Cerpen Hasan Al Banna (Koran Tempo, 22 September 2024)
ASLI. Tak ada istimewanya makam itu. Ya, hanya makam kering yang dikurung deretan makam batu. Makam batu, istilah warga menamai makam berkeramik-bernisan pualam atau setidaknya disemen permanen. Makam itu tidak; hanya ditandai susunan batu sungai menyerupai kapak ukuran besar, tertancap menuruti garis keliling perseginya. Nisannya cuma cetakan semen tak simetris disertai ukiran doa dan data diri. Namun makam berusia 20-an tahun itu menyimpan cerita rumit. Setidaknya untuk menelusuri mengapa saban ditanya, warga akan menjawab: makam Haji Bangladesh.
Sialnya, bukan nama itu yang tergeret di nisan. Cerita punya cerita, mulanya penyebutan terhadap makam itu masih sesuai nama di nisan. Namun lambat laun warga yang mudah membeo ikut-ikutan. Lantas siapa gerangan Haji Bangladesh? Asalnya dari Bangladesh? Tidak. Orang kita, orang pribumi. Jadi? Halah, panjang ceritanya. Lagian bingung mulai dari mana….
Kampung Haji, demikian nama negeri ditabalkan. Padahal secara administrasi pemerintahan tidak. Lalu? Ya, begitulah, lama-lama diseru Kampung Haji. Semula hanya diserukan warga kampung sebelah. Seiring masa, lurus dilafazkan warga setempat. Jika diusut-usut dan terterima akal, bisa jadi karena saking banyaknya yang bergelar haji. Sampai sekarang pun Kampung Haji masih tercatat sebagai penyetor jemaah terbanyak tiap tahun. ONH naik membubung, tak soal. Daftar antrean memanjang, tak mempan.
Lumrah saja. Soalnya di Kampung Haji, yang kaya lebih banyak ketimbang yang miskin. Mata pencarian utama masyarakatnya bertani dan memiara ternak. Jikapun ada pegawai negeri rendahan atau pedagang, hampir pasti punya sawah-kebun atau kambing-lembu. Nah, yang tidak punya, setidaknya salah satu, sudah sah dicap miskin. Itu pun jumlahnya tak seberapa. Berarti keabsahan orang kaya ditentukan oleh sawah-kebun atau kambing-lembu? Sesungguhnya tak sempurna kekayaan seseorang jika belum naik haji, demikian keyakinan yang dianut turun-temurun.
Entahlah, seturut keyakinan itu, lelucon terkait haji beranak pinak. Ada-ada saja dan cenderung mengolok-olok. Mulai dari Haji Tomat, berangkatnya tobat pulangnya kumat; sampai Haji Alamak, alim tak maksimal. Ya, lelucon-lelucon sesuai variasi perilakunyalah. Namun lelucon ‘Pak Haji berjudi: oalah, tetapi Pak Haji menang: olala’ merupakan olok-olok paling berjaya. Kesannya mengada-ada. Jatuh-jatuhnya menista. Iya, kan? Bagaimana lagi, begitulah kenyataannya. Banyak yang haji tetapi maaf-maaf saja, masih hobi main judi dam batu. Tak sedikit yang haji berkali-kali, tetapi masih sering mincu. He…, he…. Mincu itu kependekan dari minum cuka. Bukan minum cuka sebenar-benar cuka, melainkan menenggak tuak. Sebenarnya aneka lelucon tersebut bukan fakta mutlak, hanya amsal-amsal main pukul rata. Intinya, sudah haji tetapi kebanyakan masih menjalankan larangan agama.
O, banyak-banyak minta ampunlah kita. Soalnya masih ada orang baik-baik sekalipun kalah banyak. Sebut saja Haji Bernad, mualaf tetua pengurus masjid yang tak pernah berperilaku melenceng. Pun Haji Sobir tauke kilang padi, disenangi warga karena budi baiknya. Sayang, tabiat anak lajangnya berbanding terbalik. Malim Alamsyah sekalipun bukan haji, kealimannya istikamah. Ada ustaz Mulana, masih muda tetapi lumayan berwibawa.
Nah, mereka pun sudah bolak-balik menyerukan petuah, baik di pengajian maupun di mimbar khotbah. Baik terang-terangan maupun dibungkus sindiran. Hah, tak laku! Bahen na di ho ubahen na di au alias urus diri masing-masing! Alhasil, menjadi kebiasaan meskipun tak pula bisa dibenarkan.
Namun pernah cerita jadi ramai gara-gara seorang lelaki tua. Apa hal? Sebentar, dengar dulu. Lelaki tua itu bernama Kayo! Dia pendatang entah dari kampung mana. Anak-anaknya ada, tetapi nun di tanah rantau. Sehari-hari Kayo dan istrinya bersawah. Bukan sawah sendiri, melainkan menyewa sawah orang. Dia tahu adat, tahu agama, dan tahu bermasyarakat. Jika tak sedang di sawah, dia di masjid. Sesekali dia duduk di kede kopi meskipun lebih sering sebagai pendengar.
Nah, Kayo bukan tukang cerita, tetapi sekali cerita malah jadi bahan cerita. Bermula saat menerima undangan lisan upa-upa—acara tepung tawar calon haji—Kayo tanpa sadar membisikkan doa hati: semoga tidak menjadi Haji Bangladesh. Entah bagaimana, kuping utusan pengundang rupa-rupanya jauh lebih tajam. Setelah didesak-desak setengah berseloroh, Kayo akhirnya bercerita pula dengan intonasi seloroh-seloroh jambu.
“Jangan macam kawan itu cuma sai dan tawaf di Bangladesh saja, tak sampai ke Tanah Suci,” kata Kayo sambil memelintir suir tembakau ke gelungan daun nipah.
“Bah, bagaimana pulak itu?”
“Iya. Dulu itu kan naik haji menumpang kapal laut. Lima belas hari dari Belawan ke jazirah Arab. Pendek cerita, singgahlah kapal di Bangladesh. Kayo bicara berjeda-jeda sambil menyalakan rokok dengan loting—geretan api bersumbu. Asap rokok bikin hidung dan mata terasa pedas, “Sudah dihalo-halokan jangan turun, tapi turun juga kawan itu. Jalan-jalan sebentar saja, pikirnya mungkin. Ujung-ujungnya ketinggalan kapal,” sambung Kayo sibuk menyalakan rokok yang rasa-rasanya padam saban saat.
“Terus?”
“Tak hilang akal dia. Uncangnya berlebih-lebih uang. Orang berhaji di Baitullah, kawan itu rekreasi di Bangladesh. Tahu dia kapal haji bakal singgah lagi di Bangladesh waktu kapal putar kepala pulang ke Indonesia. Ya, naik lagi kawan itu.”
“Tak hajilah dia?”
“Apa pulak tak haji?” sergap Kayo, “Kepalanya berlilit sorban. Bajunya putih, celana kendornya putih. Sabuknya yang hijau dan bersaku terbebat mantap di pinggang. Sarungnya melekat di badan, entah terjuntai entah terpasang. Dia berpakaian haji, bukan?”
“Ya, mana pulak kek gitu haji?”
“Haji. Haji Bangladesh,” sambar Kayo pura-pura serius, “Malah kawan itu disambut sanak saudara layaknya orang pulang haji.”
“Ha…, ha…, ha….”
“Empat puluh hari sejak pulang haji, tak putus-putus kawan itu bercerita keagungan Ka’bah dan tempat ibadah lainnya. Asyik dia cerita sambil sesekali memandang karpet bergambar Mekkah yang dipajang di dinding. Oleh-oleh makan-minum dan buah tangan yang diborong di Bangladesh dibagi-bagi ke tamu yang datang silih berganti….” Intonasi suara Kayo seolah masih menyimpan susulan cerita. Namun dia cuma tersenyum. Tak senyum pahit, tak pula senyum sinis. Bukan senyum geli, bukan pula senyum senang. Senyum Kayo tak berjenis. Dia tersenyum hanya agar kalimat lanjutan tak pecah di lidahnya. Haji tinggal haji. Tabiat badan tiada berubah, maksiat diri rimbun berbuah. Kampung Haji nama diberi, berkah negeri jauh panggang dari api.
Ah, Kayo kerap gagal mengampelas kalimat-kalimat yang menurutnya kasar itu. Susunan kalimat yang lalu menyusu rakus ke levernya. Baginya, biarlah. Dulu dia punya nyali, memang. Kebenaran itu tegakkan dan kebatilan itu bengkokkan, bilangnya tempo waktu. Namun kini Kayo mati nyali. Apa hal? Sudahlah, tak ada hal yang perlu dijelaskan. Jelasnya Kayo memilih pergi meninggalkan kampungnya sendiri. Pindah kampung dengan seluruh cerita yang tersimpul erat di senyumnya….
“Eh, teringatnya di mana gerangan Haji Bangladesh itu?”
“Di mana-mana ada,” suara Kayo sama sekali tak terdengar. Matanya kosong menatap rokok nipahnya yang padam.
Namun, bagai api di jerami kering, buah cerita Kayo tersulut mulut ke mulut. Siapa jamin bunga api tak percik-memercik? Tak dinyana cerita makin marak-poranda. Warga tak peduli jika cerita itu condong mengada-ada, belum tentu sebenar-benarnya. Banyak celah cerita yang menganga dan mudah disanggah. Apa ada catatan pasti yang menyatakan kapal haji transit di Bangladesh, misalnya? Lalu, bagaimana bisa jemaah haji yang serombongan dengan Haji Bangladesh terlibat kesaksian palsu?
Terlepas Kayo paham atau tidak soal rasis, dia tak bermaksud menjelek-jelekkan orang Bangladesh. Bisa-bisa Kayo hanya meminjamnya sebagai latar yang merujuk kawasan Asia. Tak tahu-menahu dia jika Indialah lokasi transit kapal haji, seperti tertulis di kliping-kliping berejaan lama. Namun antara percaya tak percaya atau merasa cerita Haji Bangladesh lucu-lucu kurang ajar semata, warga merayakan cerita Kayo. Tak di pekan, kede kopi, pancuran, majelis taklim, dan masjid.
Cerita Haji Bangladesh geger! Banyak warga yang sibuk tebak-tebak manggis: siapa gerangan Haji Bangladesh? Ah, macam tak ada kerjaan lain. Lagian jikapun ada, manalah bakal mengaku? Namun persoalan menjurus serius ketika tak sedikit haji yang tersinggung ulah cerita Kayo. Ada yang cuma mengutuk dalam hati, ada pula yang sampai mengintimidasi.
“Oi, Kayo. Lekas-lekaslah kau jadi kaya seperti arti namamu, biar lekas kau pergi haji. Orang sudah bolak-balik haji, kau malah jadi musuh haji!”
Kayo tahu diri, tak meladeni api dengan besi. Kayo memilih menyesali keceplosannya mengisahkan Haji Bangladesh. Dia sudah melanggar janji hati. Lalu Kayo memilih menyibukkan diri menggarap sawah, memakmurkan masjid dan majelis taklim, tapi sudah jarang ke kede kopi. Namun Haji Bangladesh tak meniru badai pasti berlalu. Malah menjelma lelucon baru, terlebih kala musim haji tiba. Doa “mudah-mudahan haji mabrur” sekonyong-konyong sepadan dengan “semoga bukan menjadi Haji Bangladesh”. Setiap lelucon Haji Bangladesh terbit, nama Kayo ikut terseret.
Pernah ada kejadian lucu saat gelaran upa-upa calon haji. Entah sengaja atau entah silap kata, ustaz Mulana tiba-tiba saja lancar jaya melantunkan sebaris doa tak biasa: Jauhkan saudara-saudara kami dari kutukan Haji Bangladesh. Kontan sahutan amin tersapu keriuhan cekikik-cekakak hadirin. Kayo tak termasuk karena sudah belasan musim haji tak lagi diundang ke acara upa-upa.
Hidup terus berlangsung. Warga sibuk dalam urusan masing-masing. Di Kampung Haji, hal-hal makruf tak juga bertambah dan yang mungkar boleh jadi terus menjalar. Sampai Kayo wafat, lelucon Haji Bangladesh tetap abadi. Lantas tak akan ada yang tahu wasiat serius Kayo kepada anak istrinya: Kelak ukiran nama di nisanku, jangan diawali huruf H.
Anak istrinya patuh. Maka baris nama yang terguris setengah melengkung di nisannya: Kayo Sutan Mulia bin Sutan Lamo. Nama di nisannya tak pernah berubah sekalipun mulut beo warga menyulapnya menjadi Haji Bangladesh! ***
.
.
Medan, 2024
Hasan Al Banna, bekerja di Balai Bahasa Provinsi Sumatera Utara. Ia menulis buku prosa berjudul Sampan Zulaiha (Koekoesan, 2011) dan Malim Pesong (Obelia, 2022).
..
Leave a Reply