Cerpen Darmawati Majid (Jawa Pos, 10 Agustus 2024)
NARTI termenung di depan layar ponselnya. Angka yang tertera di akun pinjaman online-nya sudah menyentuh 30 juta. Seketika, perutnya dililit rasa tegang. Dengan cara apa kini mereka akan membayar angka-angka itu?
Narti tahu kemampuan kantongnya menutupi utang sebagaimana ia tahu bagaimana menakar level rica yang sanggup ia cecap sebelum lidahnya terbakar dan perutnya mulas karena kepedasan. Kini, bukan rica yang membuatnya mulas, tapi angka-angka itu.
Suaminya lelaki baik berhati selembut es krim, tapi hati itu sering menjadi batu sungai sejak delapan bulan lalu. Abas diberhentikan dari pabrik gula untuk efisiensi tenaga kerja. Laki-laki itu memang segera dapat pekerjaan baru, sopir truk trayek Gorontalo-Manado, tapi ia mulai punya kebiasaan baru: minum miras cap tikus, dan menjadi seseorang yang tak lagi ia kenali.
Narti bukannya tidak melakukan apa-apa untuk membantu dapur mereka tetap beroperasi. Sejak ia memutuskan berhenti jadi guru honorer tak lama setelah menikah, perempuan itu berjualan nasi kuning. Abas lebih suka istrinya di rumah saja. Yamaha Vega keluaran tahun 2001 yang Narti miliki sejak kuliah menjelma warung sederhana di halaman rumah mereka. Warung itu melayani kebutuhan sarapan pagi dan makan malam keluarga-keluarga sibuk. Untungnya tidak banyak, tetapi cukup untuk bertahan hidup.
Narti kembali memandang angka-angka itu. Rasa tegang di perutnya bertambah-tambah. Ia baru saja pulang dari lapak kelontong Oma Ija. Uang seratus ribu rupiah yang ia bawa hanya cukup membeli lima liter beras dan enam butir telur. Ia tiba-tiba merasa muak, tapi tak tahu pada siapa.
Narti lulusan PGSD. Sebelum berjualan nasi kuning, ia guru honorer di Marisa. Ia baru satu bulan resmi menyandang S.Pd.Gr. di belakang namanya dan semangat sarjana baru yang berkobar di dadanya sama sekali tak mempermasalahkan gaji 300 ribu sebulan.
Maka menjadi gurulah ia. Untuk sementara. Tak apa bergaji kecil. Ia masih punya tabungan. Dalam masa menunggu kesempatan pekerjaan yang lebih baik, Abas datang membawa lamaran. Kedua orang tua mereka segera menemukan kecocokan. Kesepakatan tercapai. Menikahlah ia dengan lelaki baik hati berhati selembut es krim dan punya posisi mapan di pabrik gula itu. Abas bahkan sudah punya rumah sendiri. Cantik, cantik, cantik. Suara Nike, burung beo peliharaan Abas, lebih dulu memunculkan senyum di wajah Narti. Entah karena nama burung beo itu sama dengan penyanyi idolanya atau lantaran dibilang cantik. Ia jarang disebut cantik. Teman laki-lakinya di kampus dulu lebih menyukai kata menarik daripada cantik. Masa depan secerah musim semi di depan mata.
Namun, hidup seperti cuaca yang tak dapat dipercaya. Mendung tak selalu berarti hujan. Kemalangan bisa saja datang seperti kaki yang tiba-tiba terantuk meski telah berjalan dengan hati-hati. Suaminya diberhentikan, dan rumah mereka diambil kembali oleh perusahaan. Narti dan Abas, juga dua putra yang lahir dalam masa kebahagiaan yang membuat iri orang-orang, harus menyingkir. Abas menemukan satu rumah kontrakan yang sama sekali tak layak, yang tak jauh dari sekolah anak-anaknya, berlantai keramik retak di sana-sini, dengan dinding batu yang tak kalah suram dari nasib mereka.
Tak mungkin Narti minta bantuan kepada keluarganya di kampung. Ia telah cukup berkoar mengenai kesuksesannya di media sosial. Perkara suaminya kehilangan pekerjaan dan kepindahan mereka ke rumah sangat-sangat sederhana tak pernah ia pamerkan. Sejak peralihan hidup mereka yang—meminjam kata putra sulungnya—anjay mewing, media sosialnya hanya dipenuhi foto nasi kuning buatannya, sesekali berbagi resep (dengan menyembunyikan bumbu rahasia). Kemunculannya pun tak sesering dulu. Ia perempuan sukses dengan suami berpenghasilan lumayan. Hal-hal lain tak perlu diberitakan. Ayahnya bisa kena serangan jantung jika tahu utang-utangnya, apalagi ibunya hampir setiap hari sibuk mencari telinga yang bisa disiksa untuk mendengar kesuksesan anak bungsunya yang sarjana pendidikan guru. Ah, seandainya saja ia tak pernah bercuap mengenai rumah tangga nan bahagia yang dimilikinya atau hidup mapan yang ia ceritakan dari satu story ke story yang lain.
Rasa tegang di perut Narti semakin menjadi. Ia harus mencari solusi. Tapi dengan cara apa? Ia menatap cermin yang tergantung di samping kiri lemari dapur, menatap tubuh berbalut daster yang beraroma kunyit dan penuh remah tepung itu. Ia menarik. Di benaknya, terlintas warung remang-remang di sepanjang pantai. Hanya perlu dua jam naik motor pergi pulang dari rumahnya ke sana. Tidak. Pasti ada cara lain, Narti. Tapi dengan cara apa?
Di tengah-tengah kekalutan pikirannya, musik berdentam-dentam terdengar mulai mengintimidasi menyelingi kepakan lemah sayap Nike. Musik itu perayaan Pak Giu yang lolos menjadi anggota dewan perwakilan pemerintah kabupaten. Getir sungguh. Bahkan untuk membeli pangan burung pun mereka sudah hampir tak sanggup. Nike pun Terus bernyanyi.
Tak ingin berlama-lama tenggelam dalam kekalutan dan dengki pada tetangganya, ia kembali mencari hiburan di media sosial. Sekelebat video rumah pejabat yang mewahnya minta ampun dan sebaris berita korupsi triliunan lewat di beranda justru membuatnya semakin benci entah pada siapa.
Tak pernah Narti memiliki kebencian semacam itu. Tidak pernah. Ia mengingat bagaimana setiap jelang Agustus di masa kecilnya, atap dan pagar rumahnya dan rumah penduduk lain di kampungnya berubah warna. Kuning di mana-mana. Warna itu tak luput singgah di baju yang dipakai keluarganya. Setiap ia protes mengapa mereka tak pernah mencoba warna merah atau hijau, bapaknya selalu menjawab, warna kuning-lah yang memberi mereka makan.
Dentam itu kini mengirimkan nyeri di kepalanya. Nike mulai melompat-lompat di sangkarnya. Dentam itu melempar Narti ke momen setiap lebaran ketupat. Salon-salon raksasa dipasang di setiap halaman, kadang tak serasi dengan gubuk tanah si pemilik salon. Kemeriahan yang terpenting, dan musik mengentak memenuhi kampung mengiringi tamu-tamu yang datang tumpah ruah menyantap sate tuna, bilenthango, ayam iloni, abon cakalang, dan penganan Lebaran lain yang bisa dimasak si empunya rumah. Salon lebih berharga daripada televisi, kulkas, apalagi mesin cuci. Pada kemeriahan itu, ia, Abas berboncengan dengan anak-anaknya berkunjung ke rumah-rumah kerabat yang menggelar acara, menembus jalur padat kendaraan dan manusia. Sesekali, mereka akan pulang membawa dua tiga batang nasi jaha, nasi yang dimasak dalam bambu dengan rempah-rempah, cukup untuk bertahan beberapa hari. Ah, mungkin lebih enak jadi salon, tahunya hanya menularkan kegembiraan untuk membuat orang-orang lupa kepahitan hidup.
Jengah menatap cermin, pandangannya tak sengaja tiba di rak buku yang dipaksakan di ruang tengah yang sempit, sejarah koleksinya sejak mahasiswa. Meski koleksi itu kini tak pernah lagi bertambah, ia selalu bilang dengan rasa bangga berlebih-lebih kepada anak-anaknya setiap menatap rak buku itu. Itu harta Ibu yang paling berharga, yang ditanggapi dengan tatapan tak mengerti. Mungkin di mata mereka, motor yang tak pernah mogok saat mengantar mereka ke sekolah, rumah besar yang atapnya tak ribut saat hujan, dan uang jajan di kantong seragam jauh lebih berarti. Nike pun Terus bernyanyi.
Mata Narti menangkap tiga sampul yang memuat nama Pak Presiden yang berjejer di rak paling bawah. Ia berjongkok meraih ketiga buku itu dan seketika ingat celetukan Fatimah sahabatnya, ketika mengetahui ia akan menikah dengan Abas. Cinta itu bikin bodoh, kata Fatimah dingin. Narti menolak lamaran Suaib, senior di kampusnya dulu, yang kini telah menjabat asisten Kapolda, kaya dan tampan dan royal, lalu memilih Abas, karyawan pabrik gula yang kurang kaya, kurang tampan dan kurang royal. Ia bilang ke Fatimah, orang tampan biasanya tukang selingkuh. Ia juga sudah kadung cinta kepada Abas. Setelah menikah dengan laki-laki itu, ia tak tahu mana yang lebih baik: diselingkuhi atau dijadikan samsak tinju.
Seumur-umur, Narti tak pernah peduli kepada siapa pun yang menjadi presiden. Entah sudah berapa lama ia membiarkan kertas suara tak tercoblos setiap pilpres. Namun, Pak Presiden yang tersenyum di tiga sampul buku di tangannya itu berbeda. Sosok itu sudah memikat hatinya ketika ia duduk di semester awal saat di kampus. Buku-buku itu ia beli sebagai bahan tulisan buletin kampus, mengulik sepak terjang Pak Presiden dari pengusaha besi tua sampai menjadi orang nomor satu di negeri ini. Kehadirannya sesegar air kelapa muda di terik hari. Orang yang pernah melarat akan jadi pemimpin yang adil, bukan? Kenyataannya, sosok bersahaja itu tak lebih dari citra semu, seperti hujan yang tak turun-turun meski langit pukul 2 siang sewarna subuh. Nike pun Terus bernyanyi.
Nike kembali mulai berteriak lapar, lapar, lapar. Narti tak peduli. Ia mungkin muak pada suaminya yang menolak menjual burung itu.
“Tak semuanya harus dihargai dengan uang.”
“Saya tahu, tapi uangnya lebih berguna jika kita belikan beras.”
Di percakapan minggu itu, Nike berkoak tidak, tidak, tidak cukup keras, khawatir jatah makannya akan dikurangi.
Suaminya gusar, tahu Narti benar.
Melihat suaminya diam saja, Narti berani melanjutkan, “Ada teman yang berminat. Ia kirim pesan. Tawarannya lebih dari cukup buat beli beras. Lumayan untuk dua bulan ke depan.” Narti berani berbicara lebih panjang kalau suaminya tidak dalam pengaruh miras cap tikus. Utang pinjol kita menumpuk. Kalimat itu tertahan di lidahnya. Dengan Abas, ia harus pintar menakar situasi, mengantisipasi jambakan atau tendangan. Narti tak suka kalau hati selembut es krim itu menjadi sekeras batu sungai.
“Nanti kita bahas lagi.” Nike pun Terus bernyanyi.
Narti tak pernah membayangkan hari ini bertahun-tahun yang lalu, ketika Pak Presiden memulai muncul di tempat-tempat tak terduga. Keluguannya sungguh meluluhkan hati. Mustahil rasanya membayangkan kerusakan yang bisa terjadi dengan wajah polos itu. Narti lupa kata Fatimah, politisi tak ubahnya para pemburu kelamin yang selalu bermanis-manis pada calon korbannya.
Mustahil rasanya membayangkan hari ini bertahun-tahun yang lalu, saat Narti begitu memuja Pak Presiden. Sungguh perasaan mudah dimanipulasi.
Harga beras dan pakan Nike membuat Narti ranyah. Toko yang ia datangi kompak memberinya gelengan kepala untuk pertanyaan, “Ada beras?” Apakah gara-gara aksi Pak Presiden bagi-bagi beras di depan istana empat bulan lalu? Tiba-tiba, ia bersyukur ada Oma Ija yang lihai menimbun sembako.
Menatap buku-buku di tangannya itu membuat Narti betul-betul muak. Suaminya akan kembali besok, semoga membawa serta uang belanja, bukan bantingan yang akan membuat tubuh Narti berubah ungu di tempat-tempat tersembunyi dan rumah mereka semakin rapuh di bagian-bagian tertentu.
Ia harus melakukan sesuatu. Satu yang paling mendesak adalah segera memusnahkan buku-buku di tangannya. Setidaknya, ia bisa mengenyahkan rasa malu yang mengganggu itu. Masih ada utang pinjol yang menunggu waktu untuk meledak, meski ia sadar mereka lebih berperasaan daripada teman dan kerabatnya yang perlahan memutus kontak dan menjaga jarak sejak ia sering meminjam uang. Namun, di detik ia memantik macis di tungku pembakaran di halaman belakang, Nike mulai bernyanyi jogetin aja, jogetin aja, jogetin aja sambil berkelepak lemah di sangkarnya. Ia batal membakar buku-buku itu. Ia menatap Nike, terbayang sekarung beras yang bisa ia peroleh. Ia meraih kursi plastik merah pudar hadiah salah satu penyedia jasa kartu prabayar di dekat kompor. Namun, Narti kalah sigap. Suaminya muncul dan meraih sendiri sangkar itu, membukanya dan meraih Nike dengan sayang sebelum melepaskan burung itu ke udara. ***
.
.
Darmawati Majid. Penulis, menetap di Gorontalo.
.
Nike pun Terus bernyanyi.
Leave a Reply