Cerpen Sahari Nor Wakhid (Kaltim Post, 11 Agustus 2024)
DI tengah bayangan pohon kamboja yang menghitam oleh sinar bulan, dua orang penggali kubur, Tio dan Bagas, duduk di atas tanah lembap yang baru saja mereka gali.
Ini bukan kali pertama mereka harus bekerja saat malam. Mereka selalu siaga kapan saja ada panggilan menggali tanah pemakaman. Mereka juga tetap bekerja di antara anggapan paradoksal. Di satu sisi, pekerjaan ini dianggap sebagai pelayanan kepada orang yang telah meninggal dan keluarganya. Namun, di sisi lain, pekerjaan ini seolah menjadi harapan akan kematian seseorang agar mereka mendapatkan pekerjaan.
Biarkan saja anggapan yang ada. Dua orang penggali kubur ini juga bagian dari eksistensi manusia. Setidaknya hidup mereka masih berguna. Bukankah sebaik-baik manusia adalah bisa bermanfaat bagi orang lain. Begitulah mereka.
Seperti malam-malam sebelumnya, perbincangan mereka selalu diiringi oleh suara jangkrik yang setia memberikan orkestrasi. Namun malam ini, ada sesuatu yang berbeda.
“Malam ini tenang sekali,” ujar Tio sambil menatap kuburan yang baru saja selesai digalinya.
Bagas mengangguk, wajahnya terlihat lebih suram dari biasanya. “Ketenangan yang menghantui, Tio. Ada sesuatu yang ingin kubahas.”
Tio menoleh, matanya memicing seakan berusaha menembus kegelapan. “Apa itu, Gas?”
“Kau pernah berpikir, dari mana segala yang ada ini bermula?” tanya Bagas, suaranya terdengar serak dan penuh beban.
Tio tertawa kecil. “Pertanyaan berat untuk malam yang sunyi. Tapi baiklah, mari kita renungkan. Kau tahu, banyak orang berkata semuanya bermula dari tiada, dari ketiadaan yang tak terbayangkan.”
Bagas tersenyum pahit. “Dan kita, para penggali kubur, selalu berhadapan dengan akhir dari segala yang ada. Ironis, bukan?”
“Kehidupan dan kematian, dua sisi dari koin yang sama,” Tio merenung. “Namun, kerap kali kita lupa bahwa setiap akhir juga merupakan awal dari sesuatu yang baru.”
“Apakah itu hanya cara kita menenangkan diri?” tanya Bagas, nadanya skeptis. “Menghibur diri dengan pemikiran bahwa kematian bukanlah akhir, melainkan permulaan.”
“Siapa yang tahu pasti?” jawab Tio sambil mengangkat bahu. “Namun, aku lebih suka berpikir demikian. Lagipula, bukankah kita melihat kehidupan terus berlangsung, meski kematian datang menghampiri?”
Bagas menghela napas panjang, matanya memandang langit malam. “Mungkin. Tapi kadang aku merasa, apa yang kita lakukan ini seperti sebuah siklus tanpa akhir. Menguburkan yang mati, sementara yang hidup terus berjalan tanpa henti, sampai akhirnya mereka juga datang ke sini.”
“Apakah itu tidak cukup?” Tio bertanya balik. “Apa yang lebih kita harapkan selain menjalani siklus itu dengan sebaik-baiknya?”
“Mungkin kita menginginkan makna yang lebih,” jawab Bagas pelan. “Tapi apa makna itu? Setiap hari kita melihat duka, kehilangan, namun juga cinta dan harapan. Semua bercampur menjadi satu. Bagaimana kita bisa menemukan makna di antara semua itu?” Percakapan di Pemakaman.
Tio terdiam sejenak, merenungkan pertanyaan itu. “Mungkin makna bukanlah sesuatu yang harus kita cari, melainkan sesuatu yang kita ciptakan. Dalam setiap kuburan yang kita gali, dalam setiap air mata yang kita saksikan, ada secercah makna yang bisa kita temukan.”
Bagas tertawa kecil, getir. “Kau selalu punya cara melihat sisi terang, Tio. Namun, aku tetap bertanya-tanya, apa sebenarnya yang kita kejar?”
“Sebuah kehidupan yang berarti,” jawab Tio yakin. “Kita tidak hanya menggali kuburan, kita juga menggali makna di dalamnya.”
Malam semakin larut, namun perbincangan mereka terus mengalir. Bagas tampak sedikit lebih tenang, meski hatinya masih dipenuhi pertanyaan. Mereka berbicara tentang hal-hal sepele, masalah sehari-hari, dan bagaimana mereka bertahan dalam pekerjaan yang penuh dengan kesunyian dan kematian.
“Bagaimana dengan keluargamu, Tio? Apakah mereka mengerti pekerjaan kita?” tanya Bagas tiba-tiba.
Tio tersenyum. “Awalnya sulit. Istriku menangis, anak-anak menjauh. Tapi seiring waktu, mereka mulai mengerti. Aku bekerja untuk mereka, untuk memberikan kehidupan yang lebih baik.”
“Aku iri padamu,” kata Bagas dengan nada jujur. “Kau punya sesuatu untuk diperjuangkan.”
“Memangnya kau tidak?” Tio menatapnya tajam.
Bagas menggeleng. “Aku sendiri. Sejak kecil, aku selalu sendirian. Orangtuaku pergi lebih dulu, meninggalkanku dengan dunia yang tidak pernah benar-benar kumengerti.”
“Kesendirian bisa menjadi sahabat jika kau bisa berdamai dengannya,” ujar Tio bijak.
Bagas terdiam, merenung. “Mungkin kau benar. Tapi, kadang aku merasa hidup ini terlalu sepi.”
“Kita semua memiliki kesepian kita masing-masing,” kata Tio lembut. “Namun, kita juga memiliki kekuatan untuk mengubahnya. Kesepian bukanlah akhir, melainkan awal dari sebuah perjalanan menuju kebersamaan.”
Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar mendekat. Mereka berdua menoleh, melihat seorang pria tua berdiri di dekat gerbang pemakaman. Wajahnya tampak lelah, namun ada kehangatan dalam matanya.
“Aku mendengar percakapan kalian,” kata pria tua itu. “Jika diperbolehkan, aku juga ingin memberikan pandanganku.”
Tio dan Bagas saling berpandangan, bingung namun juga penasaran. “Silakan, Pak,” ujar Tio akhirnya. Percakapan di Pemakaman.
Pria tua itu tersenyum. “Aku telah hidup lebih lama dari kalian. Aku telah melihat banyak hal. Satu hal yang kupelajari adalah bahwa segala yang ada memang bermula dari tiada, dan segala yang ada akan kembali kepada tiada. Namun, di antara dua titik itu, kita memiliki kesempatan untuk menciptakan makna.”
“Menciptakan makna?” Bagas mengulangi, seperti mencicipi kata-kata itu.
“Ya,” lanjut pria tua itu. “Makna bukanlah sesuatu yang kita temukan, melainkan sesuatu yang kita buat. Dalam setiap tindakan, setiap pilihan, kita menenun benang kehidupan kita sendiri. Ketika kita akhirnya kembali kepada tiada, benang-benang itu akan tetap ada, menghubungkan kita dengan yang lain.”
Tio mengangguk perlahan, mencerna kata-kata itu. “Jadi, meski kita kembali kepada tiada, kita tidak benar-benar menghilang?”
“Tepat,” jawab pria tua itu. “Kita meninggalkan jejak, baik dalam kenangan orang-orang yang kita cintai maupun dalam dunia yang kita tinggalkan. Itulah makna sejati dari hidup.” Percakapan di Pemakaman.
Bagas tersenyum, pertama kalinya malam itu. “Terima kasih, Pak. Kata-kata Anda telah membangkitkan harapan saya.”
Pria tua itu mengangguk, lalu perlahan berjalan menjauh, meninggalkan Tio dan Bagas dalam keheningan yang penuh makna.
Saat langkah pria tua itu menghilang di balik kegelapan, Tio dan Bagas saling menatap dengan pengertian baru. Di antara kuburan yang mereka gali, mereka menemukan bahwa hidup dan mati adalah bagian dari siklus yang indah, di mana setiap akhir adalah awal dari sesuatu yang baru, dan setiap tiada adalah kesempatan untuk menciptakan makna yang abadi.
“Bagas,” ujar Tio perlahan, “mari kita lanjutkan pekerjaan kita. Namun kali ini, dengan hati yang lebih ringan.”
Bagas mengangguk. Mereka bersama-sama melanjutkan pekerjaan. Menggali lebih dalam. Tidak hanya tanah, tetapi juga makna di dalamnya. Dalam keheningan malam, mereka menyadari bahwa di antara yang ada dan tiada, ada ruang untuk menciptakan sesuatu yang lebih besar dari diri mereka sendiri. ***
.
.
Sahari Nor Wakhid. Guru SMP 5 Sangatta Utara, Kutai Timur. Mulai menekuni dunia kepenulisan sejak tahun 2020. Telah menerbitkan 6 buku tunggal dan 27 antologi bersama. Buku paling mutakhirnya adalah Aku Sibuk dengan Kekafiranku (kumpulan cerpen, 2024). Bisa dikontak melalui IG @saharienwe
.
Percakapan di Pemakaman.
Leave a Reply