Cerpen Fajar Djafri (Kaltim Post, 04 Agustus 2024)
KADANG sulit memahami mengapa kita melakukan hubungan jarak jauh. Tetapi ketika membaca pesanmu, seolah aku berada dekat dan merasakan kelucuan yang engkau hadirkan. Kamu menambahkan banyak kegembiraan dan menebarkan hal positif. By JS
“Lucu?! Aku bukan badut,” responsku menerima pesan singkat mengawali pagi. Baru kubuka ponsel yang semalam kehilangan daya mengejar batas akhir penyetoran liputan kepada Pak Hilman, pemimpin redaksi.
Beliau memburu dengan panggilan telepon singkat berkali-kali. Seperti minum obat. Dan paling sering saat mendekati jam sepuluh malam. Panggilan tak kujawab, sehingga membuatnya murka. Karena ponsel lagi kugunakan menulis liputan. Terlebih dahulu kukirimkan liputan yang seadanya, dengan editan yang minim, sebelum kujawab dengan permohonan maaf.
“Rinno, jarang tulisanmu sebagus ini?” suara bariton Pak Hilman menggelitik kuping.
“Iya kah, Pak? Aku tersanjung, padahal banyak typo.”
“Begitulah, pekerjaan kejar tayang, kayak sinetron,” dengus lelaki berjanggut putih itu bernada ketus.
Kuakui itu adalah keteledoranku. Seharusnya, tiga hari silam telah sampai di ponselnya. Melainkan baru semalam kutuntaskan. Alhamdulillah, detik-detik terakhir masih sempat kukirimkan dan berakhir mengurangi kobaran murka lelaki berumur itu.
“Begitu! Lebih professional,” pujinya lagi. Aroma positif mengalir dari nada bicaranya. Aku berfirasat aneh. “Kutugaskan yang menantang lagi di lain kesempatan.”
Aku mengelus dada.
***
Kutinggalkan Pak Hilman dengan pujian. Lalu beralih pada pesan singkat. Justin Smith adalah pengirim kabar. Lelaki kebangsaan Amerika yang pernah kutemui di Taman Budaya kawasan Garuda Wisnu Kencana (GWK) di Kabupaten Badung, sebelah selatan Denpasar-Bali. Dia pula yang membayarkan tiket masuknya. “Terima kasih, Mr Justin Smith!” demikian ia menyebutkan identitas.
Smith, begitu ia lebih senang dipanggil, memintaku mengabadikan dirinya sambil berpose di depan patung GWK. Aku pun meluluskan permintaan dengan beberapa jepretan. Hingga menyempatkan berswafoto. Lalu, Kamis sore, kembali berjumpa di Autrium Pantai Kuta. Tatkala mentari berangsur ke barat. Kembali, ia membelikan tiket dan makanan serta minuman ringan sembari menunggu pertunjukan Sendratari Rama-Shinta yang digelar senja hari.
“Aku punya proyek perumahan di Pelabuhan New York, tepat di Muara Sungai Hudson, pulau kecil di mana Patung Liberty berada. Kamu tertarik berinvestasi?” tanya Smith membuka pembicaraan.
“Aku?!” kuarahkan telunjuk ke wajahku. Kabar dari Pulau Liberty.
“Iya, kamu,” ia tersenyum melihat ekspesiku.
Ia mendekatkan layar ponsel dan mengangsur beberapa gambar properti. Kuhargai niatnya, lalu mengarahkan bola mata ke tangannya.
“Stategis dan pemandangan indah,” pujiku.
Sungguh, meskipun memaksa, aku tidak percaya pada orang baru kukenal. Banyak kisah berseliwuran perihal negatif berkedok investasi bodong, baik di negara tercinta ini, apakah lagi di luar negeri.
“Aku hanya penulis lepas di sebuah media dengan gaji kecil. Jangankan investasi rumah, aku masih menumpang dengan orang tua.”
“Tetaplah bekerja di Indonesia. Biar pundi-pundi dollar mengalir masuk rekeningmu. Percaya padaku!” ucapnya serius.
Aku mengurut dada. “Berapalah jerih letih tangan jurnalistik amatir?”
Aku memainkan ponsel guna mengambil sudut foto-foto terbaik untuk liputan yang dinantikan Pak Hilman. Ia mengamati tingkah lucuku.
“Berapa?!” desaknya penasaran. Aku menelan liur. Haruskah kusebut nominal? Sejuta, lima juta rupiah? Itupun tambahan bonus di akhir tahun? Ataukah komisi halal dari pemberi acara atau instansi yang telah bekerja sama?
“Alhamdulilah, cukup untuk kebutuhan sebulan,” kataku mengambang.
Smith mengandaikan. “Anggaplah lima ribu dollar.” Aku terkejut. Lelaki Amerika memainkan ponsel. Ia sibuk dengan hitungan, lalu jumlahnya dikonversi kebilangan rupiah. Maka, tertera nominal terjun bebas ke rekening dalam setahun.
“Fantastik! Luar biasa?!” seruku berdecak kagum. Rupiah yang jauh dari nalarku.
“Bukan saja nominal. Saya mengundangmu datang ke lokasi ini bersama para investor lainnya. Aku janji.”
Senyum semringah sembari menjabat tanganku.
New York City. Kawasan metropolitan dengan kegagahan Patung Liberty? Aku tidak pernah berkhayal. Walaupun jika terpaksa karena tugas, tetapi bagai pungguk merindukan bulan. Kutepuk wajah, memastikan tidak sedang bermimpi.
“Bukan kemustahilan. Apalagi jurnalis sepertimu,” pujinya.
Heran, bule ini mampu menebak alam bawah sadarku. Semoga!
“Aku banyak teman jurnalis tiba-tiba ditugaskan ke negara yang tidak terpikirkan. Daerah konflik, perang, pertemuan kenegaraan hingga pesta olahraga. Peliputan dan laporan sekaligus jalan-jalan. Itu kelebihan yang dimiliki jurnalis,” tegasnya sembari merepuk pundakku. Aku serasa tersanjung dan bangga.
“Risiko pekerjaan terlalu berat.”
Smith menantang. “Kata siapa? Belum pernah menjalani kan?”
Aku menangguk membenarkan ucapan Smith.
“Jurnalis itu asyik. Mereka pahlawan media dan mulia. Selain pewarta, juga perpanjangan tangan dewa/dewi kemanusiaan di daerah konflik ekstrem. Membantu para pengungsi dan korban, sebagai penyelaman sekaligus relawan kesehatan. Tentunya menyuarakan perdamaian. Tidak sedikit penghargaan Nobel diberikan kepada jurnalis.”
Aku mulai respek dengan pengusaha ini.
“Begitu juga pengusaha, mereka perlu investor, pun memerlukan jurnalis mempromosikan aneka kegiatan supaya terkenal luas. Media sepertimu yang kuinginkan.”
Kembali aku tersanjung.
“Berapa rupiah untuk bergabung?” pancingku sekadarnya. Kuputuskan bertanya untuk menghibur dan menyenangkan dirinya.
“Tiada batasan, sesuai kemampuan. Sepuluh kali gaji peliputanmu, bagaimana?” bisiknya pelan.
“Gila!! Mau makan apa aku dan orangtuaku?”sungutku meradang. “Aku dibuat gelandangan di negeriku sendiri. Liputan ini pakai dana pribadi. Pak Hilman buat surat tugas saja.” Kabar dari Pulau Liberty.
Smith malah tersenyum melihat responsku.
Kembali wajah pemred yang berjanggut putih itu terbayang. Liputan di Pulau Dewata harus dituntaskan. Meskipun spesialisasi kejar tayang. Aku bangkit, setelah pagelaran sendratari usai dan surya sudah tenggelam.
“Oke, Mr Smith, terima kasih atas tawarannya. Akan kupikirkan? Tetapi, aku tidak janji sekarang. Diriku perlu perenungan dan pertimbangan. Karena kesukaanku ialah menulis, bukan berbisnis sepertimu,” kunciku buru-buru balik ke hotel.
***
Liputan menjelajahi destinasi wisata di Denpasar, Bali, telah tayang. Pak Hilman gembira, sebab rubrik travelling pekan ini kembali hadir, pelengkap rubrik ragam pariwisata yang sempat vakum. Diriku bahagia. Amanah kantor telah kujalani, meski susah payah, karena harus berbeda. Dengan referensi unik yang belum banyak diketahui.
Napasku lapang. Uang lelah terbayarkan. Tetapi, mengapa tiket masuk ke taman budaya ke Garuda Wisnu Kencana dan pementasan sendra tari di Pantai Kuta ikut serta? Lima ratus ribu rupiah.
Hallo Rinno, semoga rezekimu lancar. Spesial penawaran untukmu; satu kali peliputan saja sewaktu di Bali, gabunglah? Kucantumkan surel dan nomor rekeningku. Info setelah pembayaran. Tunggu hadiah dariku. By JS
Lima lembaran merah itu bukan miliku. Jujur, aku butuh. Tetapi aku harus ikhlas, seperti keikhlasan Smith tempo hari. Kupaksa jemari dan hati menerbangkan lima lembar merah pada pemiliknya di Pulau Liberty seberang samudera.
Lima belas menit kemudian.
Thank you, Mr. Rain November for investing twenty-five dollars. I invite you to Liberty Island, New York, January 20, 2025. I’m waiting at JFK Airport. See You. Justin Smith. ***
.
.
Fajar Djafri. Aparatur Sipil Negara pada Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kota Balikpapan.
.
Kabar dari Pulau Liberty.
Leave a Reply