Ana Maulina, Cerpen, Koran Tempo

Parade Kematian

Parade Kematian - Cerpen Ana Maulina

Parade Kematian ilustrasi Alvin Siregar/Koran Tempo

4.7
(6)

Cerpen Ana Maulina (Koran Tempo, 04 Agustus 2024)

SATU hari setelah kepergiannya, dunia masih berjalan seperti biasa. Koran di pagi hari masih jadi sarapan terbaik dengan kopi di tangan kiri. Bahkan satu kursi absen di meja makan tidak jadi pengalih atensi sama sekali. Seminggu setelah kematiannya, tayangan televisi berisi gosip dan canda tawa wanita masih terasa semenyebalkan. Biasanya yang kurang hanya seuntai tawa renyah yang selalu terdengar dari sofa. Lagi-lagi kursi di sana masih kosong, pemiliknya absen menempati.

Sebulan setelah kehilangannya, kursi usang dengan bantal rajut warna hijau lumut mulai berdebu, kelamaan tidak diisi. Setahun setelah ketiadaannya, aku mulai melihat wanita itu berkeliaran di mana-mana, di kursi berdebu, di sofa beledu, di setiap sudut kosong yang terasa abu-abu.

Mungkin, mungkin saja dia tidak pernah benar-benar pergi dariku.

***

SEBERAPA lama waktu yang harus dihabiskan sehingga sepasang manusia bisa disebut sebagai belahan jiwa? Pertanyaan-pertanyaan itu sering muncul menjelang dini hari yang suram di hari Jumat yang terasa abu-abu. Aku tidak tahu dari mana pemikiran itu berasal saat melihat seorang wanita di sampingku tertidur dengan nyenyak, nyaris tampak mati. Dan wajah itulah yang selalu menemaniku di awal membuka mata sekaligus di saat dunia sudah lelah dengan kesibukannya. Wajah itu adalah rupa yang masih sama seperti tahun-tahun lalu sejak aku meminangnya sebagai seorang istri. Dan aku masih aku yang sama, yang menanyakan pertanyaan konyol tadi.

Hari-hari selalu dimulai dengan ritme yang sama, nyaris tidak ada yang berbeda dalam kehidupan dua orang tua yang tinggal di bawah atap serupa. Kopi pagi dan koran yang aksaranya sudah mulai sulit kubaca, headline berita yang dicetak tebal dengan berita yang hilir mudik tentang pria berdasi rapi, serta sarapan yang sedikit lebih telat dari biasa pagi ini.

Sebagai orang yang sudah menginjak usia senja, sudah bukan waktunya untuk mencari petualangan. Ritme lambat yang membosankan layaknya rekaman ulang macam ini juga mulai tidak terasa memuakkan. Tapi, istriku yang tidak berisik di dapur adalah pengecualian.

Aku melirik ke arah dapur, sekilas membetulkan kacamata yang memburam karena uap kopi. Tidak ada suara desisan wajan atau aroma harum masakan. Aku termenung sejenak, lantas berkedip dua kali, memilih abai. Istriku itu, pasti sedang pergi ke warung untuk membeli bahan masakan yang kurang.

Ah, Ikah memang sering lupa minta izin.

***

“PAK, jangan melamun di luar, nanti masuk angin.”

Seuntai suara dengan nada sehangat perapian di tengah badai mengalun, membuat kesadaranku terseret begitu saja. Aku menatap uluran tangan ringkih yang sudah keriput itu, meremasnya sesaat, hanya untuk merasakan bahwa kehangatan itu masih menjejak meski hanya sekedip.

Baca juga  Pertemuan di Gunung Tera Osaka

Lalu, sekilas saja, aku baru menyadari bahwa koran dengan foto pejabat yang sedang aku pegang tadi tidak ada. Kopi di tanganku menghilang. Dan aku bahkan tidak sedang duduk di meja makan. Ini bukan pagi hari, dan… dan kenapa aku ada di sini?

Melihat wajahku yang tampak bingung, Ikah, istriku yang penyabar itu, menawarkan seulas senyum yang hangatnya masih terasa seperti saat kami pertama bertemu. Nada suara yang digunakan tetap hangat saat wanita dengan baju kebaya hijau tersebut berkata, “Sudah mau hujan, Pak, mari masuk, saya buatkan kopi, ya?”

Suara gerimis yang pelan-pelan terdengar mulai membuatku menoleh sekilas ke arah lain. Awan kelabu terbentang jelas di atas sana, memberi kesan mencekam. Hawa dinginnya menusuk jemari. Dan istriku mendadak pergi, menghilang seperti debu ditiup badai malam hari.

Ah, Ikah memang kadang menghilang tiba-tiba seperti itu, meninggalkanku begitu saja, seperti biasa, seperti selalu.

***

“BUNGA kaca piring yang kamu suka sudah tidak ada, sejak kapan tanaman itu hilang?” Parade Kematian.

Aku menunggu jawaban sambil menyetel radio di ruang depan. Ikah sedang duduk di sofa tak jauh dari televisi saat kulempar pertanyaan barusan. Wanita dengan mata yang sudah tampak abu-abu itu tidak menyahut cepat-cepat, membuatku mengangkat alis sejenak sebelum memfokuskan diri pada radio yang siarannya terdengar tidak jelas. Setelah tidak mendapatkan apa-apa, aku menyerah. Lantas berbalik badan dan menemukan Ikah yang masih duduk di tempat semula. Tampak tidak beranjak sama sekali meski sedikit.

Wanita itu mengenakan kaos kelabu hari ini. Itu jelas kaos punyaku. Pakaian tersebut tentu lebih besar dari tubuhnya, dan aku yakin istriku tidak pernah meminta izin untuk itu. Dia masih terdiam dengan senyum yang tampak benar-benar cantik, tidak pernah aku lihat satu kali pun dia menaikkan nada suara dan merajuk. Selain tersenyum seperti sekarang. Bahkan di tahun-tahun tersulit yang kami lalui. Tapi, jarang sekali dia tidak menjawab pertanyaanku. Apalagi ini soal bunga putih di halaman yang sangat disukainya itu.

“Ikah..?” Kupanggil dia untuk kali kedua, dan dia tetap membisu. Tapi wanita kelahiran Jawa itu tetap duduk satu meter di dekatku. Masih tidak melunturkan ulasan manis di bibir. Masih menatapku dengan hangat, nyaris tidak terlihat berkedip sama sekali. Ikah tidak mengatakan apa pun lagi malam itu.

Ah, Ikah memang terkadang pendiam. Tapi, selama dia ada di sini, bungkamnya bukan masalah sama sekali. Aku tetap merasa tentram selama dia ada di sini.

***

ADA suara-suara yang tidak aku suka. Mungkin karena aku tidak pernah benar-benar mengerti kenapa mereka mengeluarkannya, dan itu selalu terjadi, seperti saat ini. Anak-anakku yang sudah menjadi orang tua itu menangis seperti bayi. Tundukan kepala dan baju hitam membuat suasana kian suram. Aroma pengharum ruangan jeruk tidak membantu menghilangkan aroma kesedihan yang tidak sedap di tempat ini.

Baca juga  Bubuk Kematian

Tangisan mereka membuatku muak. Istriku jarang menangis. Hanya wajahnya yang selalu tampak murung, mengingatkanku saat kami pertama kali kehilangan seorang putri. Itu sudah puluhan tahun lamanya, dan sekarang anak-anakku yang menangis. Tapi, kenapa mereka meneteskan air mata begitu?

“Pak, yang sabar, ya.” Salah satu anakku mendekat, wanita yang kuingat sebagai anak sulungku itu memelukku, dan berbisik, “Nanti semuanya pasti akan baik-baik saja.”

Apanya yang baik-baik saja? Semuanya di sini sudah baik-baik saja.

“Kami akan urus Bapak mulai sekarang.” Anakku yang lain ikut menimpali, sambil menyeka air mata dan menampakkan ulasan senyum dengan bibir yang setengah bergetar.

Kenapa? Aku bisa mengurus diriku sendiri! Parade Kematian.

“Saya yakin, Ibu pasti sekarang senang di tempat barunya.” Anak lain ikut mendekat, nadanya seperti mencoba menenangkan.

Tempat baru apa? Memangnya istriku pergi ke mana?

Aneh. Semuanya terasa lain, semuanya terasa asing. Sampai aroma melati samar membelai hidung dan aku melihat kulit keriput itu di depan mataku sendiri. Istriku tidur nyenyak sekali dengan baju putih itu. Padahal putih bukan warna kesukaannya.

Ah, Ikah memang tidak pernah cocok dengan warna putih. Entah itu rambut panjangnya yang beruban, kebaya pernikahan, apalagi kain kafan.

***

MUNGKIN benar, semakin tua tubuhmu, semakin sulit pula kau berjalan maju. Entah maksudnya secara harfiah atau bukan, yang jelas aku merasakannya. Aku tidak paham kenapa aku berjalan di antara rombongan anak-anakku, menuju tempat yang tidak aku ketahui. Langkah ini terasa berat dan aku tahu aku tidak serenta itu untuk dipapah dua anak laki-laki tertua di sisi kanan-kiri, tapi mereka tetap melakukannya.

Beberapa kali aku menatap ke jalan di bawah kaki, pada kerikil yang sengaja aku tendang di lindasan sepatu rumahan warna hitam yang usang. Istriku pasti lupa membersihkannya minggu ini, sebab satu-satunya alas kaki yang aku punya itu sekarang tampak lusuh. Beberapa tanah basah menempel di bagian ujung depannya. Jalanan yang becek membuat penampilan sepasang sepatu itu semakin kotor, menyedihkan, seperti sudah tidak dibersihkan dalam waktu lama.

Istriku memang kadang melupakan beberapa hal belakangan ini.

“Pak, ini tepat 100 hari Ibu meninggal, Bapak yang sabar, ya?” Seseorang berbisik, lagi-lagi anakku menyemangati, kali ini yang bungsu, lelaki yang sudah memiliki dua anak itu sekarang tampak gagah dengan baju koko putihnya.

Entah kenapa aku tidak suka warna itu. Parade Kematian.

Baca juga  Glauconian

“Bapak Abbas, ayo sini, kita beri do’a untuk Ibu bersama-sama, ya.”

Taburan bunga di makam yang sudah ditembok dan dipagari bunga-bunga cantik itu terasa sangat asing untukku. Tapi, nama yang ada di nisannya membuatku menahan napas. Seolah ada satu detak yang diam-diam dicuri dari urat nadi, saat membaca nama yang terpatri di atas sana; Ajeng Kuraesih. Itu nama istriku. Itu nama orang yang semalam masih tidur denganku. Pagi ini bahkan aku mengomel padanya tentang baju-baju bau dan selimut yang mulai berdebu. Malam tadi bahkan kami masih bertemu. Sore sebelumnya dia menyeduhkan teh untukku.

Istriku tidak pergi ke mana-mana. Dia ada di rumah, kita lupa mengajaknya. Dia lupa membersihkan alas kakiku, dia bahkan tidak ingat menyetrika baju batik yang sekarang aku pakai karena penampilanku sedikit kusut. Ikah bahkan lupa memberitahuku bahwa aku belum menyisir rambutku. Sebab, jika aku tahu bahwa aku akan berkunjung ke pusaranya, mungkin aku tidak akan datang dalam penampilan seacak-acakan ini. Mungkin aku bisa hadir dalam penampilan yang lebih baik dari ini. Barangkali saja, istriku yang sudah mati itu mau kuajak pulang dan tinggal bersama lagi. Parade Kematian.

Ah, istriku harusnya memberitahuku, bukannya malah diam membisu, bahwa dia telah mati lima tahun lalu.

***

BARANGKALI manusia memang begitu; diciptakan untuk hidup, lalu mengenyam indahnya kematian, hanya untuk merayakannya sebagai parade berisi nyanyian selamat tinggal menjelang hari kesekian. Aku masih melihat wanita itu di mana-mana, bahkan saat napasku surut. Kekosongan setelah ditinggalkan olehnya masih terasa berkabut.

Mungkin, mungkin saja, jika Tuhan berkehendak, aku ingin sekali lagi saja, mendapat kesempatan untuk hadir di sisinya. Untuk menambal tahun-tahun kosong tanpa ada dia di lima tahun cerita hidupku yang akan berhenti segera. Menuju akhir cerita di mana tidak ada dia di dalamnya.

Ah, anak-anakku masih saja menangis. Istriku bahkan ikut menangis di bingkai pintu. Padahal harusnya dia senang aku ikut menyusulnya menjadi hantu. ***

.

.

Ana Maulina atau Ponikanan adalah perempuan asal Ciamis, Jawa Barat, yang sekarang menjadi mahasiswa baru di Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta. Ia suka membaca buku dan membuat ilustrasi gambar untuk diunggah di media sosial sekaligus bekerja sebagai freelancer ilustrator untuk mengisi waktu luang. Motivasi terbesarnya dalam menulis hadir karena sering membaca fanfiction dari fandom, khususnya fanfic Sai dari serial Naruto Shippuden.

.

.

*) Cerpen ini adalah pemenang lomba Sastravaganza Tempo Institute.
.
Parade Kematian.

Loading

Average rating 4.7 / 5. Vote count: 6

No votes so far! Be the first to rate this post.

2 Comments

  1. Anonymous

    Aku mengenal seseorang yang seperti kakek itu.

  2. Fathur

    keren banget yang buat .. buat lagi dong

Leave a Reply

error: Content is protected !!