Cerita Anak Sabatini Dewanti (Kompas, 08 September 2024)
AKU tinggal di sebuah kampung yang dikelilingi Bukit Barisan. Sejak kecil, aku selalu mendengar tentang hutan larangan yang misterius itu. Aku penasaran dan akan pergi ke sana bersama temanku, Malin.
Pagi hari saat kabut mulai tersibak, aku berangkat dari rumah. Jarak rumah Malin tidak begitu jauh, aku pun telah sampai di rumahnya.
Malin tiba-tiba ragu ketika kami sampai di tepi hutan itu. Dari dalam hutan terdengar burung-burung sedang berkicau. Aku dan Malin pun masuk ke dalam hutan. Pohon-pohon besar tumbuh di sana.
“Malin lihat ini,” kataku.
“Ada apa?” tanya Malin
“Ini kubangan bekas babi hutan,” jawabku.
“Memang benar. Karena di sini berada dekat anak sungai,” Malin menerangkan.
Hutan itu sangat sejuk berkat pohon-pohon yang menjulang tinggi. Aku dan Malin merasakan waktu berputar lambat. Tanpa kami sadari, matahari sudah mau terbenam. Namun, aku dan Malin menyusuri hutan itu terlalu jauh. Kami berdua tersesat dan terpaksa bermalam di dalam hutan.
Hutan yang kami jelajahi tiba-tiba menjadi gelap, bahkan tak ada cahaya bulan di langit. Aku dan Malin tak membuat api unggun untuk mengusir kegelapan.
Keesokan harinya, kabut yang menutupi hutan larangan itu belum tersibak. Pagi itu, aku dan Malin menemukan sebatang pohon cempedak. Malin segera memanjat pohon cempedak itu. Sambil menikmati buah cempedak, kami melihat seekor burung enggang. Aku takjub melihat paruh besarnya yang bertunas. Burung enggang adalah simbol keberanian dan kekuatan di beberapa budaya Asia Tenggara.
Hutan larangan adalah hutan yang dijaga kelestariannya. Penduduk setempat telah bersepakat untuk tak menyentuh hutan itu. Semua demi menjaga hulu sungai yang airnya mengalir menghidupi desa. Mencegah terjadinya longsor dan banjir saat hujan lebat. Hutan larangan juga menyelamatkan desa bila musim panas tiba.
Namun, hutan larangan terbagi dua. Ada hutan larangan yang tak boleh diambil hasilnya. Hutan larangan di kampungku bisa disebut juga hutan adat. Dalam hutan larangan terdapat kunci kehidupan, seperti sumber mata air dan pohon. Hutan larangan juga dipercaya sebagai tempat asal-usul nenek moyang suatu masyarakat.
Sebelum tidur, aku membayangkan pergi lagi ke hutan tersebut. Malin pasti tidak akan mau lagi ke sana karena kejadian kemarin. Ayah dan ibu sangat marah karena aku dan Malin pergi memasuki hutan tersebut.
“Petualangan yang sangat menyenangkan,” aku bergumam.
Lalu aku tertidur lelap setelah mengenang penjelajahan itu. Hutan larangan ada karena kepedulian terhadap lingkungan, mereka yang menjaga kelestarian hutan telah mengamalkan sila kedua Pancasila. ***
.
Menjelajah Hutan Larangan. Menjelajah Hutan Larangan.
Leave a Reply