Cerpen, Dewanto Amin Sadono, Koran Tempo

Membaca Budi

Membaca Budi - Cerpen Dewanto Amin Sadono

Membaca Budi ilustrasi Alvin Siregar/Koran Tempo

4.6
(8)

Cerpen Dewanto Amin Sadono (Koran Tempo, 11 Agustus 2024)

PAGI-PAGI sekali, penjaga malam gedung Perpusda itu ditemukan tewas. Kondisinya mengenaskan. Ribuan buku menimbun jasadnya dari ujung kepala sampai pucuk kaki. Polisi menyebut kematiannya akibat kecelakaan kerja. Namun, seseorang yang sangat paham sejarah laki-laki tua sebatang kara itu serta-merta membantahnya.

“Percaya pada saya! Pak Budi mati bunuh diri!”

Demikianlah, sebelum menjadi lelaki tua dan bekerja sebagai penjaga gedung Perpusda, Budi adalah lelaki muda; tampan dan tinggi. Berat badannya sepadan. Budi dari keluarga kaya dan punya pekerjaan mapan. Hobinya berburu. Ditemani dua sobatnya, anggota Koramil dan warga keturunan pebisnis mobil bekas, suatu hari Budi berburu di hutan di daerah Sumedang. Bertiga mereka menuju puncak Bukit Sikidang; naik Jeep yang sudah dimodifikasi.

Menjelang tengah malam, di bawah penerangan lampu blor yang dipasang di Jeep, sepasang rusa tampak keluar dari hutan pinus. Keduanya melangkah anggun menuju ladang jagung tak jauh dari kaki bukit. Budi yang memegang Remington kaliber 5,7 milimeter. Ia segera membidikkan senjata. Sedetik kemudian ia menarik pelatuk dan rusa itu pun terjungkal. Peluru tepat menembus belakang telinganya. Rusa satunya melarikan diri tanpa menoleh.

Rusa dibawa ke desa; dikuliti, dibedah perutnya, dibuang jeroannya, dan baru ketahuan sedang hamil tua. Janin rusa yang sudah mati itu dibuang. Daging rusa dibagi-bagikan kepada warga sebagai ganti rugi atas ladang jagung mereka yang sering diganggu kawanan rusa.

Malam harinya Budi didatangi seekor rusa yang mengaku sebagai ayah dari janin yang sudah mati tersebut. Si rusa memperkenalkan diri sebagai kekasih rusa yang kemarin dibunuh Budi. Ekspresinya sangat marah. Suaranya bergetar-getar saking emosinya. Dia melontarkan banyak cacian. Pun, kutukan.

“Kamu telah membunuh kecintaanku. Kamu akan mati oleh kecintaanmu pula!”

Budi terjaga dari tidurnya. Keringat membasahi sekujur tubuhnya. Budi tak bisa tidur lagi. Kutukan yang mengerikan tersebut terngiang-ngiang. Banyak yang dicintai Budi. Berarti banyak pula alasan yang bisa membuatnya cepat-cepat mati. Seiring dengan terbit matahari, Budi menemui salah seorang temannya yang terkenal pandai menafsirkan mimpi.

“Hanya mimpi. Bunga tidur. Tak usah terlalu dipikirkan!” kata si teman.

“Tapi mimpi itu tampak begitu nyata. Rusa itu seperti benar-benar di dalam kamarku,” sahut Budi. “Mungkinkah mimpi itu bisa jadi kenyataan?”

“Saya tidak tahu,” jawab si teman, lalu menguap. “Tapi nasihatku, agar tidak jadi gila, lupakan mimpi itu!”

Baca juga  Laila: Tarian Pengorbanan

Budi mencoba menuruti nasihat yang bijak itu. Lalu berangkat kerja seperti biasa. Ada proyek di Cempaka Putih. Tapi Budi hanya mampu bertahan setengah hari. Sepuluh jam sejak ia bermimpi, kutukan tersebut hampir menjadi kenyataan.

Truk kontainer yang meluncur dari arah Bekasi menggilas motor dan pengendaranya. Membuat keduanya gepeng seperti dendeng. Motor itu kesayangan Budi. Sudah dimodifikasi dan cantik sekali. Anak buahnya yang sial itu disuruhnya beli cat dan menemui ajalnya.

Pada saat yang hampir bersamaan, ember berisi adukan semen itu jatuh dari lantai tiga, dan mestinya memecahkan kepala Budi. Untungnya, dua detik sebelumnya Budi bergeser dari titik itu; menolong anak buahnya yang sedang berteriak-teriak akibat terjepit bak kontainer pengangkut semen.

Dua peristiwa maut yang terjadi pada hari yang sama dan melibatkan dua kecintaan Budi; motor dan pekerjaannya sebagai kontraktor, membuat Budi mengerutkan kening. Pertanda apa coba?

Semisal ular, pikiran Budi membelit-belit tak keruan. Seumpama akar, waswas itu menjalar-jalar ke mana-mana, menerobos dinding hati, meretakkan batok kepala. Budi akhirnya mengambil sebuah keputusan yang bakal mengubah jalan hidupnya. Tidak ada keberuntungan yang terus berulang. Walau ada singa yang mati oleh tanduk kerbau, tetap saja lebih banyak kerbau yang mati oleh taring singa.

Budi pulang dari tempat kerja tanpa pamit ke anak buahnya. Ia menuju bank; menguras tabungannya dan menebarkannya di sepanjang jalan yang dilewatinya. Uang memang kecintaan yang mudah membuat seseorang cepat-cepat menemui ajalnya meskipun tanpa didahului kutukan.

Sampai di rumah, Budi membanting gitarnya serta menyobek-nyobek poster grup band yang bertempelan di kamarnya. Budi juga menggunting sepatu merek luar negeri yang dipakainya sehari-hari. Ia juga membakar jaket kulit hadiah ulang tahun dari pacarnya.

Budi lalu menuju rumah bapak-ibunya yang berjarak dua petak; sungkem dan pamitan tanpa menyebutkan mau ke mana; tak lupa minta maaf atas segala kesalahan yang pernah dibuatnya.

“Kenapa, Nak? Apa Ibu dan Bapak kurang mencintaimu?” tanya ibu Budi.

Budi pilih tak menjawab pertanyaan itu. Ia pergi dengan diiringi air mata dan tanda tanya oleh kedua orang tuanya. Budi lalu mendatangi pacar yang sudah dipacarinya selama dua tahun. Budi berpamitan dengan ucapan yang paling puitis dan membuat pacarnya menangis.

Tanpa bekal yang cukup, Budi menggelandang dari satu kota ke lain kota tak ubahnya pengelana dengan kompas rusaknya; tak tahu arah utara; bingung arah selatan. Mula-mula Budi menuju matahari, lalu berbalik memunggungi. Ia berbelok ke kiri, lalu berbelok ke kanan; begitu berulang kali.

Baca juga  Kisah Ganjil tentang Pria Pemadam Kebakaran

Budi telah menyinggahi banyak kota, tapi tak pernah berdiam lebih dari dua hari. Tinggal terlalu lama akan membuatnya jatuh cinta, dan Budi tak menginginkannya. Dipilihnya kota-kota yang membuatnya muak, merangsangnya untuk membakar dan memusnahkan semua bangunan; juga para penghuninya.

Budi bekerja apa saja untuk mengisi perut. Dipilihnya pekerjaan-pekerjaan yang membosankan agar tidak mudah jatuh cinta. Budi tak suka laut. Dilamarnya pekerjaan sebagai penjaga menara suar dan segera dicampakkannya begitu ia mulai mencintai kesendiriannya.

Budi tak suka menunggu. Dipilihnya pekerjaan sebagai penjaga WC dan segera ditinggalkannya begitu mulai mencintai bau pesingnya. Budi suka pekerjaan yang penuh tantangan, dan dipilihnya kerja yang membosankan sebagai tukang sortir surat di sebuah kantor pos. Budi memilah dan memilih surat sesuai dengan kota tujuan dan segera melarikan diri begitu mulai menyukai tumpukan amplop berperangko warna-warni itu.

Budi tak punya barang-barang favorit. Segera dibuangnya sebelum terlalu lama dimilikinya. Pakaiannya tak pernah ia pakai lebih dari lima hari. Sandalnya setiap sepuluh hari ganti. Jembatan, emper toko, gardu ronda, ruko kosong, losmen, dan pelacur tak pernah ia tiduri lebih dari dua kali. Bahkan, perihal perkara yang terakhir itu, Budi menganggap dirinya terlalu berlebihan.

“…. Tolonglah!” Budi memasang wajah memelas.

“Kenapa? Apa alasannya?”

“Tidak semua alasan perlu dijelaskan, bukan?”

“Baik kalau begitu! Tapi tidak gratis, lho!”

“Saya paham!” Membaca Budi.

“Pilih dipotong panjang atau pendek?”

“Terserah! Biayanya sama, bukan?”

Kres! Si dokter bedah memotong titit Budi; tanpa ekspresi; menyisakan lima sentimeter saja. Itu pun saat ereksi.

Setelah puluhan tahun, suatu hari Budi tiba di sebuah bangunan yang kacau, kurus, dan tak terurus. Informasi adanya lowongan kerja tertempel pada kaca yang retak. Gudang ilmu itu tak ubahnya pendongeng yang ditinggalkan pendengarnya.

“Kamu diterima sebagai penjaga malam. Gajinya di bawah UMR. Tapi kamu boleh tidur di sini,” kata Bapak Pimpinan Perpusda.

Tugas Budi menjaga bangunan berukuran tujuh kali sembilan itu pada malam hari. Sungguh pekerjaan impian. Buku dan menunggu adalah kombinasi sempurna untuk membencinya. Apalagi di tempat itu nyamuknya banyak sekali. Suara mereka bising seperti gasing. Lingkungannya kotor, kumuh, dan merana. Suasananya gelap dan menakutkan. Lampu di teras mati; begitu juga lampu di jalan masuk ke perpustakaan. Membaca Budi.

Baca juga  Telunjuk

Namun, seperti yang lalu-lalu, timbulnya rasa cinta karena terbiasa itu terulang lagi. Lama-kelamaan bangunan yang sudah saatnya dirobohkan itu tak menakutkan lagi. Bahkan, catnya yang mengelupas, gentingnya yang bocor, lantai keramiknya yang rompal, perdu dan ilalang yang menghutan di samping gedung, mulai membuat Budi rindu. Malam tak lagi segelap dan sedingin sebelumnya. Gigitan nyamuk tak lagi seganas hari-hari sebelumnya. Bahkan dalam diri Budi mulai timbul empati dan simpati pada hewan rakus yang selalu lapar itu.

Demikianlah, sejak mulai timbul rasa cinta akan bangunan tua yang sudah saatnya diruntuhkan itu, Budi tidak lagi hilir mudik di halaman; menyorotkan senter ke gemerisik di perdu yang ternyata hanya ulah kucing yang sedang mengejar tikus, melainkan ganti memasuki ruang perpustakaan yang jarang pengunjungnya itu. Tingkah Budi seperti manusia gua saat pertama kali keluar dari tempat teramannya, lalu menemukan penampakan yang belum pernah dilihatnya.

Budi berjalan dari ujung bangunan ke ujung lainnya tanpa tahu untuk apa. Sesekali Budi menyelinap di antara rak-rak buku seperti anak kecil yang sedang main petak umpet. Kadang kala buku yang jatuh ke lantai itu diambilnya, lalu dilemparkannya ke mana saja. Lain kali, buku itu dibiarkannya atau justru ditendangnya semisal bola.

“Goool!” Membaca Budi.

Rasa cinta karena biasa itu ternyata terulang lagi. Kebosanan yang berubah jadi kecintaan memang terkadang sangat menjengkelkan. Setelah tahun-tahun berlalu dan melemparkan atau menendang buku membuat Budi merasa cinta dan rindu, sebab dilakukannya sambil membayangkan dirinya sebagai Michael Jordan atau Maradona, Budi lalu menghentikan aktivitas yang mulai dirasakannya mengasyikkan itu dan melakukan kebalikannya.

Mula-mula Budi hanya meletakkan buku-buku yang berjatuhan itu ke rak. Tak lama kemudian Budi ganti merapikan buku yang berantakan. Selanjutnya, Budi tergoda untuk membaca; mula-mula buku yang ada gambarnya. Selanjutnya, Budi terus membaca dan melahap buku apa saja.

Begitulah kisah cinta itu bermula; Budi sangat paham konsekuensinya. ***

.

.

Pekalongan, 18 Mei 2024

Dewanto Amin Sadono adalah guru dan penulis prosa. Tinggal di Kajen, Pekalongan, Jawa Tengah. Cerpen-cerpennya dimuat di sejumlah media massa.

.
Membaca Budi.

Loading

Average rating 4.6 / 5. Vote count: 8

No votes so far! Be the first to rate this post.

2 Comments

  1. Jonatan

    Dewanto tak pernah gagal

Leave a Reply

error: Content is protected !!