada Dewa-dewa ilustrasi Putu Sutawijaya/Kompas

3.4
(8)

Cerpen Tiqom Tarra (Kompas, 04 Agustus 2024)

LANGIT berubah kelam dan bumi terguncang. Saat itu pula istrimu, Ni Layonsari, tahu bahwa sesuatu telah terjadi padamu. Perempuan yang baru tujuh hari kau persunting itu telah lama mendapat firasat buruk tentangmu.

“Linuh, linuh!” Orang-orang berlarian menuju tempat yang lebih tinggi. Namun, tidak dengan istrimu. Ni Layonsari menatap langit kelam dengan guntur bersahut-sahutan, meratap kepada Dewata. Harusnya ia melarangmu pergi melaksanakan titah raja. Mimpinya beberapa malam yang lalu adalah peringatan.

Banjir bandang itu terasa begitu nyata di dalam mimpi istrimu. Air bah yang entah datang dari mana itu menyeret rumah kalian sebagai pertanda buruk. Namun, kau adalah seorang abdi yang begitu setia, apa pun perintah Raja Kalianget.

“Aku harus pergi melaksanakan perintah raja,” begitu katamu.

“Aku yakin mimpiku semalam adalah pertanda buruk. Bisakah kau urungkan keberangkatanmu? Raja pasti akan mengerti.”

Namun, kau bukanlah orang yang akan menolak perintah Raja Kalianget. Kau akan tetap melaksanakan perintahnya seolah itu adalah perintah Dewata.

“Aku pasti akan kembali.”

Bagimu, Raja Kalianget bukan hanya sekadar penguasa. Ia adalah sosok ayah yang memberimu sandang dan pangan ketika seluruh keluargamu dilahap wabah. Kau sebatang kara ketika Raja Kalianget membawamu ke istana dan menjadikanmu anak angkatnya. Raja Kalianget mengajarimu menggunakan panah, keris, dan tombak. Raja Kalianget mengajarimu membaca dan menulis; menjadikanmu abdi kerajaan kesayangannya. Bagimu, Raja Kalianget adalah sosok dewa di dunia.

Suatu hari Raja Kalianget memerintahkanmu untuk memilih salah satu dayangnya untuk kau ambil sebagai istri. Bagimu, itu adalah hal lancang karena dayang istana adalah milik raja, maka kau memohon agar diperbolehkan mencari gadis di luar istana. Raja Kalianget setuju, maka berangkatlah kau menuju pasar di pagi hari; mengamati gadis-gadis di keramaian pasar.

Satu gadis dengan mata bening dan wajah ayu itu mencuri hatimu. Kau mengamati gadis itu. Lemah gemulai gerakannya, lembut dan santun tutur katanya, hingga tatapan kalian bertemu. Seulas senyum menghiasi wajahnya yang malu-malu. Siapa gerangan gadis itu? Kau bertanya-tanya kepada orang di pasar.

“Ia anak gadis Jero Bendesa,” tutur seorang warga.

Baca juga  Senyuman Delima

Dengan hati berbunga, kau menghadap Raja Kalianget. “Hamba telah menemukan gadis pujaan hati hamba, jika raja berkenan, hamba ingin menikahinya.”

“Siapa gerangan gadis itu?”

“Ia putri Jero Bendesa. Ni Layonsari namanya.”

Berbekal surat dari Raja Kalianget, kau datang ke rumah Jero Bendesa untuk melamar gadis pujaanmu. Siapa pula yang tidak mengenalmu. Kau adalah abdi kerajaan kesayangan raja, pemuda gagah dengan tutur kata yang santun. Kau pun tahu, lewat senyum malu-malu di wajah ayu itu, Ni Layonsari pun telah menaruh hati padamu. Jero Bendesa setuju putrinya kau pinang.

Tepat di hari Selasa Legi Wuku Kuningan, Raja Kalianget menggelar upacara pernikahanmu. Anak angkat raja, abdi kerajaan kesayangan raja akan melepas masa lajangnya, begitulah Raja Kalianget ingin sebuah upacara pernikahan yang meriah untukmu. Namun, ketika kau dan Ni Layonsari menghadap untuk memberi hormat, Raja Kalianget terdiam menatap istrimu.

Kau tahu itu bukan tatapan seorang ayah yang bahagia melihat menantu perempuannya. Bukan. Kau juga tahu itu bukan tatapan seorang raja pada istri abdinya. Bukan. Tatapan itu seperti tatapan seekor harimau kala melihat rusa betina.

Dengan hati gundah kau pulang selepas acara perjamuan kerajaan bersama istrimu. Tak ingin memikirkan arti tatapan raja pada Ni Layonsari. Mungkin saja aku salah, ucapmu.

Tujuh hari setelah pernikahanmu dengan Ni Layonsari, Patih Saunggaling datang memberi kabar. Raja Kalianget memerintahkanmu untuk pergi ke Teluk Terima.

“Perahu-perahu di sana telah dihancurkan dan orang-orang Bajo dengan sesuka hati berburu menjangan. Kita tidak bisa membiarkan hal ini.”

Sejujurnya kau tidak ingin pergi. Bagaimana mungkin kau meninggalkan istri yang baru sepekan kau nikahi? Kau juga ingat mimpi Ni Layonsari semalam. Sebuah banjir bandang menghanyutkan rumah kalian. Oh, Dewata, pertanda buruk apakah itu? Kau gusar. Ni Layonsari pun tidak ingin kau pergi. Ia cemas. Namun, kau pun tidak bisa menolak perintah raja.

Dengan janji bahwa kau akan kembali, pada akhirnya kau berangkat bersama Patih Saunggaling ke Teluk Terima. Ada kegusaran yang terus mengusik batinmu. Entah mengapa, kau tahu bahwa kau mungkin tidak akan pernah kembali pada Ni Layonsari. Kau akan mati di Teluk Terima, begitu firasatmu terus menghantui pada setiap langkah.

Baca juga  Saya di Mata Sebagian Orang

“I Jayaprana, kau pasti sudah berfirasat. Ini adalah titah Raja Kalianget, maka kau harus menerimanya.” Patih Saunggaling menyodorkan sepucuk surat.

Tumpah sudah air matamu. Raja Kalianget ingin kau mati. Kau telah melewati batasmu dengan menikahi Ni Layonsari yang jelita yang harusnya menjadi istri raja, begitu isi surat itu. Amarah dalam dadamu membuncah. Pernikahanmu dengan Ni Layonsari adalah perintah Raja Kalianget, lalu mengapa raja pula yang menginginkan istrimu? Di satu sisi kau ingat semua kebaikan yang telah Raja Kalianget berikan padamu. Kehidupan, martabat, keluarga, semua telah ia berikan padamu. Hidupmu memang telah sepatutnya kau serahkan pada Raja Kalianget.

Kau tersedu; memohon pada Dewata. Kau teringat pada istrimu yang jelita; ia menunggumu di rumah. Tak mengapa, kau mengerti. Raja pun pasti akan memberikan kehidupan yang baik pada istrimu seperti pula ia memberikan kehidupan padamu sejak kanak dulu.

Kau pasrah. Kau serahkan kerismu pada Patih Saunggaling. “Bunuhlah aku, Paman. Katakan pada Raja Kalianget, aku adalah abdi setianya.”

Kau ambruk dalam dekapan Patih Saunggaling setelah keris itu menembus lambung kirimu. Air matamu membasahi pundaknya sebelum kau benar-benar tewas.

“Aku hanya melaksanakan perintah raja, aku hanya melaksanakan perintah raja,” berulang kali Patih Saunggaling mengatakan hal itu.

Darah yang mengucur dari tubuhmu menguarkan harum semerbak cendana. Langit cerah di atas sana kini berubah kelam. Bumi terguncang seakan murka pada apa yang terjadi padamu. Angin bergulung-gulung merusak apa pun yang dilewati dan bunga-bunga berguguran seakan bersedih untukmu.

“Oh, Dewata, inikah murkamu?” Patih Saunggaling kebingungan. Ia ingat selepas upacara pernikahanmu dan Ni Layonsari, Raja Kalianget gusar. Raja menginginkan Ni Layonsari untuk dirinya sendiri. Dan Patih Saunggaling menginginkan kepercayaan yang Raja Kalianget berikan padamu. Ia ingin menjadi abdi setia kesayangan Raja Kalianget.

Utuslah I Jayaprana ke Teluk Terima. Hamba yang akan mengurus sisanya, begitu usul Patih Saunggaling. Raja Kalianget setuju. Setelah kau tewas, ia akan memboyong Ni Layonsari ke istana untuk dijadikan istri.

“I Jayaprana telah tewas demi menyelamatkan negeri dari orang-orang Bajo. Ia adalah pahlawan bagi negeri kita.”

Baca juga  Cakar Dubuk Tutul

Istrimu tertawa mendengar penuturan Raja Kalianget. Siapa yang akan percaya bahwa kau tewas karena orang-orang Bajo? Ni Layonsari jelas ingat tatapan Raja Kalianget padanya kala kau dan dirinya memberikan penghormatan setelah upacara pernikahan. Ni Layonsari tahu Raja Kalianget menaruh iri pada anak angkatnya. Raja yang begitu diagungkan olehmu tak lebih dari seorang laki-laki yang menginginkan apa yang bukan menjadi miliknya.

Ni Layonsari bukanlah perempuan bodoh. Ia tahu kematianmu adalah akal-akalan Raja Kalianget. Orang-orang Bajo yang berburu menjangan dan merusak perahu di Teluk Terima hanyalah alasan.

Istrimu hanya tertawa ketika ditawari gelar, kedudukan, dan harta sebagai istri Raja Kalianget. Baginya hanya ada dirimu, I Jayaprana, suami yang meninggalkannya demi pengabdian terhadap raja yang diagungkan melebihi Dewata.

Ni Layonsari murka. Ia memilih mengikuti kematianmu dengan menikam dadanya sendiri dengan keris. Hina baginya menjadi istri Raja Kalianget setelah kepergianmu. Dalam doa yang abadi kepada dewa-dewa, Ni Layonsari bermunajat agar ia bisa bersatu denganmu di nirwana. Dunia begitu fana untuk kalian berdua. Kelak, di suatu masa yang jauh, tempat di mana kau bersemayam adalah larangan bagi suami istri untuk berjalan bersama. Alam telah memberikan penghormatan bagimu dan Ni Layonsari. ***

.

.

Catatan:

[1] Linuh: gempa

[2] Jero Bendesa: Kepala Desa Adat

.

.

Tiqom Tarra, lahir dan besar di Pekalongan. Kini tinggal di Jembrana, Bali. Cerpen-cerpennya pernah dimuat di berbagai media, baik daring maupun cetak. Telah menerbitkan kumpulan cerpen Anak Kecil yang Memamerkan Bayinya dan Orang Dewasa yang Menyimpan Biji Mentimun di Saku Celana (2018).

Putu Sutawijaya, perupa kelahiran Tabanan, Bali, lulusan ISI Yogyakarta. Ia menetap di Yogyakarta dan mendirikan Sangkring Art Space sebagai ruang berkebudayaan para seniman. Memperoleh penghargaan Lempad Prize dari Sanggar Dewata tahun 2000.

.
Dari Teluk Terima kepada Dewa-dewa. Dari Teluk Terima kepada Dewa-dewa. Dari Teluk Terima kepada Dewa-dewa. 

Loading

Average rating 3.4 / 5. Vote count: 8

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!