Cerpen Happy Salma (Kompas, 18 Agustus 2024)
SEORANG perempuan bernama Bunga. Dia memang suka sekali bunga, dan kawan-kawannya sering menertawakan kesukaannya itu. Aneh, kata mereka. Bunga suka bunga. Seperti jeruk makan jeruk. Tapi sebenarnya bagi Bunga, merekalah yang aneh.
Kawan-kawannya itu para budak cinta. Baginya, tak ada yang lebih menyebalkan selain para pengemis cinta seperti kawan-kawannya itu. Mereka sering berlomba mencari cinta sejati di segala platform. Para pengemis cinta itu berlomba memperindah diri dengan mengedit foto atau berlomba membeli bibit cinta di toko murahan.
Bunga tak pernah tertarik. Baginya itu hanya buang-buang waktu. Dia sendiri hanya terpikat pada kelopak-kelopak merekah yang di dalamnya berisi serbuk-serbuk berdesakan yang diselimuti daun gelisah. Tentu itu lebih menjanjikan daripada berburu dan mengemis cinta. Bunga selalu tepat waktu mengganti rangkaian bunga letih layu dengan kelopak baru yang membuka berani. Bahkan setiap hari Senin, Bunga memasukkan rangkaian semerbak itu ke dalam vas kristal peninggalan ibunya. Dan ibunyalah yang sedari kecil mengenalkan indahnya bunga. Bunga meneruskan apa yang ibunya sering lakukan, terlebih saat dia telah tiada. Seolah dia bertemu dengannya di ruang rindu. Bunga merasa tenteram.
Akhir-akhir ini semua tiba-tiba berubah. Aneka rupa bunga tak cukup lagi membuat hatinya ringan. Semua menjadi membosankan. Bukan berarti dia melupakan kebiasaan ibunya. Tidak! Bunga tetap melakukan dengan disiplin. Dan tetap jumpa dengannya di ruang rindu.
Namun segalanya serba mendadak, tanpa ada tanda, tak ada awalannya. Seolah saat Bunga bangun dari tidur tiba-tiba dia merasakan harinya, hidupnya menjadi hampa dan sepi. Dia pun menjadi kepompong kosong. Menjadi manusia yang membutuhkan cinta dalam bentuk lain. Cinta yang bisa memeluk hatinya yang seketika rapuh. Bunga yang tangguh itu jadi mau diinginkan dan didambakan, seperti apa bentuknya? Diapun tak paham. Dulu ke mana ingin itu? Terlintas pun tidak. Dan semua hal itu dia sembunyikan dari kawan-kawannya. Bunga malu.
Keinginan tersebut membuat hatinya jadi sesak sampai-sampai urusannya terhambat. Bunga nelangsa. Semakin hari dia semakin mau cinta. Dia pun mengemis pada bunga dan lagu-lagu romantis. Tapi tak ada satupun dari mereka yang mampu memberikannya. Bunga pun jadi sering melamun. Dan yang lebih parah, entah mengapa tanpa diminta, matanya sering tiba-tiba basah. Bunga tersiksa. Dia mau cinta! Segera!
Bunga tak menyukai segala yang tak pasti. Segala cara akan Bunga usahakan untuk bisa membebaskan diri dari ketidakpastian. Maka, kali ini pun Bunga melakukan gebrakan. Dia mencari akal agar ia bisa cepat memperoleh cinta. Membeli pun tak mengapa, Bunga tidak keberatan. Bahkan mungkin itu lebih baik, agar tidak merepotkan. Ia mendengar kabar, katanya cinta sejati di tahun ini bisa dibeli tanpa persyaratan rumit. Informasi itu dia curi dengar dari kawannya yang paling aktif mencari cinta. Memang, ada beberapa informasi yang sering berdesakan masuk ke linimasa media sosialnya. Isinya tentang segala paket cinta dengan tawaran pembayaran yang ringan beserta info promo cicilan bulanan sampai tahunan. Bunga cicilan itu pun kabarnya sangat rendah, mendekati tak masuk akal, bayangkan hanya di bawah 0,3 persen!
Toko pertama bernama Cinta Tanda Semesta. Konon cinta itu hanya bisa dibeli dengan harga sangat mahal dan sama sekali tidak bisa refund. Cicilan? Tentu saja tak bisa. Baik itu harian, bulanan bahkan tahunan. “Tak mungkin!” katanya yang diperkuat oleh kesaksian pembeli. Setelah membayar cash, kita bisa mendapatkan tanda-tanda dari alam raya seketika. Siapapun yang beruntung akan terbebas dari derita perasaan. Cinta yang sangat penuh akan dititipkan lewat isyarat alam raya. Baik lewat desau angin, gelapnya malam, terangnya siang, bahkan dedaunan yang bergesekan lembut. Jangan ditanya soal matahari dan bintang, sudah pasti mereka berkomplot semarak memberi tanda. Lewat kedipan atau cahaya yang tak biasa.
Bunga berjanji akan tertib mengikuti prosedur, sebab apapun hasilnya nanti tentu akan lebih cocok untuk dirinya yang seorang penganut naturalis. Segalanya jauh lebih meyakinkan! Apalagi bila dibandingkan dengan Toko Air Mata Cinta sebagai toko alternatif pilihannya yang kedua. Konon, dua toko itu bersaing ketat. Memang yang kedua itu promonya lebih bombastis namun baginya malah ada kesan kurang berkelas. Terlalu banyak promosi seperti tak percaya diri.
Promo yang dibuat bentuknya naratif. Oh iya, malahan bila beruntung, terkadang sketsa manusia yang memproduksi air mata itu akan ditampilkan. Tidak selalu memang, karena ada juga yang tidak mau terbuka dalam hal mengambil keuntungan secara materi dari tetesan air matanya. Dalam promosi itu pun dikatakan bahwa sekantong air mata merupakan hasil dari perasan perasaan terdalam yang bahkan tak ada kata-kata atau syair pujangga sekalipun yang mampu menggambarkannya.
Tapi keputusan memilih Toko Cinta Tanda Semesta sudah bulat. Memang Bunga harus siap mengeluarkan banyak uang guna mendapatkan cinta tersebut. Terserah apa kata orang. Kini terserah kawan-kawannya mau bilang apa. Mungkin Bunga akan disebut sebagai perempuan munafik. Ya. Itu memang kurang enak terdengar, tapi biarlah mereka menertawakan itu semua. Toh Bunga sudah tak sanggup lagi mengisi malam yang mencengkeram duka.
Hari yang direncanakan pun tiba. Bunga mantap lahir batin. Dia menyambut dunia baru ini dengan optimis. Semesta yang akan membuat hatinya nyaman dalam pelukan hangat. Terbayang kelak pipi pucatnya akan segera merona jingga. Kolagen paling alami itu pun kelak akan jadi miliknya, membuat dirinya yang cantik semakin cantik, muda tahan lama. Bunga akan memperoleh cinta yang memberinya tidur nyenyak. Cinta yang membuatnya bergairah menghadapi mimpi dan tujuan.
Jalanan lengang seolah memberikan kemudahan untuknya. Berbalut pakaian terbaiknya, tak sampai 30 menit, sampailah Bunga di Toko Cinta Tanda Semesta. Toko tersebut nampak senyap, mungkin itu karena Bunga datang terlampau cepat. Hanya ada satu pelayan di sana, pelayan yang ramah dan menyambutnya sopan. Dia wangi sabun mandi.
Ah segalanya di toko itu begitu teduh dan melenakannya. Ada rangkaian bebungaan di meja tamu dengan hiasan lumut yang terhampar seperti karpet empuk yang dikelilingi rangkaian melati. Ada juga beberapa batang bunga tulip bercampur bunga lain yang tak dikenalinya. Yang menarik adalah ranting harum melingkari meja marmer tersebut. Tanpa membuang waktu, segeralah Bunga menyampaikan tujuan kedatangan, sambil bersiap mengeluarkan uang supaya dia mendapatkan paket cinta sejati yang paling mahal dan langka.
Tetapi, belum juga tuntas maksud yang dituju, sang pelayan memotong ucapannya sopan. Setelah itu dia menerangkan sebuah hal yang membuat Bunga terpaku, dadanya berdegup tak menentu.
“Maaf sekali, memang sudah dua bulan stok kami habis. Permintaan dalam tahun ini begitu membludak. Nah, mungkin Nona bisa menuliskan nomor antrian untuk waiting list. Tapi memang agak panjang daftar kami. Dalam seminggu ini saja, ada dua lelaki dan perempuan muda bahkan yang tua sekali telah rela membayar dua-tiga kali lipat agar didahulukan bila stok cinta dari semesta kembali datang.”
Bunga akhirnya pamit. Gontai dia berjalan keluar dari Toko Cinta Tanda Semesta dengan membendung air mata. Bunga hampir frustrasi. Akhirnya dia berjalan tertatih hingga kelelahan. Dan di saat sekitarnya nampak berwarna abu-abu, angin yang gusar meniup wajahnya. Dingin. Saat bersamaan, seketika kedua matanya tertuju pada sebuah tempat sampah yang nampak tak lazim. Tempat sampah itu dikelilingi bunga sedap malam. Lengkap dengan kelopak yang penuh dan gemuk. Ada garis-garis grafiti halus berwarna mega menjadi corak tempat sampah itu. Tempat sampah tak lazim itu memiliki magnet yang menarik Bunga untuk lekas membuka penutupnya yang ringan terbuat dari plastik.
Tempat sampah ini memang tidak kotor bila dibandingkan dengan tempat sampah pada umumnya, namun tetap saja itu tempat sampah, yang dia lakukan sangatlah tidak masuk akal. Tapi, apakah dalam hidup ini segalanya selalu masuk akal? Begitu pikirnya. Hatinya sedikit mempertanyakan. Jangan-jangan ini ada pengaruhnya dari Toko Cinta Tanda Semesta yang beberapa jam lalu didatanginya.
Ah, mungkin saja serpihan aura toko itu menempel. Entah! Tanpa pikir panjang. Tempat sampah itu pun dibukanya. Mata beningnya menyapu isi tempat sampah dengan seksama. Di dalamnya ternyata banyak kelopak bunga layu dan kering. Ada beberapa helai kertas tenggelam di antaranya. Satu kertas pertama lekas diambilnya. Dia adalah kertas kusut seperti yang bekas diremas lalu dibuang. Bunga membukanya, membacanya, tapi itu hanya sebuah surat yang urung dilanjutkan oleh si pembuatnya.
Lalu ini surat terakhir dalam genggamannya. Tadi Bunga meraihnya di tumpukan terdalam. Di antara batang duri mawar yang mengering. Dia merupakan surat yang digulung rapi dan diikat pita berwarna hijau tua. Entah mengapa belum juga dibuka. Jantungnya berdegup gugup. Bunga sempat diam beberapa detik karena bingung. Mengapa begitu? Seolah surat itu ditujukan untuknya. Milik siapa? Bunga tak tahu. Kertas itu adalah surat terakhir dan tampak paling baik tampilannya. Bunga pun membacanya pelan-pelan penasaran.
Surat itu ternyata berisi puisi dari seorang lelaki yang sangat merindukan kekasihnya. Dari tulisannya tersirat bahwa mereka sedang berjauhan. Sang lelaki sedang rindu. Saking rindunya dia berwujud amarah, membuat dirinya menjadi sapi kerontang, buruk rupa. Dan hanya kekasih yang didambanyalah yang mampu menjadikannya gembala, menggiringnya menuju sungai berlimpah. Sampai jiwanya hidup, tidak tersesat. Mata Bunga tetiba buram. Puisi itu jujur menyentuh hatinya yang sedang rapuh.
Angin siang itu kembali dingin sekejap, menerpa wajah. Bunga teringat pada nasibnya. Seumur hidup tak pernah dia merasakan kata-kata jujur yang memuja padanya. Apalagi rindu yang menggiring jiwa seseorang tersesat. Begitu didambakan, begitu diinginkan. Betapa beruntungnya sang kekasih tersebut. Bunga menunduk sepi. Dalam lamunan yang setitik. Bunga tak mau menangis. Bunga mau tersenyum….
Lalu surat puisi sang kekasih yang rindu itu pun tak sengaja dia curi. Kertasnya dia lipat hingga bentuknya mengecil lalu dia masukkan ke dalam dompetnya. Kemudian kertas berisi puisi yang bukan miliknya itu kini berdesakan dengan aneka foto dirinya yang tersenyum manis, yang sangat manis, yang berencana untuk bahagia tanpa harus membeli cinta. ***
.
.
Happy Salma, aktris, model, dan pendiri Titimangsa. Beberapa tulisannya termuat dalam buku antologi puisi dan cerpen. Kini menetap di Bali, walau setiap saat siap terbang ke Jakarta untuk mengurus banyak pekerjaan.
Hanafi Muhammad, belajar seni rupa secara formal di SSRI Yogyakarta dari 1976 hingga 1979. Ia adalah penerima anugerah Top 10 Phillip Morris pada 1997. Sejak 1992, ia telah mengadakan pameran tunggal ataupun kelompok di dalam dan luar negeri. Sejumlah pameran tunggalnya diadakan di acara-acara seni rupa terkemuka di Indonesia, seperti Jakarta Biennale dan Art Jog. Pameran internasionalnya dilakukan di Houston dan New York, Amerika Serikat, Spanyol, Hong Kong, dan Singapura. Kini, Hanafi berkarya dan tinggal di Depok, Jawa Barat.
.
.
Hmmmm
Saya yakin banyak penulis cerpen di luar sana dengan kualitas lebih baik ditolak berkali-kali karyanya demi cerpen semacam ini.
Maryono Sucipto
Tidak Jelek. Tidak pula bagus. Namun, akan lebih baik tidak usah terbit.
Oom Gemoy
haha. cocok.
kompas sama jawa pos pemuatannya liat dulu nama penulisnya pak. yg begini katanya barometer perkembangan sastra indonesia? kasian penulis lain ceritanya lebih bagus dari ini malah tak pernah di muat.
baru baca setengah saya merasa mual dan mulai ngantuk. cerpen ini hanya cocok di genre teenlit dinding aplikasi cerita online. bukan kompas.
Ricardo
Cerpen apakah ini?