Cerpen Beatrix Polen Aran (Republika, 11 Agustus 2024)
DARI dalam kamar tidurnya, Martina, perempuan tua renta berumur menjelang seratus tahun berteriak histeris setelah mendengar suara derit rem mobil yang berhenti di halaman rumah. Lalu, suara pintu tergesa-gesa dibuka oleh cucunya yang baru saja menamatkan pendidikan sekolah dasar. Tentu saja, ledakan suara Martina menyedot perhatian seisi rumah.
Apa sebab? Itu suara Mar, kan? Mana mungkin itu suara Mar! rentetan pertanyaan sekaligus pernyataan—yang menurut Tinus, cucu kesayangan itu—tidak penting, sebabnya, ia harus lebih cepat menyergah wajah baru yang datang dengan mengendarai mobil. Ya, mobil, kata Martina lima menit yang lalu di dalam kamar setelah memberinya selembar uang yang dicopot dari dompet berwarna abu ketuaan.
“Boleh membuka pintu, memberi salam, layaknya tamu, lalu bilang saja mereka pulang. Titik,” kata Martina ketus berulang-ulang di kupingnya.
Dan, bila sebuah pertanyaan yang membakar amarah semisal, “Mengapa menyuruh mereka pulang?” pastilah arah datangnya dari ibunya. Setidaknya hari itu, ibunya mencari-cari alasan agar dapat berjumpa lagi dengan orang-orang yang datang mengendarai mobil mewah.
Ayah menimpali, “Ya, karenanya itu, yang mesti kita cari tahu!”
Tinus semakin terpojok. Dalam saat seperti itu, ia menemui Martina yang kerap ia sapa eyang Tina, di dalam kamar, sementara ibunya turut masuk dan berpura-pura terisak. Sedikit demi sedikit terbukalah alasan Martina menolak kedatangan orang-orang itu.
Seketika ia mengusap air matanya lalu mendengar dengan seksama setiap kalimat yang memburai dari mulut Martina meski tergagap berbarengan dengan batuk berdahak kuning kecokelatan. Pernyataan kalimat Martina yang terakhir tak kuasa membendung air matanya yang ditahan selama puluhan tahun.
“Apa pun situasinya, tak boleh menjual tanah. Tanah adalah leluhur kita!” Martina sadar ia tidak sehat jika harus menumpahkan air matanya; jantungnya sering berdegup kencang, keringat dingin membasahi tubuhnya mulai dari kepala sampai ujung kakinya, dan ia juga sering sadar, semakin ia menangis semakin nampak kekanak-kanakkan dan itu membuat cucunya tertawa terkekeh-kekeh. Iiihhh, Eyang macam bayi saja.
Eyang Tina berkisah, tanah itu warisan leluhur, eh maksudku… sambil mengingat-ingat. Ya, aku ingat, setelah ibu tak ada, ayah berkompromi dengan investor agar boleh mengambil tanah dengan jaminan uang berlipat ganda. Malam harinya, ayah mengalami mimpi buruk, dikejar makhluk berjubah hitam. Ia terenyak. Dalam hati ia mau berteriak hendak menangis. Langkahnya tersendat seperti direkatkan lem, tangannya melayang, seketika makhluk berjubah hitam itu membanting tubuhnya lalu menghilang dari arah punggungnya. Aneh. Kemana ia pergi?
“Tolong. To…long,” suaranya sambung-menyambung dan ia terkejut lalu menampar-nampar pipinya. Kalau bukan karena teguran leluhur, lalu apa? ia mondar-mandir tak menentu.
***
Terbayang semua kebahagiaan sepuluh tahun mendatang bagi seorang Ibu yang melahirkan anak-anaknya lantas tumbuh dewasa, menjual tanah leluhur untuk membeli sepeda motor lalu memasang iklan ojek online. Atau kenikmatan lainnya, tanah-tanah itu akan dijual kepada orang asing dan uang yang diperoleh dibeli perhiasan agar setiap mata yang memandang bak miliuner—berkunang-kunang. Dan, di atas segalanya, potret keseruan akan tercipta dari terjualnya tanah yakni orang-orang tak dikenal membangun hotel berbintang lalu anak-anak mereka dengan entengnya menjadi pembantu dan digaji walau hanya sekadar jadi tukang sapu atau penjaga malam. Lumayan, kan?
Tinus menyelidiki musabab ibunya membanting senyum tak putus-putus sambil melemparkan pandangan jauh ke depan melewati sekat gorden yang tertancap gelisah oleh similar angin.
“Rupanya ibu sedang bahagia,” tukasnya.
Separuh nafasnya bergema di antara riuhnya orang-orang berbondong-bondong mendatangi balai desa menuntut pemerintah karena telah lancang membebaskan lahan kepada investor. Bapak Mateus, salah seorang dari antara mereka menganjurkan agar merusak beberapa fasilitas umum supaya pemerintah bertanggung jawab. Toh setelah terlaksana, sama saja. Tak seorang pun yang menunjukkan batang hidungnya. Tak seorang pun yang berani angkat bicara. Menghadapi amukan orang-orang yang membawa serta kelewang dan busur.
Mereka lantang berteriak, “Darah harus tumpah hari ini. Tanah ini tanah leluhur, tak seorang pun yang berani menjualnya.” Tampak, daun-daun pisang compang camping dicakar kelewang berserakan.
***
Bibir Eyang Martina bergerak-gerak seakan menggumamkan kata-kata yang tidak jelas. Firasatnya semakin benderang. Anak kandung yang ia lahirkan dari rahimnya sendiri pada waktu sulit, saat itu, sedang keluarga suaminya berancang-ancang untuk menyuruh anak mereka menceraikan istrinya yang belum sah secara adat. Martina tak kehabisan akal. Meski sedang bunting, ia meminta agar membalas jerih lelah melahirkan dengan sebidang tanah, katanya agar suatu hari nanti anak yang dilahirkan boleh menuai hasil dari tanah tersebut. Tak ngemis lagi pada kalian!
“Baiklah,” keluarga suami menyetujui dan menyerahkan sebidang tanah untuknya.
Ibunya tak tahu menahu soal itu. Di pikiran ibunya, hanyalah bagaimana Tuhan cepat memanggil Martina, agar niatan ia menjual tanah terwujud.
Sayang, Tinus tidak bisa cepat berkesempatan untuk berbincang dengan eyang Martina. Seperti biasanya, Eyang lebih sibuk membaca buku doa dan menghafal syair-syair kuno ditambah lagi dengan pendengaran yang semakin tidak stabil lagi.
Dan, pada saat malam hari, ibu dan ayahnya sudah menggeletak kecapean di atas tempat tidur di kamar mereka atau sekadar meletakan kepala lalu merapatkan daun pintu, Tinus cepat-cepat melangkah menuju kamar Eyang Tina.
“Yang, ayah dan ibu menginginkan agar tanah ini dijual,” Tinus mengeja huruf satu demi satu.
“Oooh, tanah. Ibumu itu angkuh dan serakah. Ia tidak berpikir nasibmu dan kakakmu di perantauan,” Eyang Tina membetulkan posisi duduknya di dekat Tinus. Tangan eyang meraih tangah Tinus sambil menyuruh Tinus menaruh kepalanya di atas pahanya. Mengelus-elus rambut cucu dengan segenap perasaan kasih sayang.
“Cucuku. Masih ingat pesan Eyang, kan?” tanah adalah leluhur. Jika nekat menjual, lalu di mana leluhur akan menemukan kediamannya?” keluhnya pahit. Nampak, rintik-rintik air di bola matanya mulai merembes.
Dulu, dulu sekali, orang-orang berbondong-bondong menjual tanahnya kepada investor dengan jaminan akan direkrut untuk bekerja, nyatanya tak seindah kalimat yang menghias bibir.
Setelah hotel berkelas dibangun, mereka mendatangkan orang-orang ahli memasak, ahli menyapu, ahli membersihkan ruangan, ahli mengepel lantai, dan ahli-ahli lainnya. Ahli-ahli itu jebolan universitas ternama. Lalu, anak-anak kita yang gemar drop out?
Seperti yang dikatakan oleh orang bijak, kita akan jadi babu di rumah sendiri, makan dari sisa makanan mereka, minum ampas kopi tanpa isi, lalu telan air ludah mereka. Sedang anak-anak kita menyoraki deretan mobil mewah berkelas, mungkin saja setelah itu mereka ber-selfie ria dengan caption status di dunia maya “mobil impian.”
Oh ya, Eyang lupa satu hal, kelak Eyang mati, kuburkan di tanah ini!
Matahari pagi bergegas menyinari dedaunan. Sesuatu yang mengejutkan bermula. Kepada ibu yang bersimpuh menangisi tubuh eyang Tina yang sudah tidak bernyawa lagi.
Ya, Tuhan, keluh Tinus dalam hati. Kalau Tuhan beri kesempatan sekali lagi, kubiarkan hidupku berbakti kepada Eyang Tina. Tapi, itu sama sekali tidak mungkin terjadi. Hidup sekali, mati pun sekali. Tinus tak ingin jadi lemah, ia berusaha berdiri tegak di samping ibunya.
“Kata Eyang, ia dikuburkan di tanah ini,” bisik Tinus di telinga ibunya.
“Apa? Di tanah ini?” ibunya bangkit berdiri dan memandangnya dengan tatapan amarah.
“Sebentar lagi, kau akan masuk Sekolah Menengah Pertama. Jika tanah ini tak dijual, mau peroleh uang dari mana?” ibu berbicara dengan nada meninggi.
Tinus terdiam seketika. Masih dengan tatapan yang sama, Tinus memandang lekat wajah Eyang Tina yang terbujur kaku dan berkata dalam hatinya, “Eyang, maafkan Tinus.” Kalau Tinus masih saja berkomentar soal maklumat tanah leluhur disusul pesan terakhir eyang, melesat dari benak ibunya—menyinggung perihal tempat pemakaman—ayahnya yang berwajah lonjong itu angkat bicara dengan tiada kalah tangkas.
“Kubur saja di pekuburan umum. Begitu saja kok ribet!”
Peti jenazah diusung keluar dari dalam rumah menuju ke tempat peristirahatan terakhir, bau seketika menyeruak hidung layaknya bangkai binatang berhari-hari lamanya.
Dengan gerak cepat, orang-orang mengebumikan Eyang Martina lalu bergegas pulang satu per satu. Sumpah! Tinus sama sekali tak menghirup apa-apa selain kemenyan dan wangi bunga yang diracik untuk ditabur di atas kubur Eyang. Petugas pembawa doa juga melangkah pergi, ayah dan ibu telah terlebih dahulu meninggalkan upacara penguburan.
Suami istri melihat mobil orang-orang yang pernah datang menawari tanah, melintas seketika.
Mulut orang-orang mulai melebarkan gosip, katanya ibu dan ayah rakus uang. Tinus menggeleng. Meski kecewa, ia pulang ke rumah dan mendapati ayah dan ibu sedang menandatangani surat persetujuan. Pada sebuah koper kulit, tersimpan rapi uang berwarna merah berlembar-lembar. Sekali lagi, Tinus menggeleng-gelengkan kepala. Sebuah isyarat yang tidak sia-sia dan lebih sia-sia bila ia berontak. “Anak kecil dilarang ikut campur urusan orang tua… bla… bla…bla…!” telapak tangan mendarat di pipi.
Tinus menyeret langkah limbung ke kamar almarhum Eyang. Ia tahu apa yang terjadi. Namun, ia tidak ingin mengetahuinya. Ingin tak tahu-apa! Ia anak kecil. ***
.
.
Beatrix Polen Aran, seorang guru di SMP Negeri 3 Tanjung Bunga. Aktif menulis cerpen, puisi dan opini di media cetak maupun media online. Buku kumpulan cerpennya berjudul Nitun Pohon Beringin. Bergiat di Nara Teater dan Komunitas Literasi Ata kiwang.
.
.
fian watu
Keren sekali cerpennya