Cerpen Supartika (Kompas, 11 Agustus 2024)
BELUM genap setengah hari setelah putusan itu. Putusan pengadilan yang menyatakan: tanah yang selama ini dikuasai adat, kini sah jadi milik Sudarma. Puluhan orang dengan beringas dan penuh amarah datang menyambangi rumah Sudarma. Potongan kayu, linggis, sabit, batu, bata, dan bensin dalam plastik tergenggam di tangan mereka. Wajah-wajah mereka memerah, penuh amarah dengan sorot mata yang tajam memandang ke arah rumah Sudarma. Ada bau arak dan tuak di antara mereka.
Tanaman bunga yang sedang mekar-mekarnya di depan tembok panyengker mereka cabut dan ratakan, palem, pot bunga, semua dibanting dan dilempar secara serampangan ke jalan. Taman yang selama ini tertata, kini dibuat rata.
“Bunuh… bunuh… bunuh…”
“Bakar…!”
“Keluar kamu bajingan, jangan jadi pengecut!”
“Berani melawan adat, berarti sudah siap melawan kami semua.”
Teriakan dan cacian dengan penuh amarah terus menyembur dari setiap mulut yang bercampur dengan bau tuak dan arak, dan membuat nyali ciut. Mencekam.
Dua orang polisi yang sejak beberapa hari ini bertugas mengamankan rumah Sudarma memilih mundur perlahan. Keduanya tak bisa berbuat banyak selain menjauh dan mencoba menghubungi rekannya di kantor, berharap bantuan pasukan segera datang.
Puluhan orang itu seperti kesetanan, dirasuki Bhuta Kala, menghancurkan apa yang ditemui di depan rumah. Entah ada di antara mereka yang pernah kenal baik dengan Sudarma, pernah duduk bersama, sekolah bersama, atau bahkan pernah dibantu Sudarma, semua tak peduli. Yang kini ada di dalam pikiran mereka adalah: mabela pati, membela martabat adat.
Dan, bug! Linggis menghantam tembok penyengker. Lalu disusul hantaman lagi, lagi, dan lagi, yang disusul warga lain yang membawa linggis. Mereka berusaha merobohkan tembok setinggi orang dewasa yang mengelilingi rumah milik Sudarma.
“Ratakan!” Suara bak buk bak buk saling bersahutan.
Sementara di dalam rumah, Sudarma mengintip dari lubang kunci kamar tamu.
“Sial!”
Seketika itu tubuhnya mandi keringat. Mukanya pucat, putih, seperti mayat. Ingin rasanya ia menangis, tetapi tertahan ketakutan. Ketakutan datang dan terasa menguliti sekujur tubuhnya.
“Bawa anak kita ke kamar!”
Istrinya segera menuntun anak satu-satunya ke dalam kamar. Sementara di kamar tamu, Sudarma masih ketakutan dan kebingungan. Duduk sebentar di sofa kamar tamu sambil menarik napas dalam-dalam. Terasa kacau, takut, dan kalut. Dirasakan kakinya gemetar dan lemas, rasanya tak akan mampu berjalan. Ia menguatkan diri. Tak ada jalan lain, tak ada pintu belakang untuk melarikan diri.
Ia mencoba mencari akal. Memutar otak. Ia berlari ke dalam kamar. Didapati anak dan istrinya menangis saling berpelukan.
“Jangan menangis! Diam!” Sudarma membentak dengan suara tertahan.
Ditariknya dipan ke bawah lubang loteng rumah.
“Bantu angkat sofa di luar, bawa ke sini!”
Sudarma menumpuk sofa itu, satu sofa, dua sofa, tiga sofa, hampir menyentuh lubang loteng. Dibukanya lemari pakaian. Diambilnya beberapa selendang lalu disambung. Setelah tersambung, ia menarik ikatan setiap selendang, memastikan ikatan itu sudah kuat.
“Tunggu di sini!”
Dengan bersusah payah, ia memanjat tumpukan sofa sambil menggenggam selendang yang sudah disambung. Istrinya memegang sofa agar tak jatuh. Sudarma berhasil memanjat loteng. Salah satu ujung selendang itu ia ikatkan pada kuda-kuda atap rumah, sementara ujung lainnya ia julurkan ke bawah.
“Ikat dia, aku akan tarik dari sini.”
Setelah mengikat badan anaknya, Sudarma menarik dan istrinya membantu mendorong dari bawah. Anaknya berhasil naik.
“Kunci pintu kamar!”
Dan setelahnya, dengan berpegangan pada selendang, istrinya naik ke loteng dan berhasil. Sudarma melepas selendang dan menjatuhkannya sebelum menutup lubang loteng.
Bruk! Di luar, tembok penyengker roboh. Warga bersorak girang bagaikan merayakan sebuah kemenangan. Beberapa ada yang melompat-lompat, beberapa ada yang mengambil bata bongkahan tembok itu.
Prak! Potongan bata melesat menembus kaca kamar tamu, kemudian menghantam guci di atas meja hingga jatuh sebelum menghantam tembok yang membuatnya pecah menjadi tiga dengan ukuran tak sama serta menyisakan sedikit warna kemerahan di tembok.
Beberapa orang menerobos masuk. Pintu kamar tamu kini jadi sasaran. Dengan balok kayu dan linggis, mereka menghajar pintu sampai jebol.
“Keluar kamu!”
“Bunuh… bunuh… bunuh…”
“Seret dia ke jalan, bakar!”
Di kamar tamu, warga seolah berpesta. Barang-barang dibanting, dihajar tanpa ampun. Terdengar suara barang pecah beradu di lantai.
Di loteng, dengan suasana yang gelap, Sudarma sambil menggendong sang anak dan berjalan membungkuk, menjadi petunjuk jalan. Ia harus benar-benar menemukan jalan yang benar, karena jika kakinya salah melangkah, plafon akan jebol dan ia akan terjerembab, atau mudah terendus orang-orang yang tengah mengamuk. Di belakangnya, sang istri dengan tubuh gemetar memegang erat baju suaminya.
Di dalam rumah, orang-orang mulai memeriksa setiap kamar, merusak dan membanting apa yang mereka temukan. Ada yang menjebol lemari. Dan ada pula yang memasukkan beberapa gelang emas dan uang yang ditemukannya dari dalam lemari sebelum kemudian menghamburkan semua isi yang dianggapnya tak penting.
Beberapa orang yang menunggu di luar juga terus memprovokasi. Kata-kata kasar penuh amarah dan cacian tak putus-putus.
Dan, pyak! Satu genting pecah oleh batu sekepalan tangan. Sudarma menoleh dan melihat ada cahaya dari lubang genting yang telah pecah itu. Ketakutan semakin menguasai tubuhnya. Ia takut akan ada batu lagi yang dilempar orang-orang ke genting dan mengenai kepalanya, kepala anak atau pun kepala istrinya. Meski begitu, ia harus tetap fokus, mencari jalan terbaik untuk bisa keluar dari rumah itu.
Dalam ketakutan, Sudarma mengingat bagaimana ia berusaha dan berjuang mengambil tanah miliknya yang dikuasai adat selama bertahun-tahun. Dengan bukti selembar pipil, ia memperjuangkan dan merebut kembali tanah itu. Tanah yang memang adalah milik keluarganya.
Dari kakeknyalah ia mendapatkan pipil itu. Dan kakeknya pulalah yang menceritakan padanya perihal tanah yang seharusnya milik keluarganya. Ini bermula dari adanya usulan seorang warga dalam paruman adat bertahun-tahun yang lalu: tanah-tanah yang tak dirawat sebaiknya diambil alih oleh adat dan dirawat oleh adat, karena ini juga akan jadi salah satu pemasukan bagi adat untuk selanjutnya digunakan untuk biaya tambahan membuat upacara besar yang datang setiap tahun.
Sebagian besar warga adat yang notabene tak punya banyak tanah dan tanahnya masih terawat setuju dengan usulan itu. Maka, semua tanah tak terawat pun diambil oleh adat, dan salah satunya adalah tanah milik keluarga Sudarma yang saat itu hanya ditumbuhi semak belukar dan sang kakek tengah sibuk mengolah tanah sawah miliknya yang cukup luas.
Ketika diambil adat, kakeknya tak berani melawan meski memiliki bukti untuk bisa merebutnya kembali. Dan memang semua warga yang tanahnya diambil adat tak ada yang berani melawan.
Maka sepeninggal sang kakek dan tanah sawah yang selama ini diolah sang kakek sudah hampir habis dijual untuk membayar utang atas kekalahannya pada serangkaian sabungan ayam, Sudarma mengutarakan keinginannya untuk mengambil kembali tanah itu kepada sang ayah. Tentu saja, sang ayah tak mengizinkan.
“Jangan gegabah! Biarkan saja, toh bukan tanah kita saja yang diambil.”
“Tapi itu milik keluarga kita, kita punya bukti.”
“Tak mudah berhadapan dengan adat. Melawan adat, berarti akan berhadapan dengan orang banyak.”
“Kenapa harus takut? Kita di posisi yang benar!”
“Benar menurutmu belum tentu benar menurut orang banyak!”
“Aku akan mengambil kembali hak kita.”
“Jika kau melakukannya, sama saja dengan melihat ayahmu ini mati besok pagi!”
Memang, Sudarma tak melakukannya selama ayahnya masih hidup. Dan sebulan setelah kepergian sang ayah, Sudarma pun menjalankan keinginannya: merebut kembali tanah yang diambil adat lewat pengadilan dan berhasil memenangkannya.
“Dia naik ke loteng,” seseorang berteriak dari salah satu kamar. Suara itu menyadarkan Sudarma dan seketika, rasa takut yang paling takut yang tak pernah dirasakan menyergapnya. Dirasakan olehnya cengkeraman tangan anak dan istrinya semakin kuat karena melawan ketakutan. Hidup dan mati terasa tak ada batasnya.
Beberapa orang mendekat, berkerumun di dekat dipan yang berisi tumpukan sofa, menatap ke arah loteng.
“Naik dan kejar!”
“Tak usah dikejar.”
“Dia tak akan selamat. Tak ada jalan lain.”
“Kita bakar!”
“Ya kita bakar!”
“Bakar… bakar… bakar….”
Semua orang keluar dari dalam rumah dan menuju ke jalan. Sesampainya di luar semua berteriak: bakar!
Plak, pluk, plak, pluk. Batu, bata, bensin dalam plastik, dan potongan kayu beterbangan menghajar rumah dan atap rumah Sudarma. Pecahan genting jatuh dan menimpa kepala Sudarma. Ia mengusap kepalanya. Basah. Entah itu darah atau hanya air. Yang pasti ia merasakan kepalanya yang terkena pecahan genting terasa sakit.
Kini Sudarma, anak dan istrinya sudah mencapai bagian loteng yang terendah di sisi belakang. Perlahan ia menyingkirkan beberapa genting, dan di belakangnya, potongan bata dan batu masih melayang, menghujam atap rumah.
Di depan rumah, suasana makin memanas dan kondisi rumah Sudarma sudah benar-benar hancur. Hanya tembok, dan sebagian atap yang tersisa. Berserakan barang-barang, pakaian, kertas-kertas, koran, pecahan kaca, bangku-bangku, batu, bata, tanaman hias, sampai ke jalan.
“Bakar…!”
Beberapa orang mengambil lembaran koran dan kertas yang dihamburkan di jalan. Dikepalkannya kertas dan koran itu. Lalu disulutnya dengan api, dan setelah menyala langsung dilemparkan ke dalam rumah. Rumah yang telah basah oleh bensin dengan mudah disambar api. Api pun membara. Api membakar seisi rumah. Tak ada pilihan lain lagi bagi Sudarma. Diliriknya anak dan istrinya yang kini sudah sama-sama berada di atap rumah bagian belakang. Mereka saling menoleh, mata mereka basah, dan terpancar aura kepasrahan.
Api semakin membesar dan membara. Melalap semuanya dan mulai terasa panas di tubuh mereka. Di kejauhan, terdengar suara sirine mobil polisi meraung semakin mendekat. Sudarma yang menggendong anak, dan sang istri yang berdiri di sampingnya mengambil ancang-ancang.
“Sekarang!” ***
.
.
Catatan:
Tembok panyengker: tembok yang mengelilingi rumah
Pipil: catatan yang biasanya terbuat dari daun lontar yang meriwayatkan kepemilikan atas tanah
Mabela pati: bersetia
.
.
Supartika bernama lengkap I Putu Supartika, lahir di Karangasem, Bali, 16 Juni. Bukunya yang telah terbit seperti Jogéd lan Bojog Lua ané Setata Ngantiang Ulungan Bulan ri kala Bintangé Makacakan di Langité (kumcer berbahasa Bali, 2018), dan Babi Babi Babi (novel, 2020). Meraih Hadiah Sastera Rancage tahun 2017 dari Yayasan Kebudayaan Rancage Bandung. Sejak tahun 2016 mengelola majalah sastra Bali modern Suara Saking Bali.
Luky Supriadi, aktif sebagai seniman yang tinggal di Bandung. Lulus dari Seni Grafis FSRD ITB pada tahun 2006. Pernah Pameran tahun 2023 (sedang berlangsung) pameran duet “Preliminaries”, Orbital Dago Bandung, pameran duet 2023 “It’s always 12 o’clock in Wonderland”, Kunasi Coffee Bandung. Pameran bersama 2009 “Unlimited Portraits” di Plaza Indonesia, Jakarta. Pameran bersama 2007 “Artist Preview” di Cemara 6 Galeri, Jakarta. 2007 “SEVEN” Galeri Soemardja, Bandung. 2006 “Merekamereka” Galeri Redpoint, Bandung. 2005 “Human + Space” Galeri Soemardja, Bandung. 2005 “Thursday, Collaboration Edgar Heap of Bird: Native American Artist” di Galeri Soemardja, Bandung.
.
Merebut Tanah. Merebut Tanah. Merebut Tanah. Merebut Tanah. Merebut Tanah.
Leave a Reply