Cerpen, Kompas, Tenni Purwanti

Lara Lare

Lara Lare - Cerpen Tenni Purwanti

Lara Lare ilustrasi Dhani Soenyoto/Kompas

2.7
(11)

Cerpen Tenni Purwanti (Kompas, 15 September 2024)

Untuk Isyana Sarasvati*

MERINDUKAN seseorang yang tak pernah ditemui mungkin adalah konsep yang membingungkan. Tapi aku tahu bagaimana rasanya, setelah memimpikan dua anak dan merindukan untuk bertemu mereka kembali. Bertemu di dalam mimpi tak bisa dihitung sebagai pertemuan yang nyata, tetapi rindu ini terasa begitu nyata.

Sejauh mata memandang, meski agak gelap, tetapi aku masih bisa melihat kehijauan dedaunan, rumput, dan bunga mawar merah di sekelilingku. Aku melihat dua anak, lelaki dan perempuan. Keduanya diselimuti selaput putih. Aku juga tidak yakin itu selaput apa. Rambut keduanya sama pendek, hanya sekitar empat cm, sepanjang rambut bayi tetapi ikal dan tebal. Selintas tubuh mereka seperti anak manusia berusia dua tahun, tetapi mereka tidak punya hidung, daun telinga mereka pun belum terbentuk sempurna. Mereka memiliki tangan dan kaki, tetapi jumlah jarinya tidak sebanyak manusia pada umumnya. Saat aku membiarkan mereka bermain sendiri, mereka seperti tidak menyadari kehadiranku, tapi mereka menghilang saat aku hendak memeluk keduanya, lalu aku pun terbangun dari tidurku.

Setiap kali terbangun dari tidur dan menyadari bahwa semua itu hanya mimpi, aku takjub karena aku bisa kembali ke tempat yang sama dan bertemu dua anak yang sama. Aku memimpikan hal yang sama selama dua minggu terakhir, meski tidak setiap malam. Aku melihat jam digital di atas meja, di samping tempat tidur. Masih pukul dua pagi. Anehnya, aku juga selalu terbangun di jam yang sama, tapi baru kali ini aku merasakan mual.

Aku beranjak ke wastafel untuk mengeluarkan sesuatu yang membuatku mual, tapi tidak ada yang keluar. Aku tidak muntah, hanya mual saja. Aku meminum air putih yang sudah kusiapkan sebelum tidur. Aku meninggalkan suamiku dan berjalan ke luar kamar, menuju ruang musikku. Ruang itu biasa aku gunakan untuk menulis lagu. Aku merasa perlu menuliskan mimpiku ke dalam lagu, tapi setelah berjam-jam bermain melodi, hanya dua kalimat yang bisa kutulis, lengkap dengan nadanya: Sampai berjumpa lagi, dengan dirimu kasih. Semoga bertemu lagi, dengan dirimu kasih….

Aku adalah penyanyi solo yang akhirnya perlu mengontrak band agar bisa mengiringi penampilanku secara khusus karena jadwal manggung mulai banyak setelah pandemi usai. Selama pandemi, aku memiliki banyak waktu untuk mengeksplorasi musikku dan ternyata karya-karya baruku semakin memperluas pendengar musikku karena aku mulai memadukan banyak genre. Setelah pandemi, aku sudah tidak sabar menyapa para penggemarku. Jadwal manggungku penuh hingga tiga bulan ke depan dan aku butuh band yang mengerti musikku secara detail sehingga, meskipun penyanyi solo, aku perlu selalu membawa satu tim band yang sama setiap kali manggung.

Baca juga  Tabik dari Tini

Aku pikir rasa mualku di pagi hari itu hanya akibat kecapekan, kurang istirahat dan masuk angin. Ternyata, dua minggu kemudian aku dilarikan ke rumah sakit setelah pingsan di studio latihan. Aku merasakan kontraksi di rahim seperti mau menstruasi, sebelum berangkat latihan. Rupanya, kontraksinya semakin mengganggu dan berujung aku jatuh pingsan sebelum menuntaskan latihan. Setelah sadar, dokter IGD menanyakan keluhanku dan memeriksa bagian bawah perutku. Dokter kemudian mengambil darahku. Sambil menunggu hasil tes darah, aku menelepon suamiku. Ia datang saat hasil tes darah keluar dan aku sudah dipindahkan ke ruang praktik dokter kandungan.

Dari hasil USG terlihat janin berusia delapan minggu di dalam rahimku. “Saya tidak bisa mendengar detak jantungnya,” kata-kata dokter itu terasa seperti pisau yang menghunjam jantungku, menghilangkan senyum yang sempat merekah di bibirku.

“Mungkin butuh satu atau dua minggu lagi, Dok?” tanya suamiku.

“Sebaiknya istri Bapak dirawat inap untuk kami pantau perkembangannya. Istri Bapak butuh bed rest. Jika janinnya tidak kuat maka akan luruh dengan sendirinya. Ibu akan mengalami pendarahan seperti menstruasi. Namun, jika janinnya bisa bertahan maka kita bisa cek kembali lewat USG minggu depan dan kita bicarakan penanganan yang tepat agar janin lebih kuat.”

***

Selama satu minggu rawat inap, suamiku selalu menemaniku, juga tidur di ruanganku. Setelah bekerja ia selalu menanyakan apa yang aku butuhkan agar ia bisa membawakannya. Kondisiku semakin melemah, dalam rentang satu minggu itu aku pendarahan setiap hari, sehingga yang paling kubutuhkan dan akan selalu dibawa oleh suamiku adalah pembalut. Sayang, pendarahanku semakin deras setiap harinya. Di akhir minggu mulai keluar gumpalan-gumpalan seperti menstruasi hari pertama atau kedua, tetapi sakitnya berkali-kali lipat dari menstruasi.

Janinku tidak bertahan.

Ia gugur.

Waktu terasa melambat setelah dokter kandungan akhirnya memastikan bahwa aku memang keguguran. Suamiku langsung mengambil cuti tahunannya agar kami bisa menghadapi kehilangan ini berdua. Aku meminta agar suamiku tidak memberitahukan tentang hal ini ke keluarga kami masing-masing. Selama satu minggu kemarin pun belum ada yang tahu aku rawat inap. Hanya personel band-ku yang tahu, tapi suamiku memberi tahu mereka bahwa aku harus operasi usus buntu. Aku tidak perlu dijenguk. Jadwal manggung satu bulan ke depan terpaksa dibatalkan.

Kami ingin menerima kehilangan ini berdua saja, dan rupanya itu keputusan tepat karena kehilangan ini rupanya menguatkan aku dan suamiku sebagai suami-istri.

Baca juga  Kematian Puisi

***

Sebelum kembali dengan rutinitas bermusikku, seorang teman perempuan menghubungiku. Ia meminta bertemu berdua saja. Aku mengiyakan tanpa curiga ia akan menceritakan satu rahasia yang hanya bisa diceritakan kepadaku.

“Aku menggugurkan kandungan.”

Spontan aku menutup mulut untuk menutupi keterkejutanku. “Kapan, Kila?”

“Sebulan yang lalu.”

Sebulan lalu aku pun resmi keguguran. “Bagaimana kejadiannya dan bagaimana kondisimu sekarang?”

“Ingat enggak, cowok yang aku kagumi? Kami ternyata bisa sedekat itu dan sampai melakukannya. Tapi justru setelah tahu bahwa dia tidak mau punya anak dariku, aku akhirnya sadar dia tidak selayak itu untuk aku kagumi.”

Kila bilang, ia menggugurkannya sendirian karena lelaki brengsek itu hanya kirim uang untuk semua biaya yang dibutuhkan. Kila menceritakannya dengan ekspresi wajah dan nada bicara yang datar, tidak ada kesedihan di raut wajah maupun suaranya.

“Maaf ya, ini semua harus terjadi padamu,” ujarku menenangkan, meski aku tidak yakin ia membutuhkan itu lagi saat ini.

“Enggak apa-apa, semua sudah berlalu. Aku enggak mau hancur sendirian, jadi aku sudah ngabarin ibunya tentang semua yang aku alami.”

“Kamu sudah kenal ibunya?”

“Kami belum pernah kenalan secara langsung sih, tapi aku tahu ibunya psikiater dan di mana tempat praktiknya. Jadi aku pura-pura mengantre untuk janjian konsultasi dengan ibunya. Saat aku masuk ke ruangan itu, aku ceritakan semuanya. Aku baru menyebut nama anaknya saat sesi berakhir dan aku harus keluar dari ruangannya.”

“Terus, gimana tanggapan ibunya?”

“Wajahnya terlihat shock. Dia nawarin bantuan apa pun yang aku butuhkan tapi aku bilang aku sudah enggak butuh apa-apa lagi dan keluar begitu aja dari ruangannya.”

“Bagaimana perasaanmu pada saat itu?”

“Lega. Aku bertekad menutup cerita ini setelah kasih tahu ibunya. Tapi kemudian dia marah waktu tahu ibunya tahu tentang hal ini. Dia nelpon, maki-maki, jadi aku blokir semua hal yang berkaitan dengan dia. Nomor ponselnya, media sosialnya.”

“Bagus,” celetukku spontan. “Apa rencanamu setelah ini? Apa yang bisa aku bantu?”

“Aku cuma pengen cerita aja. Aku hanya ingin membagi cerita ini ke orang lain yang aku percaya sebelum melanjutkan hidup baru. Tolong jaga rahasia ini, ya.”

“Tentu. Jangan khawatir soal itu.”

“Setelah menggugurkan kandungan, aku dirawat di rumah sakit hanya dua hari dan kembali bekerja seperti biasa, sampai hari ini. Tidak ada yang tahu, bahkan keluargaku. Semua berlalu sangat cepat. Mungkin karena aku enggak mau berlama-lama merasakan sakitnya.”

Aku tidak tahu bagaimana Kila menjalaninya, tetapi aku sama sekali tidak bisa membayangkan apakah aku bisa sekuat dirinya jika itu terjadi pada diriku. Aku dan suamiku baru saja kehilangan anak yang kami nantikan dari pernikahan ini, sedangkan Kila harus menggugurkan anak yang tidak diinginkan oleh orang yang dicintainya. Ujian kami berbeda, aku dan Kila tidak perlu membandingkan siapa di antara kami yang paling menderita. Aku tidak terpancing untuk menceritakan kehilanganku kepadanya yang sedang berjuang untuk bangkit dan memulai hidup baru.

Baca juga  Henning Dorg

***

Aku membutuhkan waktu satu tahun untuk menyelesaikan seluruh lirik dan aransemen lagu itu. Sepanjang karier bermusikku, sepertinya ini lagu yang paling menguras emosi dan paling berat untuk ditulis. Ada perasaan bersalah karena aku terlalu fokus berkarya, latihan, dan manggung sehingga tidak menyadari kehadirannya dalam tubuhku. Ia pernah ada, pernah hidup bersama kami berdua. Air mataku menetes setiap kali mengelus bagian bawah perut. Aku mengingat detail rasa sakitnya, baik fisik maupun mental.

Selama satu tahun, karierku membaik seperti juga kondisi kesehatanku. Aku mulai bisa menerima kehilangan ini. Aku selalu memantau media sosial Kila untuk memastikan ia baik-baik saja. Aku memberinya ruang untuk pulih dan bersiap kapan pun ia butuh. Rupanya ia memilih untuk melanjutkan studi ke luar negeri. Ia mendapat beasiswa penuh untuk bidang yang ia impikan sejak dulu. Kila memang sekuat itu dan aku selalu mengaguminya.

Setelah satu tahun, aku merasa sudah saatnya menceritakan semua ini ke publik bersamaan dengan rilis lagu terbaruku. Aku berharap bisa menemani siapapun yang pernah merasakan kehilangan, baik kehilangan buah hati, atau siapapun yang terkasih. Jelang rilis lagu, aku merasakan mual lagi setelah mengalami mimpi itu untuk terakhir kali. Tapi ini pertama kalinya aku bertanya-tanya, kenapa aku selalu memimpikan dua anak, bukan satu? ***

.

Catatan:

Cerpen ini terinspirasi dari lagu terbaru Isyana berjudul “Aku Rindu”.

.

.

Tenni Purwanti, mantan jurnalis yang sedang jeda karier untuk fokus menulis fiksi. Telah menerbitkan dua buku; kumpulan cerpen Sambal dan Ranjang serta memoar penyintas anxiety disorder berjudul Butterfly Hug.

Nugrahardi Ramadhani alias Dhani Soenyoto lahir di Lawang tahun 1981. Lulusan Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB ini kini tengah kuliah doktoral dan mengajar di Institut Sepuluh Nopember, Surabaya. Aktif menulis, berkesenian, dan menjadi juri di sejumlah kompetisi.

.
Lara Lare. Lara Lare. Lara Lare. Lara Lare. Lara Lare. Lara Lare. 

Loading

Average rating 2.7 / 5. Vote count: 11

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!