Cerpen, Gus tf Sakai, Kompas

Jarak

Jarak - Cerpen Gus Tf Sakai

Jarak ilustrasi I Made Bayu Pramana/Kompas

2
(17)

Cerpen Gus Tf Sakai (Kompas, 22 September 2024)

BAGAIMANAPUN tak pedulinya, toh Anggi telah melecek berlembar-lembar tisu. Trotoar tampak bagai memanjang dan hotmix serupa mengepulkan minyak, gemetar dalam atmosfer berdebu. “Jika ini semacam protes,” ujar Mita saat bubaran tadi, “maka apa yang kau lakukan adalah sesuatu yang tolol, Anggi.” Lalu si Bebek itu melompat ke atas mobilnya. “Dadah!” dan melaju, kemudian lenyap di gerbang sekolah.

Anggi meringis. Barangkali Mita memang tak mengerti, pikirnya. Protes? Jika dimaksudkan demikian, apa yang ia lakukan saat ini malah mungkin telah lebih dari tolol. Coba, gadis mana yang takkan sayang pada kulitnya? Sebagian besar uang saku, justru mereka pergunakan untuk bermacam lotion.

Dengar pula kata Pak Bon, “Non, sebaiknya Non membawa payung. Yang namanya sengatan matahari akan lebih menggigit pada kulit yang lembut. Belum lagi debu, pengapnya bus….” Uh, demikian lemah dan lainnyakah diriku di mata mereka?

Ditendangnya kerikil. Tak! Bergulir kelotak-kelotak. Dilayangkannya pandang. Seorang bocah kurus dekil tengah mengocok rebana genjrengan-nya di kemacetan traffic light. Suaranya lengking dari pintu mobil ke pintu mobil, untuk kemudian terjepit ditindih deru dan suara klakson yang saling pekik.

Anggi menghentikan langkah. Diperhatikannya gerik si bocah. Matanya memanggil, tapi mulutnya tak menyuarakan apa-apa. Akan percuma. Berapakah jarak antara mereka? Mendadak, Anggi terperosok ke pikiran itu: Jika benar mereka—bocah-bocah itu—tak pulang ke rumah, maka di tangan merekalah kerahasiaan jalan raya.

Ia ingat Midnight Express. Juga sebuah nomor dari Boney M: Menikmati sinar matahari. Bukan alasan untuk ucapkan selamat tinggal. Harus pulang ke rumah, ke rumah, ke rumah. Harus pulang ke rumah, ke rumah…. Ah, alangkah jauh. Tapi, bukankah karena ingin jauh Anggi tak mau dijemput oleh Pak Bon?

Baca juga  Cas Cis Cus

Si bocah melenyap. Tenggelam ke perut bus. Terus ke manakah ia? Seberapa jauhkah perjalanannya? Anggi menghela napas, dan mengempaskannya dalam keluh: Segalanya memang telah jauh. Telah jarak. Jarak? Apakah yang biasa orang ceritakan tentang jarak?

Jika ukurannya adalah kilometer, tentulah bukan sesuatu yang sulit untuk diperapat. Tapi ini: hanya dibatasi oleh sebuah dinding, dan mereka hidup dalam dunia berbeda. “Kost!” teriak Mita entah kapan, “Kupikir itulah penyelesaiannya, Anggi!” O, seandainya si Bebek itu pernah bertemu dengan Papi dan Mami lalu mengenali kondisi hubungan antara diri Anggi dengan mereka, tentulah pikiran demikian takkan ia anggap sebagai sebuah temuan. Tak mungkin itu. Tapi toh Anggi pernah mencoba.

“Kost?” kernyit Mami. “Kamu belum siap untuk itu, Baby! Kehidupan amat keras di luar sana, dan,” sederet asumsi buruk lantas meluncur serupa sekam di penggilingan. Ketika kemudian sampai ke telinga Papi dalam wujud laporan, Anggi akan menerima jejalan itu—pidato panjang yang selalu saja tak bisa ia serap karena telah lebih dulu disekat oleh kesan bosan.

Ah… Anggi tengadah. Kawat-kawat listrik dan telepon dan kubus-kubus kaca dan beton bagai memuai. Garis-garis geletar atmosfer tampak mencucuk apa saja dengan kuku-kukunya yang berkilat. Mendadak ia ingat Dd (Doomsday) dan beberapa nomor dari David Bowie. Saat pandangannya kembali jatuh ke jalan raya, berkelebat “Speed Demon” milik Michael Jackson.

Ditendangnya kerikil. Tak!

Kelotak, kelotak. Segalanya saling tindih. Saling enyak. Dan kembali: Menikmati sinar matahari. Bukan alasan untuk ucapkan selamat tinggal. Harus pulang ke rumah, ke rumah, ke rumah. Harus pulang ke rumah, ke rumah… ah, alangkah jauh. Jarak.

Tetapi uh, hanya sebuah dinding. Sebuah dinding! Mestinya Papi mengerti bahwa Anggi telah lama punya dunia sendiri. Bahwa semacam batas pada akhirnya menjelma, bukankah Anggi tak pernah menyalahkan mereka bahkan tak mempersoalkannya?

Baca juga  Episode Terakhir

“Harusnya kau omongkan terus-terang, Anggi. Open saja,” usul si Bebek, juga entah kapan. O, kalau saja Mita tahu betapa seringnya pikiran seperti itu melesat, tetapi yang kemudian senantiasa … ah, “Di situlah kesalahanmu!” hardik si Bebek sesudahnya. “Kau tak pernah mengutarakan apa yang kau rasa. Bukan menyuruhmu berontak, Anggi. Tapi, coba, mana ada pengertian tanpa komunikasi?”

Komunikasi. “Tindakan yang kau ambil justru: melarikan diri. Menyembunyikan segenap gejolak ke sebuah kamar….”

Kamar. “… lalu, bersama alunan musik, kau ciptakan dunia yang lain, asing, dan sendiri.”

Ah, Anggi menyusut peluh. Di kepanjangan trotoar, “Sailing”-nya Rod Stewart serupa menjalar. Di kepulan hotmix, “Imagine”-nya John Lennon serupa menguap.

Dan kamar itu. Ia bayangkan sudut-sudutnya, ke tempat mana angannya tertembus menyiasati ruang. Ia bayangkan dinding-dindingnya, poster-poster yang bertempelan di sana kepada siapa ia berdialog, berbaku cerita berbusa-busa, tentang dunia, keinginan-keinginannya, harapan-harapan… hei, kocokan rebana genjrengan! Seorang bocah, bocah yang lain, melompat dari bus dan berlari ke traffic light berikut.

Seperti tadi, Anggi menghentikan langkah. Matanya memanggil, tapi mulutnya tak menyuarakan apa-apa. Sebuah kamar, apakah artinya bagi mereka? Samakah jawabannya apabila Anggi menanyakan arti jalan raya? Dan, musik?

Di kawat-kawat listrik dan telepon, “Maybe”-nya Thom Pace serupa memuai. Di kubus-kubus kaca dan beton, “We Gotta Get Out of This Place”-nya Gilla serupa mencucuk.

Dan kembali: Menikmati sinar matahari. Bukan alasan untuk ucapkan selamat tinggal. Harus pulang ke rumah, ke rumah, ke rumah. Harus pulang ke rumah, ke rumah, ke rumah…. ***

.

.

Payakumbuh, 2 Juli 2024

Gus tf Sakai, pengarang dan penyuka akik lumut hijau Suliki. Lahir dan menetap di Payakumbuh, Sumatera Barat.

I Made Bayu Pramana, lahir di Denpasar, 2 Oktober 1984. Memulai karier sebagai fotografer pada 2003, sembari kuliah di PS Fotografi ISI Denpasar. Bayu menyelesaikan jenjang Magister Seni pada Program Pascasarjana ISI Yogyakarta dengan konsentrasi penciptaan fotografi pada 2010. Lalu kuliah magister seni dalam konsentrasi Pengkajian Seni dengan minat Fotografi pada Program Pascasarjana ISI Denpasar dan menyelesaikannya tahun 2017. Bayu menyelesaikan pendidikan jenjang S-3 pada Program Doktor Seni, Program Pascasarjana ISI Denpasar pada 2022. Saat ini Bayu bekerja sebagai seorang fotografer profesional, penulis, dan pengajar aktif pada almamaternya, yakni Program Studi Fotografi, Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institut Seni Indonesia Denpasar, yang sudah dilakoni sejak 2008.

.
.

Loading

5 Comments

  1. Dom

    Apa sih ini?

  2. Anonymous

    Ini keren

  3. Lia Laeli Muniroh

    tak paham dengan ceritanya

  4. Anonymous

    apa makna dari cerpen ini?

  5. anonymouse

    ini apaan sih

Leave a Reply

error: Content is protected !!