Cerpen Windy Shelia Azhar (Kompas, 01 September 2024)
SALAM menatap sungai dengan nanar. Kedua tangannya sigap mengokang popor senapan. Ia berwajah paling marah dibanding teman-temannya yang ikut lesak di perahu tua itu. Merah padam wajahnya seakan pembuluh darahnya pecah semua. Gemeletuk giginya beradu dengan sengal napasnya yang kembang-kempis. “Bang… sttt….” Desisnya pelan serupa gumam. Rekan di samping kirinya menempelkan telunjuk ke depan bibir seraya mengusap bahu Salam sebagai isyarat bahwa ia harus menjaga suasana demikian senyap dan sedikit lebih bersabar.
Malam ini adalah malam yang demikian lain. Sebetulnya, ini bukan kali pertama Salam dan rekan-rekannya bersembunyi di atas perahu menyusuri sungai. Dalam beberapa kesempatan mereka menghabiskan jam-jam menegangkan dengan petugas yang giat patroli. Buru-buru menutupi mesin rajuk dengan beragam perdu dan kayu basah demi mengelabui para lelaki berbaju preman namun mengantongi izin penangkapan tersebut. Sekali dalam kurun hidupnya, Salam bahkan berhadapan dengan petugas dari negeri tetangga yang menjaga pintu perbatasan di Malaka. Mereka menadah satu slof Dji Sam Soe yang bagi Salam lebih mudah disiapkan daripada seonggok buku kecil dengan syarat tumpukan berkas tetek bengek yang tak pernah ia paham apa isi tulisannya sebagai syarat memasuki pintu negeri lain. Sedikit basa-basi-busuk, Salam berhasil membawa masuk selundupan bijih balok yang dihargai beberapa ratus ribu rupiah tersebut. Dari beragam pengalamannya, malam ini adalah yang paling gila. Sebab Salam sedang tak berhadapan dengan manusia.
Bulan sepenuhnya mati. Suluh dari rumah warga terdekat berjarak sebesar titik api di mata, nun jauh. Perahu tidak dikayuh namun dibiarkan sepenuhnya otopilot menuju ke pangkal muara semakin ke hilir. Bagi warga biasa, Muara Tumpun adalah tempat jin pilon membuang anak. Bahkan hanya jin yang paling bodoh yang memilih membuang anaknya di sini. Selain seram, Muara Tumpun dikenal sebagai rumah bagi makhluk dua alam yang sangat dikeramatkan keberadaannya sejak dahulu kala. Adalah Yai, sebutan warga kepada buaya betina berukuran enam meter yang dipercaya sebagai penguasa tertinggi rantai makanan nan keramat. Yai sangat jarang menampakkan dirinya di depan manusia, namun semua warga tahu bahwa ia penunggu sekaligus penguasa tunggal Muara Tumpun sehingga tidak ada satu pun yang bernyali menyambangi daerah kekuasaannya. Terkecuali jagoan kampiun bernama Salam.
Salam dibakar amarah. Anak lelaki tunggal satu-satunya hilang sejak bada maghrib. Warga desa berkata suara anak lelakinya terdengar tak jauh dari kolong camui tempat Salam menambang timah. Mestilah Yai yang belakangan ini terlihat merangsek ke area tambang rakyat adalah pelaku atas raibnya anak lelaki Salam. Salam tak peduli meski garis keturunannya menitah bahwa ia dan Yai adalah saudara sebagaimana abok dan ayahnya dahulu yang dikenal sebagai pawang buaya. Keluarga Salam turun-temurun dilarang menubah sebagai bentuk penghormatan kepada saudara dua alam mereka.
“Aku akan menubah setiap tahun. Tentunya setelah kutembak mati kau…!” Salam bergumam dengan tubuh kian bergetar.
Perahu kayu itu terus berjalan mengikuti riak pangkal muara. Tiba-tiba, rekan Salam yang memegang lampu strongkeng terkesiap dan menunjuk ke arah semak eceng gondok yang tumbuh mengumpul dengan bilah-bilah kayu bekas sakan dan rajuk yang hanyut ke muara. Di sanalah ia, sang purba dengan mata mengilat-ngilat diterpa titik lampu. Serentak penumpang kapal menyiapkan berbagai senjata dan peralatan untuk menghabisi sang raja dua alam yang saat ini beralih peran menjadi penjahat yang wajib dihukum. Tentunya hukum rimba adalah hukum yang pantas pada binatang tak berakal dan buas seperti Yai. Mereka bergerak dalam ritme yang begitu pelan agar Yai bergeming. Salam mengokang senapannya sementara satu orang bersiap dengan kapak. Sementara itu dua rekannya yang lain bersiap dengan pengait dan tali tambang untuk bagian eksekusi akhir. Tampaknya makhluk keramat itu tertidur meski kilat matanya berpendar di permukaan sungai. Teman Salam yang paling tenang mengayuh perahu demi mendekati Yai. Setelah dirasa cukup dekat, ia lalu mengacungkan jari membentuk aba-aba hitungan. Tiga jari mengacung, dua jari mengacung, lalu satu jari mengacung. Salam menembaki Yai bertubi-tubi hingga kehabisan peluru. Suara letusan senapan itu beradu dengan lirih suara buaya betina tua yang sekarat memecah keheningan bulan mati malam ini. Sementara di perkampungan, para bayi di buaian menangis kencang. Para ibu yang memeluk anak-anak mereka di rumah mestilah merasakan kengerian malam itu. Para ayah yang berkumpul di pos ronda beramai-ramai seketika berteriak “mampus!” saat suara senapan Salam terdengar.
Setelah dipastikan tak berdaya, teman Salam mengapak kepala Yai demi memastikan makhluk pembunuh tersebut betul-betul mati. Eksekusi ngeri tersebut lalu diakhiri dengan Salam dan rekan-rekan memboyong Yai ke dalam muatan perahu sembari mengikatnya dengan tali tambang. Esok pagi, mereka berencana untuk menyayat perut Yai demi menemukan sisa-sisa jenazah anak Salam.
***
Segera setelah matahari bertengger di ufuk timur, masyarakat berduyun-duyun berkumpul di balai dusun. Badan mati buaya keramat tersebut dipertontonkan di balai dusun seperti etalase boneka. Baik muda dan tua bergidik ngeri melihat sosok yang selama ini hanya hidup dalam cerita turun-temurun dan hanya dilihat segelintir orang. Decak kagum membisik seolah tak percaya makhluk sekeramat ini akhirnya lumpuh dan berakhir menjadi tontonan.
“Mestinya Salam jangan membunuh Yai. Bisa saja kita serahkan ke kebun binatang di pemda biar ngetop kampung kita.” Seorang warga melempar komentar.
“Harus tetap dibunuh, kalau sedang musim razia kita bisa berganti haluan dengan menjual kulitnya. Mahal!” perempuan yang menimang balita menyahuti. “Hei kalian ini! Saat ini kita fokus kepada masalah utama. Apa benar anak tunggal Salam ada di perut Yai? Harus dibelek ini perutnya.” Kepala Dusun menengahi seloroh-seloroh warga yang mulai ramai tersebut. Ia maju ke tengah kerumunan lalu berdeham hendak memberi pengumuman. Warga pun diam mendengar deham Kepala Dusun. “Saudara-saudara. Pagi ini saudara kita, Salam, bersama rekan-rekannya telah membawa buaya yang kita panggil Yai yang akhir-akhir ini meresahkan kita. Beberapa bulan ini Yai terlihat ke permukaan dan mengganggu aktivitas tambang. Tak hanya itu, kemarin Yai bahkan memangsa anak Salam!” warga kampung bersorak-sorak. “Maka dari itu saya persilakan Saudara Salam untuk membedah perut buaya ini. Katanya buaya tidak memangsa habis mangsanya. Mestilah masih ada sisa-sisa jenazah agar kita dapat menguburkannya secara layak.”
Setelah pengumuman dari Kepala Dusun, Salam yang masih belum tidur sejak semalam maju mendekati mayat buaya tersebut bersama rekan-rekannya. Mereka memulai pembedahan yang disaksikan seantero warga persis seperti acara demo masak. Kulit Yai yang bersisik agaknya menyusahkan proses eksekusi tersebut hingga memakan beberapa waktu, hingga membuat mata-mata semakin menikmati tontonan penjagalan tersebut. Hingga akhirnya perut tersebut menganga dengan posisi terlentang bagai sayap kupu-kupu, semua orang terdiam. “Di mana anak Salam?” sebuah bisik memecah keheningan yang kikuk itu. Salam yang menjadi tukang jagal mengobok-obok isi perut tersebut. Tak ia temukan apa pun. Bahkan tak ada bangkai ayam atau kodok yang menjadi santapan Yai. Perut itu kosong melompong. Organ-organ sekarat tersebut semakin diobrak-abrik Salam yang geram demi menemukan jenazah anaknya. Ia yakin seyakin-yakinnya anaknya adalah mangsa terakhir Yai. Ia yakin buaya leluhur yang kini ia panggil “Bangsat” itu beberapa kali mendekati lokasi tambangnya demi mengintai anaknya.
“Bang… Abang Salam…,” lamat-lamat dari kejauhan terdengar suara teriakan perempuan yang berlari dengan tungkai-tungkai yang lemas. Perempuan itu adalah Fatimah, istri Salam. Tak ada satu pun warga yang menyadari ketidakhadiran perempuan itu di tengah ramainya acara penjagalan Yai. Begitu pun Salam yang sejak semalam sibuk dengan eksekusi.
Ternyata, Fatimah berjalan menyusuri dusun semalaman sementara suaminya menyusuri sungai. Ia pergi ke dalam hutan tempat anaknya biasa memetik karamunting dan menangkap capung. Ia jelajahi jengkal-jengkal dusun berharap siapa tahu anaknya yang baru mengulang tahun yang ke-5 tersebut tersesat dan lupa jalan pulang. Ia juga meratap di tengah rimba membujuk siapa tahu lelembut yang mengajak main anaknya berkenan mengembalikannya.
Seluruh warga memperhatikan tontonan tambahan dari istri sang penjagal. Fatimah yang berlari sambil tersengal tersebut semakin mendekati kerumunan. Perempuan tersebut berlari sambil membopong sesuatu.
“Bang Salam berhentiii!” teriaknya dengan sisa napas yang putus-putus. Saat perempuan bertubuh kecil tersebut sampai di tengah kerumunan, semua orang terkesiap. Salam dengan tangan yang berlumuran darah Yai mulai meneteskan air mata sembari menyambut sesuatu yang dibopong Fatimah. “Ini jenazah anakmu, Bang.” Fatimah menelan ludah lalu melanjutkan, “Ia mati tertimpa tanah di lokasi tambangmu sendiri.” ***
.
Catatan:
rajuk: jenis mesin penambangan timah
abok: panggilan kakek dalam bahasa Bangka
menubah: kegiatan menangkap ikan pada musim kemarau
sakan: tempat mencuci timah
.
.
Windy Shelia Azhar merupakan penulis berdarah Melayu Bangka yang saat ini bermukim di Bali. Ia pernah berkuliah di jurusan Sastra Inggris, lalu menempuh pendidikan Ilmu Komunikasi. Cerpen dan esai yang ia tulis berkutat dengan isu jender, lingkungan, dan kebahasaan telah tersebar di berbagai medium. Flash fiction-nya yang berjudul “In Tala’s Womb” menjadi cerita terpilih dalam Porch Literary Magazine. Ia juga bagian dari Kebun Kata, komunitas literasi berbasis di Bangka Belitung. Saat ini, ia sedang menyelesaikan buku esai pertamanya. Jalin korespondensi dengannya via pos-el: [email protected] atau baca tulisannya di medium.com/@windyazhar.
Hari Budiono, lulusan Institut Seni Indonesia Yogyakarta, tahun 1985. Selain sebagai pelukis, ia pernah menjadi wartawan majalah Jakarta-Jakarta di Jakarta dan redaktur foto di harian Bernas, Yogyakarta. Kini menjadi redaktur artistik majalah budaya Basis di Yogyakarta. Menjadi kurator Bentara Budaya, lembaga kebudayaan kelompok Kompas Gramedia, dalam kurun waktu 1982 hingga 2020.
.
.
Aris
Cerpen tema ekologi yg menyayat sekali. Penggambaran kekejian manusia merusak ekologi
Nama Tolong Diisi
Cerita tentang lingkungan dengan bumbu kepercayaan leluhur dan drama yang keren…