Cerpen, Dody Widianto, Republika

Di Antara Cericit Burung, Dedaunan Bersaksi

Di Antara Cericit Burung, Dedaunan Bersaksi - Cerpen Dody Widianto

Di Antara Cericit Burung, Dedaunan Bersaksi ilustrasi Da'an Yahya/Republika

5
(1)

Cerpen Dody Widianto (Republika, 04 Agustus 2024)

KETIKA Mad kemudian menarik lengan Din lebih keras untuk mengikuti langkahnya menyusur jalan menuju atas bukit, ia lihat nama di nisan terlalu banyak nama laki-laki. Entah itu nama anak-anak atau nama dewasa, tidak ia lihat di sana nama perempuan. Ada memang, ia melihatnya satu saja di antara banyak nama lelaki yang lain. Nama perempuan itu serupa sepotong lidi di antara potongan kayu-kayu kering. Hampir saja tidak kelihatan jika ia tidak melihatnya lebih saksama.

“Din, ayo.”

Ia sedikit mendongak. Mad telah lebih lima langkah di depannya yang menyusur jalan setapak. Tanahnya bekontur naik dan di kanan kirinya banyak ditumbuhi rumput liar serta ilalang selutut. Ia rasakan perih karena beberapa helai daunnya ada yang menggores betis karena hanya pakai celana pendek.

“Memang warga kampung jarang kerja bakti atau gimana? Sampai rimbun begini rumputnya. Apa mereka cuma ke kuburan kalau pas mau puasa saja? Manusia itu cuma ingat mati pas Ramadhan saja memang.”

Mad tak menjawab. Gegas menarik lengan Din untuk berjalan lebih jauh lagi. Napas Din mulai berat. Seolah suara angin yang keluar dari hidung dan mulutnya adalah deru mesin truk yang tak mampu menanjak. Di lereng perbukitan ini, di antara makam yang berjajar, kaki Mad sungguh kuat dibanding dengan kaki Din. Belasan tahun hidup di kota, ia sepertinya kurang olahraga ditambah mengonsumsi makanan cepat saji yang sebetulnya tak layak kesehatan. Atas nama kesibukan, terkadang jalur alternatif dan cepat memang harus dilakukan. Termasuk dalam urusan makan. Bahkan ia tak marah jika teman-teman kantor sering memanggilnya gemoy.

“Cepat banget kamu Mad. Kaya kambing nyari makan rumput.”

Baca juga  Mati Kangen

“Ehhh, bercanda saja kamu. Sudah cepetan, nanti keburu magrib. Gelap.”

Hampir lebih satu jam berjibaku dengan rerumputan, ilalang, ulat bulu di dedaun, ranting dan akar-akar pohon yang menghalangi jalan, sampai jugalah mereka di atas perbukitan. Di sana, lebih banyak lagi nama-nama lelaki dalam nisan. Din meggeleng. Belasan tahun kampungnya ia tinggal, ia tak tahu jika banyak lelaki di kampung ini yang sudah meninggal. Semacam wabah. Namun, ia tak akan percaya jika pagebluk atau wabah hanya mengincar laki-laki. Seolah ada yang tak beres. Mungkinkah penyakit yang datang itu hanya memilih jenis kelamin tertentu?

“Duduk dulu di bawah pohon duku itu saja. Nanti cerita.”

Din mengangguk. Mengikuti langkah Mad. Mad mengambil dua helai daun talas sebesar taplak meja, memotong tangkainya dengan tangan. Memberikan satu untuk Din, satu lagi untuknya. Mereka duduk memandang ke bawah lembah yang begitu hijau. Begitu indah dengan langit biru dan gumpalan awan putih tumpang tindih, menggantung di atasnya. Seolah apa yang mereka lihat adalah lukisan milik Tuhan yang tak bisa dijual dan tak ternilai harganya.

“Kamu lihat bukit yang terbelah setengah itu? Juga bangunan bekas rumah Tuhan yang sendirian di sana dan hancur itu? Lebih dari satu dekade lalu, saat kau di kota, gempa besar terjadi saat azan zuhur. Ibu-ibu berteriak keluar rumah beserta anak-anaknya. Namun, gempa itu membuat longsor dan menimbun masjid di pinggir bukit saat salat Jumat dilaksanakan. Mengubur semua lelaki yang ada di dalamnya. Jadi, ketahuan siapa lelaki dewasa — jika ia tidak bepergian atau sedang bekerja — berarti lelaki yang selamat itu tidak salat Jumat. Kamu ingin tahu, siapa lelaki dewasa yang selamat di kampung ini? Ada tiga. Yon tukang maling yang tatonya sebadan. Lalu aku yang habis begadang semalaman di alun-alun kota. Kamu ingin tahu siapa lelaki ketiga?”

Baca juga  Tangisan Siapa di Balik Kamar itu?

“Tentu.”

“Pak Haji Karim. Kukira ia belum tua-tua amat. Masih bisa jalan ke masjid. Yang membuat geger adalah, ia malah sedang berduaan dengan janda bohay incaran bapak-bapak sekampung. Ketika tim SAR datang dalam tangis dan kekalutan bersama ibu-ibu yang kehilangan suaminya, ia malah ketahuan baru keluar dari rumah janda bohay itu di sore hari. Parah ‘kan? Istrinya lalu minta cerai di malam harinya.”

“Longsor itu cuma menimpa masjid? Kukira rumah Tuhan bukannya selalu terhindar dari bencana? Entah banjir, entah longsor, yang kutahu selalu begitu. Ia akan berdiri kokoh di antara rumah-rumah yang roboh dan berserak. Agak aneh juga, tetapi ya semuanya sudah jalan takdir. Aku tak bisa mencari alasannya. Namun, kemarin Bi Jani telepon. Menasihatiku. Zaman sekarang, esensi ibadah hanyalah sebatas melengkapi kewajiban Mad, bukan rasa takut pada Tuhan dan hari pembalasan. Sejak aku pergi, kata Bi Jani, judi daring menjamur di tempat ini. Padahal suara azan sering didengungkan di antara riuh anak-anak muda yang mabuk dan para remaja yang menjajakan tubuhnya. Kukira semua itu hanya ada kota-kota besar. Desa dan kota sekarang sama saja.”

“Dari dulu sebenarnya pun aku suka padamu.”

“Apa Mad? Aku enggak salah dengar bukan?”

“Tidak. Entah kenapa rasa ini selalu ada. Aku mau tunjukkan makam bapakmu jika kamu bersedia menuruti kemauanku.”

“Gila kau!”

​Din mendelik. Ia tak akan pernah menyangka Mad teman masa kecilnya bermain bola akan berbicara seperti itu.

​“Sadar Din. Masih banyak perempuan cantik di luar sana.”

​“Apa aku salah?”

​“Tentu saja salah! Jagat raya selalu memadukan dua unsur berbeda demi kesempurnaan. Ada siang, ada malam. Ada benci, ada rindu. Ada besar, ada kecil. Ada lelaki, pasti ada perempuan. Sadarlah Din. Kamu baru saja bercerita semuanya tentang kampung ini. Bukannya untuk pembelajaran, malah merasa tak ada apa-apa.”

Baca juga  Tak Ada yang Lebih Hangat.... *)

​“Jadi kamu enggak mau?”

​Mad meracau tak jelas untuk menuruti kemauannya. Din segera kabur dengan dada bergemuruh. Mad berusaha mengejar. Din bisa saja mengambil balok kayu atau apa untuk membela diri. Namun, Din selalu ingat, posisinya nanti akan selalu salah jika ia kalap dan menyiksa Mad. Di negara yang aneh ini, hukum akan selalu berpihak pada yang punya uang banyak.

Di antara suara cericit burung di reranting pohon, aroma tanah basah karena gerimis semalam, serta dedaunan yang bersaksi, Din berlari lebih cepat menuruni bukit. Di kepalanya, ia teringat kisah kaum Lut yang terkubur dalam timbunan batu panas dari gunung. Dalam geleng kepala berat mengingat sebuah kemunafikan yang merajalela, hari ini, ia ingin kampungnya sendiri ditimpa hal sama setelah ia kembali lagi ke kota. ***

.

.

Karya-karya Dody Widianto tersiar di berbagai media massa nasional seperti Koran Tempo, Republika, Media Indonesia, Pikiran Rakyat, Kompas.id, Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat, Solo Pos, Suara NTB, Pontianak Post, Singgalang, Haluan, Fajar Makassar, Sinar Indonesia Baru, Tanjungpinang Pos, dll. Sila berkunjung ke akun IG: @pa_lurah untuk kenal lebih dekat.

.
Di Antara Cericit Burung, Dedaunan Bersaksi.

Loading

Average rating 5 / 5. Vote count: 1

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!