Cerpen Harris Effendi Thahar (Kompas, 08 September 2024)
DIA, lelaki tua yang baru pensiun itu, berpikir-pikir untuk menjawab pertanyaan dokter “apa yang bapak pikirkan?” Dia mau menjawab: “banyak!” Tapi, tidak jadi. Ia senyum-senyum saja sambil memandang terus dokter yang sedang menuliskan resep obat dan berharap agar dokter itu tidak mengulangi pertanyaan yang itu lagi.
“Tensi Bapak tidak boleh setinggi ini, terutama bagi orang seusia Bapak. Bapak tidak boleh terlalu banyak pikiran yang buruk-buruk. Pikirkanlah yang baik-baik saja. Semua sudah diatur oleh Yang Maha Kuasa dan Maha Penyayang. Ya, Pak, ya? Bila obat ini sudah habis, Bapak datang lagi.”
Dia mengangguk-angguk sambil tersenyum dan berterima kasih. Melangkah dengan lega keluar dari ruang periksa. Dia menganggap bahwa dokter itu orang pintar, dan berbudi, bukan sekadar menebak-nebak bahwa dia sedang dalam banyak pikiran yang buruk-buruk. Akan tetapi, memang mudah untuk mengatakannya, namun sulit untuk menghentikan ‘kepikiran’ terus-menerus, yang menyebabkan tensi naik.
Semua wajah pasien yang masih menunggu giliran terlihat tak berona, tegang, dan sendu. Dia merambah sekilas dengan pandangannya dan menyadari bahwa semua pasien yang datang memang bukan untuk bergembira ria. Tetapi, dia merasa datang ke poliklinik itu tidak sekadar berobat, ternyata dia juga merasa terhibur oleh celoteh dokter muda itu. Semula, dia menyangka dokter perempuan itu akan berkata sedikit judes. Biasalah, karena sering bertengkar dengan suami. Siapa tahu?
Dia, lelaki pensiunan PNS itu, dengan hati-hati menggiring sepeda motor bebek bututnya keluar dari parkiran setelah menyelipkan uang parkir ke tangan anak muda yang suka senyum itu. “Hati-hati, Pak,” ujarnya. Dia menggiring motornya sampai ke awal jalan alternatif. Dia tak berani mengendarai di jalan utama yang ramai, apalagi tanpa menggunakan helm. Di jalan alternatif, persisnya di belakang poliklinik, dia bisa lebih santai mengendarai tanpa cemas ditabrak mobil yang biasanya melaju kencang di jalan utama. Jalan itu sepi. Memang jalan itu memutar melintasi perkampungan penduduk miskin di dekat pantai, agak jauh dibanding lewat jalan utama menuju rumah dia.
Sebagai pengawas yang ditugaskan pemerintah provinsi, dia sering keluar kota. Dia sering terpaksa menginap dua tiga hari di kota tujuan. Singkat cerita, hampir tiap kota dia punya kekasih. Yang paling intim itu adalah Upit di kota B yang terletak di perbatasan. Dia harus menginap di kota itu dua atau tiga hari.
Suatu hari dia menerima pinangan orangtua Upit, sang kekasih. Meski usianya jauh beda, toh dia sangat merindukan keturunan. Untuk menjaga rahasia, agar istrinya yang sudah digaulinya enam belas tahun dan belum beranak, dia hanya menggauli Upit kalau dia ditugaskan di B saja. Artinya, dia sangat bersyukur diambil menantu oleh orangtua Upit, asal orangtua Upit mau menerima persyaratan, yakni: dia hanya datang kalau ada tugas ke luar kota. Meski begitu, dia sangat bahagia mendengar Upit hamil. Dan lebih bahagia lagi ketika Upit melahirkan seorang anak perempuan.
Upit, satu-satunya anak perempuan pemilik warung makan “Masakan Kampung” itu, memang tergolong gadis nyaris kedaluwarsa, meski berwajah manis dan berbodi semampai. Sepertinya Upit sangat menikmati pekerjaannya menjadi pelayan warung makan orangtuanya. Di warung itulah dia tertarik pada Upit setelah tahu Upit masih gadis sehingga dia sering memberi Upit tips, melebihkan pembayaran makannya.
Perkenalan dia dengan Upit memang agak unik. Ketika suatu siang mobil dia parkir di depan warungnya, Upit berlari-lari masuk warung, segera membantu bapaknya melayani dia.
“Kok lari-lari? Tuh keringatan. Memangnya kamu dari mana?”
“Anu, baru saja mindahkan sapi ke tempat yang teduh,” jawab Upit sekenanya sambil menyiapkan piring makan untuk dia, sang langganan istimewa.
“Sapi? Emangnya kamu gembala sapi?”
“Persis. Sejak kecil saya gembala sapi.”
“Berapa ekor sapimu?”
“Sekarang tinggal induknya. Lebaran haji kemarin dibeli orang anaknya untuk kurban.”
“Ini kembaliannya, Pak.”
“Ambil untuk Upit saja. Ikhlas kok,” hampir setiap kali makan di warung itu dia tinggalkan kelebihan uang untuk Upit.
Sejak dia menikahi Upit, setiap keluar kota pergi bertugas, meski bukan ke kota B, dia selalu menyempatkan diri menginap agak semalam di rumah orangtua Upit. Maklum, istri siri, terpaksa masih berahasia. Apalagi sudah punya anak sendiri yang selama ini hanya mimpi. Hubungan dengan Upit cukup terjaga melalui SMS sebuah ponsel jadul yang tidak pakai Whatsapp-nya. Ponsel jadul itu selalu ditinggal di kantor. Tapi, sampai kapan bertahan dengan SMS ponsel jadul?
Kini, sejak dia pensiun, ponsel jadul itu selalu dikantonginya dalam keadaan dimatikan. Bila keluar rumah sendirian saja ponsel itu dimainkan. Akan tetapi, sejak tiga hari lalu, dia kehilangan ponsel jadulnya. Ia tidak curiga pada istrinya, Salma, karena kelihatannya Salma biasa-biasa saja. Tidak tampak ada reaksi atau kelainan. Salma tetap melayaninya seperti biasanya. Justru itu menjadi beban pikirannya. Apalagi sejak tiga hari yang lalu telah terjadi longsoran lahar dingin Gunung Marapi yang memorakporandakan kampung di perbatasan kota B, di mana warung makan dan rumah Upit berada. Sementara, dia tidak dapat menghubungi melalui ponsel jadulnya.
“Dokter bilang apa, Uda?” tanya Salma dengan wajah biasa-biasa saja.
“Biasalah, suruh kurangi garam, berhenti merokok, banyak makan sayur dan buah…. Itu saja.”
Begitu selesai memarkir motor bututnya di ruang belakang, dia tidak kuasa menghentikan kebiasaan merokok, meski di tempat spesial di samping rumahnya. Salma datang membawakan minuman, jus tomat kesukaan dia yang sengaja diblendernya sendiri untuk dia.
“Merokok masih enak, berarti Uda tidak parah sakitnya.”
Dia diam saja sambil memandangi gelas jus tomat di atas meja kecil di samping kanan kursi dia.
“Berapa tensi Uda?”
“Seratus delapan puluh!” jawab dia sambil memilih-milih butiran obat untuk diminumnya saat itu. “Tolong air putih, Sal….”
Tanpa disuruh Salma sudah melangkah ke belakang. Sementara dia semakin panik mengingat kondisi Upit dan anaknya entah bagaimana. Konon, berita yang tiap sebentar dibacanya di siaran berita online melalui gawainya, kampung itu nyaris ludes dilanda hantaman lava dingin Gunung Marapi. Dia seakan-akan mau gila rasanya mengingat ponsel jadulnya yang hilang itu. Tidak ada jalan lain, dia harus tanya Salma soal ponsel jadul itu.
“Sal, lihat ponsel jadul itam di kantong celana Uda?”
“Ponsel jadul? Hitam? Gak ada tu.”
Salma tidak berdusta karena ponsel jadul itu ditemukannya bukan dalam kantong celana, melainkan dalam tas kerjanya. Dia memandang wajah Salma agak lama. Mereka bertatapan. Tak tampak semacam keterkejutan di wajah Salma. Dia merasa risi dan makin gelisah. Hampir saja dia menangis. Selama bergaul dengan Salma, dia tahu bahwa Salma adalah makhluk paling sabar dan penuh kasih sayang. Mungkin karena tidak punya momongan, tampaknya Salma sangat takut kesepian apabila ditinggalkan dia. Wajah Salma juga tampak sedih. Bahkan makin lama makin pucat. Seperti ada sesuatu yang disimpannya selama ini. Bersembunyi dan gelisah di persembunyiannya.
Ketika Salma ingin melangkahkan kakinya hendak menyembunyikan wajahnya yang tegang, dia terjatuh dari kursinya, rebah bersama kursinya arah ke kanan. Mulutnya kelihatan berbusa. Matanya merah minta pertolongan. Salma terpekik, berlari ke luar rumah mencari pertolongan. Tak ada siapa-siapa. Kecuali sebuah taksi buru-buru distopnya. Untunglah sopir taksi itu mau menolong membopong dia berdua dengan Salma ke atas taksi menuju rumah sakit.
Dia sudah dipindah ke ruang rawat inap setelah dua hari mendekam di ICCU. Pagi itu Salma menyuapkan makanan cair sambil menghibur dia.
“Uda pasti cepat sembuh. Sebentar lagi Uda bisa ngomong….”
Dia menatap Salma penuh harap. Sambil mengunyah, air matanya terus menetes.
“Uda memikirkan Upit dan putrinya yang mungil, si Hanum?”
Dia terlonjak. Bubur yang sedang dikunyahnya berhamburan dari mulutnya. Dia tersedak. Salma cepat-cepat menyodorkan air minum dengan penyedotnya. Napas dia sesak. Salma cepat-cepat memencet bel, memanggil perawat. Dua orang perawat berlarian menuju kamar rawat dia. Kedua perawat perempuan itu dengan sigap memasangkan penangkap oksigen ke hidung dan mulut dia. Tak lama kemudian, dua orang perawat laki-laki masuk kamar rawat dia, langsung membawa dia ke ruang ICCU kembali.
Kabar terakhir kondisi dia sudah disampaikan Salma via SMS kepada Upit. Upit dan Hanum dalam perjalanan menuju rumah sakit itu dari kampungnya yang dihantam lahar dingin Gunung Marapi. Namun, kondisi dia tampaknya semakin menurun. Salma membisikkan ke telinganya, “Uda, Hanum dan Upit menuju ke sini. Kalau tidak macet di jalan, satu jam lagi mereka sampai di sini. Uda, bangunlah….”
Tak ada reaksi dia selain dengusan napasnya tersengal-sengal menghirup oksigen. ***
.
.
Harris Effendi Thahar, lahir di Tembilahan, Riau, 4 Januari 1950. Sehari-hari bekerja sebagai Guru Besar Emeritus Pendidikan Sastra Indonesia pada Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Padang. Buku kumpulan cerpennya, Si Padang (2003), Anjing Bagus (2005), dan Rumah Ibu (2020), diterbitkan oleh Penerbit Buku Kompas. Bendera Kertas dan Daun Jati (1999) cerita anak (Penerbit Ilemandiri).
Sepuluh cerpennya tersebar dalam kumpulan bersama cerpen pilihan Kompas. Karya bukunya yang lain, Kiat Menulis Cerpen (1999) Angkasa Bandung, Menulis Kreatif (2008) UNP Press, Kolom sebagai Esai Kreatif (2015) UNP Press, dan Kritik Sastra dan Pembelajarannya (2017) UNP Press; Kopi Rasa Bahagia, kumpulan kolom (2020), Penerbit Kabarita.
.
Memikirkan Upit. Memikirkan Upit. Memikirkan Upit. Memikirkan Upit. Memikirkan Upit.
Leave a Reply