Cerpen, Gatot Prakosa, Kompas

Arok, Indonesia Raja

Arok, Indonesia Raja - Cerpen Gatot Prakosa

Arok, Indonesia Raja ilustrasi I Ketut Jaya/Kompas

2.5
(4)

Cerpen Gatot Prakosa (Kompas, 25 Agustus 2024)

IA bernama Arok, bukan lelaki yang punya keris keren itu. Ia jendela bagi sebuah desa terpencil. Misteri kematian Arok tak pernah terjawab. Apa dan siapa dan kenapa Arok mati, dalam jarak sebulan perjalanan orang biasa. Serangan harimau? Sepertinya bukan, karena orang yang akan menemukannya tak pernah mengatakan tulang-tulangnya terserak berjauhan. Mungkin ular, atau penyakit yang kambuh, atau keracunan, atau orang menembaknya. Bersama matinya Arok, menunda sekian tahun lagi “Indonesia Raya” didengar warga desa itu. Jadi, Arok yang ini harus berlatar tahun sekitar 1928. Hanya periode ini. Itu tahun yang cocok dengan apa yang akan terjadi.

Sudah biasa Arok berhasil masuk desa, lolos dari mata-mata Belanda yang orang pribumi juga. Pulang untuk memberi tahu warga apa yang sedang terjadi di luaran.

Tetapi ia tak bisa membaca, sama seperti hampir semua warga desa. Idenya, Arok membawa dari kota informasi tertulis, tentu saja bukan dia yang menulis, karena sebelumnya kalau tidak tertulis ia akan lupa. Perjalanan kota ke desanya butuh dua pekan, sebulan jika orang lain. Sepanjang waktu itu ia harus membagi perhatiannya ke mana-mana, jadi hafalannya mudah saja berjatuhan dari kepalanya. Setelah berulang kali sia-sia mondar-mandir desa-kota-desa, ia mulai memakai tulisan atau gambar. Ia akan merobek koran atau pamflet atau apa pun, tidak bisa lebih sehalaman, ia tak berani. Itu tak akan lolos dari pengawasan mata-mata pemerintah kolonial. Perlu pembaca ketahui Arok tidak pernah tergabung dengan laskar gerilyawan mana pun, tentu juga bukan antek kolonial.

Dua minggu perjalanan, ia akan berhenti di mana saja, dan bagaimana ia tidur sambil terus berjaga-jaga dari serangan hewan buas, juga bagaimana ia memilih buah dan batang tanaman untuk hajat hidupnya.

Sialan, dia bilang padaku, bukan main mudahnya jalani hidup, bagaimana bisa orang merasa berat. Aku bisa bayangkan waktu dia nanti mati, dia akan dengan entengnya tersenyum, matanya pun ikut tersenyum, dan satu tangannya akan mengacungkan jari tengah padaku dan padamu. Ah, itu pun kalau di tahun itu sudah ada bahasa gaul. Baiklah, dia masih hidup, begitulah wataknya.

Dia sebenarnya punya istri dan seorang anak enam tahunan. Tentang keluarga kecil ini, tidak bisa kuceritakan. Arok bukan suami dan ayah teladan, jarang ada di rumah. Kalau tidak di kota, di kota lain, desa lain, di hutan, di perjalanan antaranya. Karena itu dia hanyalah jendela bagi desa.

Hari itu salah satu hari dan bulan di tahun 1928, ia ditegur seorang serdadu dan seorang mata-mata pribumi. Tak mampu menjawab, Arok melepaskan diri dan berlari. Ia tak suka berkelahi. Hampir jatuh, berlari lagi. Hari-hari yang lain itu berhasil.

Baca juga  Buku Bisu

Tidak hari itu. Secekatan-cekatannya Arok, andai ia punya mata di punggung, ada peluang ia akan melihat peluru mengejarnya dan mungkin punya waktu untuk menghindar.

Arok memang pelari yang cepat. Tapi dia tak bisa lari menyerong seperti ular gurun. Ia hanya melihat sebutir peluru di depan dadanya bersama beberapa bulir cairan pekat melesat bersamaan. Seperti lomba lari. Ia kalah bahkan oleh bulir-bulir itu. Peluru itu paling dulu meninggalkannya. Menolak merasakan apa pun, kakinya terus bergerak, tahu ada orang-orang yang akan menyambutnya.

Tak sadar kakinya tak menapak bumi beberapa jengkal, kemudian beberapa meter. Tahu-tahu tubuhnya menimpa air. Itu sungai. Gerak jatuhnya tidak terus sampai bebatuan. Bergulung-gulung di dalam arus.

Perjalanannya untuk pulang tidak pernah lurus, perlu hati-hati dari mata penguntit. Karena lukanya, jadi lebih lama sampai desa.

Sesampainya di ujung persawahan, Arok hampir kehilangan penglihatan. Lunglai, merambat dari pohon ke pohon. Pohon habis, ia merangkak. Terus bergerak mengikuti batas rumputan. Ia jaga satu tangan di rumputan, satunya di tanah.

Pertama melihatnya adalah seekor induk ayam milik warga, mengepak-ngepakkan sayap sambil berkotekan ribut. Anak-anak ayam berkumpul dan turut dalam keriuhan berlarian mengikuti induk menjauh. Burung-burung di sawah yang nyaris lelap sontak meresonansi si ayam, kabur melintasi langit entah ke mana.

Seorang warga sedang mengentas jemuran, waspada menoleh, memeriksa dengan matanya ke arah tempat awal mula kejadian. Tak ada sesuatu yang kelihatan aneh, artinya ada sesuatu misteri, ada kejahatan bersembuyi. Ia berlari ke dalam rumah, menutup pintu dan jendela.

Sebentar saja semua rumah menutup diri. Seperti desa yang mati.

Kepentingan apa yang membuat orang asing datang. Betapa mahalnya perjalanan ke desa, menembus hutan, gunung. Tidak ada permukiman di jarak seratus kilometer dari desa.

Karena itu jugalah, kebutuhan hidup warga hanya dipenuhi dari desa sendiri. Tidak ada ide-ide raksasa soal nasionalisme, kolonialisme. Tidak ada penjajahan. Hanya karena Arok saja yang bepergian keluar-masuk desa membawa kabar dari dunia luar, membuat warga merasa diberkahi sekaligus ditinggalkan.

Perlu lebih dari satu jam pengamatan sampai ada orang yang berani menghampiri, lalu setengah jam lagi sampai orang merawat luka Arok. Warga mengerumuni sosok yang kepayahan itu.

Mereka mafhum apa yang terjadi, tapi belum tahu apa yang dipertahankan Arok sampai harus luka separah itu. Tubuh Arok digeledah, dan ia tidak mengeluh.

Tanpa sengaja orang membuat robek kertas terlipat yang basah oleh keringat dan darah dari dalam pakaian Arok. Jika ada pengeras suara yang bagus, pasti sudah terdengar detak jantung warga desa. Seperti seorang perempuan di barisan terdepan paskibraka membawa bendera pusaka, orang melakukan hal yang sama dengan kertas basah itu. Diteliti sebelum dibuka, karena darah kental seperti lem merekatkan semua lipatan. Perlahan direndam air agar darah terbilas dan berharap tulisan di dalamnya masih terbaca. Ditaruh di atas batu yang besar, barulah coba dibuka pelan-pelan. Kertas itu sobek di sana-sini. Tetapi kecermatan membuahkan hasil. Orang bisa menyusun yang robek di tempat potongan yang benar. Lalu dibiarkan mengering di atas batu.

Baca juga  Toko Cinta

Sementara itu orang juga merawat Arok dengan sebaik-baiknya.

“Itu,” Arok harus memberi tahu apa artinya kertas itu yang sekarang sedang menentang langit siang yang berawan. “Itu lagu kita,” terbata-bata, tangan Arok menekan perutnya yang sudah diolesi ramuan dan diikat stagen. Tentu saja dalam bahasa Jawa.

“Lagu?” Arok, Indonesia Raja.

“Tembang. Seperti Sluku-sluku Bathok.”

Orang saling memandang.

Pertama anak kecil menyanyi Sluku-sluku Bathok. Berangsur-angsur semua orang.

“Itu tembang baru…,” lirih Arok bersuara. Orang di dekatnya menghentikan nyanyian, lalu menirukan ucapan Arok.

Orang yang berada dekat dengan kertas menyingkir untuk memberi ruang orang yang bisa membaca mendekat. Ia mencoba membaca, dan menyanyikan dengan irama Sluku-sluku Bathok. Semua terdiam, hanya seorang saja yang membaca dan menyanyikan. Itu bukan kata-kata. Tapi sederet angka. Kemudian baru kata-kata, lalu deretan angka lagi. Terus begitu berkali-kali.

Arok tercenung diam. Ia juga tidak tahu kenapa begitu.

“Ini bukan Jawa ya, Kang.”

“Coba lihat.” Arok, Indonesia Raja.

“Bukan Arab juga.”

“Bukan Belanda seperti kemarin.”

“Tapi bisa kok, sedikit dipahami.”

Orang bergantian menunduk melihat dari dekat tulisan di kertas yang sebenarnya tersobek-sobek dan masih berwarna kemerahan. Tidak berani mengangkat kertas yang penting itu selama belum kering benar, karena bisa menempel di batunya.

Tiba-tiba hujan turun. Warga ribut. Ada orang membungkuk dengan punggung menghadangi hujan, melindungi kertas dari serbuannya. Beberapa yang lain di seputarnya mencopot baju, sama membungkuk melindungi orang di bawah, dengan baju menutup ruang-ruang yang tak tertutupi tubuh mereka.

Sebagian lainnya berkumpul di rumah dekat situ, berdiskusi. Apa pentingnya sebuah lagu. Arok mulai bicara lebih baik seturut napasnya mulai baik.

“Itu lagu yang akan dinyanyikan orang-orang di masa depan dengan gagah, dengan cinta, penuh syukur dan semangat.”

Semua terdiam. Adakah hal-hal seperti itu. Sesuatu yang tampak agung sekaligus akrab, seperti sudah dikenali.

Di luar rumah, orang berduyun-duyun datang membawa payung, di masa itu belum ada payung dari bahan selain kertas. Mereka berdiri di sela-sela mereka yang lebih dulu membentengi apa yang ada di bawah. Payung-payung itu saling menumpangi. Semua orang tak ingin dikalahkan hujan yang sederas apa pun.

Baca juga  Orang-orang Tak Bersalah

***

Dua bulan berlalu, Arok belum kembali ke desa. Ia berangkat ke luar desa dengan membawa sobekan kertas koran yang sudah warga perbaiki. Ia akan mencari orang yang akan mengajarkannya cara membaca dan menyanyikan apa yang tertulis.

Empat bulan, sama saja. Pemuda itu belum pulang. Pernah juga Arok pergi hingga setengah tahun. Masuk bulan ke tujuh, desa mulai gelisah. Semua ucapan dan perilaku Arok juga tindakan tiap-tiap warga desa hari itu memutar kembali dalam ingatan semua warga.

Setahun penuh, desa akhirnya mengutus dua pemuda paling lincah untuk pergi ke luar desa. Mencari tahu kabar di luar, dan membawa Arok pulang.

Sebulan dari keberangkatannya, mereka kembali.

“Apa yang kalian bawa?” tanya warga desa. Arok, Indonesia Raja.

Seorang dari antaranya mengeluarkan sebentuk baju. “Aku kenal baju ini. Punya Arok. Ia sudah lama wafat. Kami menemukan kerangkanya di jalan.”

***

Berpuluh tahun kemudian. Seorang anak kecil bertanya kepada ayahnya sambil menunjuk gundukan tanah dengan nisan batu yang dipahat, berbeda dengan kuburan yang lain. Tidak ada tanggal lahir dan matinya, tidak ada apa pun selain tulisan: Indonesia Raja.

“Dia seorang warga desa, Nak, seperti kamu juga,” kata si ayah. “Seorang pemuda yang larinya sangat kencang. Biasa berlari berhari-hari, hujan dan panas, siang dan malam. Menembus barikade penjajah. Ia bernama Arok, sama dengan nama orang dari rakyat biasa yang menjatuhkan tirani dan menjadi raja.”

“Bapak tidak tahu apa maknanya Indonesia Raya. Tampaknya ada kaitan lagu nasional kita dengan orang ini,” tambah sang ayah.

Begitulah aku mulai memikirkannya, dan jadilah cerita yang kau baca ini. ***

.

.

Jogja, 2024

Gatot Prakosa lahir di Jakarta, sekarang tinggal di Yogyakarta. Buku yang terbit Jejakmu yang Tertinggal (e-book novel, BIP, 2017); Veronica Punya 4 Ayah 4 Ibu (kumcer, Surya Pustaka Ilmu, 2019) nominasi Prasidatama 2020.

I Ketut Jaya (Kaprus) lahir pada 15 Juli 1970 di Budakeling, Karangasem, Bali. Menempuh pendidikan di STSI Denpasar. Pameran bersama di antaranya “Together Nepal/Indinesia Art Exhibition” di Katmandu, Nepal (2019); Pameran bersama “PRISM” di Sudakara Art Space, Sanur (2018); “Reinterpreting Culture #3” di Denpasar Art Space (2017). Menyelenggarakan pameran tunggalnya pada tahun 2015, “Ocean and the Subconscious” di Kubu Art Space Ubud, Bali.

.
Arok, Indonesia Raja. Arok, Indonesia Raja. 

Loading

Average rating 2.5 / 5. Vote count: 4

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!