Cerpen Eep Saefullah Fatah (Kompas, 29 September 2024)
MESJID di Kampung kami heboh. Jumlah dana yang terkumpul dalam Koropak Masjid tiba-tiba saja membengkak. Jumlahnya jauh lebih besar dari biasanya.
Oh ya, Koropak di Mesjid itu adalah kotak kayu tua berlubang kecil untuk menampung infaq para jemaah. ”Koropak itu nama pendek untuk kotak gotong-royong infaq. Jadi mestinya penulisannya ’Korofaq’, dengan huruf ’f’ dan ’q’,” kata Haji Daud, Ketua Pengurus Mesjid, suatu ketika. Entah benar begitu atau sekadar karangan Haji Daud, tentu saja tak ada yang tahu persis.
Biasanya, dalam satu kali shalat Jumat, uang infaq yang terkumpul di kisaran Rp 300 ribu sampai dengan Rp 400 ribu. Angka tertinggi biasanya hanya terjadi sekali saja dalam setiap bulan: Di tanggal muda. Di awal bulan, sejumlah jemaah rupanya menambahkan sedikit infaqnya karena uang gaji mereka masih lumayan utuh, belum tersedot habis oleh kewajiban membayar utang dan beban rutin lainnya.
Tiba-tiba saja, dalam tiga Jumat berturut-turut jumlah dana infaqnya membengkak. Ada jemaah yang memasukkan infaq berupa lipatan 5 lembar uang Rp 100 ribu.
Merbot Mesjid, anak-anak muda yang bertugas mengurus Jumatan dan para pengurus Mesjid tentu saja menjadi heboh mendapati lonjakan isi Koropak itu. Tak pernah seumur-umur di kampung itu ada yang berinfaq ke dalam Koropak Mesjid sebesar itu.
Yang jelas, memang kurang masuk akal ada yang berinfaq sebesar Rp 500 ribu ke dalam Koropak. Sebab, berinfaq ke dalam Koropak adalah berderma secara senyap. Tak akan ada yang tahu persis siapa yang melakukannya. Berinfaq besar ke dalam Koropak perlu sikap legawa… menuntut kebesaran hati yang tak main-main.
Umumnya mereka yang berinfaq Rp 500 ribu akan menyerahkannya ke Pengurus Mesjid dan kemudian namanya diumumkan sebelum Jumatan. Dan itu amat sangat jarang terjadi juga di Kampung kami yang sebagian besar warganya hidup secara serba terbatas.
Berinfaq sebesar itu ke dalam Koropak hanya bisa dilakukan oleh mereka yang bersedia menjadi pahlawan tanpa nama. Sekaligus, menjadi pahlawan tanpa tanda jasa.
Tapi dalam urusan ini, hampir semua orang merasa bisa dengan mudah menebak siapa Sang Munfiq, pemberi infaq itu. Ya, semua orang terpikir satu nama yang sama. Hanya satu nama belaka: Pak Asikin!
***
Pak Asikin adalah warga Kampung yang sudah lumayan lama pindah ke Kota Kabupaten. Persisnya sejak sekitar 3 pemilihan umum, atau sekitar 15 tanun, lalu.
Ia satu-satunya anak Kampung kami yang berhasil menerobos masuk ke Dewan di Kabupaten. Tiga kali berturut-turut Pak Asikin terpilih menjadi Anggota DPRD. Dan sejak pertama kali terpilih itulah ia memboyong keluarganya pindah ke pusat Kota.
Sesekali saja Pak Asikin pulang kampung. Dua tahun setelah menjadi Anggota Dewan, ia memang membeli tanah yang sangat luas di pinggir jalan raya dan membangun rumah berlantai tiga yang megah. Rumahnya berbeda sendiri dibanding semua rumah di sekitarnya dan karenanya sering jadi penanda alamat para tetangganya. Semacam mercusuar buat para pelaut yang mencari daratan dan hendak menakar kedalaman pantai.
“Tiga rumah dari rumah Pak Asikin.”
“Hanya 200 meter saja dari rumah Pak Asikin.”
“Dari rumah Pak Asikin tinggal belok ke kiri.”
“Masuk saja ke gang persis di sebelah rumah Pak Asikin.”
Begitulah biasanya orang-orang kampung menjelaskan alamat dan letak rumahnya. Kasihan juga orang-orang yang rumahnya terlalu jauh dari rumah Pak Asikin—mereka tak bisa mengaitkan alamatnya dengan rumah megah dan mewah itu.
Sudah sekitar satu bulan terakhir, Pak Asikin pulang kampung meninggali rumahnya itu. “Tetirah,” kata orang-orang. Memang sejak selesai Pemilu terakhir, beredar kabar bahwa Pak Asikin tak terpilih lagi. Mungkin karena sebab itu ia dan keluarganya tetirah di Kampung.
Sudah satu bulan pula Pak Asikin bershalat Jumat di Mesjid Kampung. Jadi, amat sangat masuk akal jika semua orang memvonis serta merta bahwa lipatan lima lembar Rp 100 ribu yang melesak masuk ke Koropak itu datang dari tangan dan kebaikan hati Pak Asikin.
Para pengurus Mesjid pun bersilaturahim ke rumah Pak Asikin. Hampir semua pengurus ikut serta. Jadilah ruang tamunya yang memang luas itu seperti ruangan rapat pleno Pengurus Mesjid.
“Pak Asikin, terima kasih banyak untuk kontribusi Bapak yang luar biasa untuk Mesjid kita, selama ini dan juga belakangan ini,” ujar Haji Daud. Ketua Pengurus Mesjid ini tentu saja tak menyebut spesifik soal infaq 3 x Rp 500.000 itu. Tak elok membeberkan secara terbuka infaq yang pemberinya justru menjadikannya sebagai derma secara senyap.
“Tak ada yang lebih membahagiakan saya dan keluarga selain bisa melakukan sesuatu yang nyata, yang konkret, untuk lingkungan terdekat kami, Bapak-bapak…” Pak Asikin menjawab ungkapan terima kasih itu dengan wajah datar dan tenang. Terlihat sekali ia memang sudah sangat berpengalaman sebagai politisi. Kata-katanya terjaga dan terukur.
Tanpa sempat disuguhi apapun, mungkin karena jumlah tamunya yang terlalu banyak, silaturahim a la Rapat Pleno Pengurus Mesjid itupun bubar.
“Semoga Pak Asikin lama tetirahnya di sini. Jadi isi Koropak kita akan selalu banyak setiap Jumat,” bisik Haji Daud pada Imam Mesjid yang berjalan di sebelahnya. Di belakang mereka, atap lantai tiga rumah Pak Asikin sudah mulai tak terlihat, diterkam beberapa tikungan jalan setapak dan terhalang pohon-pohon besar.
***
Sejak itu, hampir tak ada pembicaraan di Kampung kami yang tak menyebut Koropak Mesjid yang isinya membengkak, Pak Asikin yang dermawan dan rendah hati, plus doa agar Pak Asikin tetirah berlama-lama.
Di kampung kami yang kecil tapi padat, Kepala Dusun keseleo di jamban saja beritanya menyebar dengan sangat cepat. Apalagi kehebohan semacam lonjakan isi Koropak Mesjid itu.
Ketika kehebohan soal membengkaknya dana infaq di Koropak Mesjid itu sampai ke telinga Habibullah, maka sama artinya semua orang sekampung tanpa kecuali sudah tahu. Habibullah memang termasuk golongan Jemaah yang kurang peduli pada soal-soal di luar ibadah pribadinya.
Ia menganggap Mesjid adalah Rumah Allah dan sebagai jemaah Mesjid ia hanya berurusan dengan Allah. Jadi, jika Habibullah saja sudah tahu berarti semua jemaah lain sudah tahu duluan. Padahal, rumah Habibullah terhitung sangat dekat dengan Mesjid.
Mesjid itu berdiri di pinggir persawahan. Letaknya di dataran yang lebih tinggi dari sekitarnya, tapi terlalu rendah untuk disebut bukit. Berdiri megah di pinggir sungai yang berbatu besar dan berair jernih.
Letak mesjid itu tak terlalu jauh dari rumah Habibullah. Sekitar 300 meter saja. Sebelum mencapai mesjid, Habibullah sebagaimana semua jemaah yang berumah di seberang sungai harus melewati jembatan bambu hasil gotong royong warga Kampung itu.
“Aku rasa, mesjid ini beranda Surga,” kata Habibullah berkali-kali ke tetangga-tetangganya. Ia memang selalu merasa nyaman luar biasa setiap kali berada di Mesjid itu… lima kali dalam setiap hari.
Rumah Habibullah dihubungkan dengan Mesjid oleh jalan setapak di bantaran sungai hingga berbelok ke Jembatan Bambu.
Sebetulnya itu rumah barunya. Ia bangun di atas seperempat saja dari tanahnya yang tersisa. Tiga perempat tanah sisanya, plus rumah lama di atasnya, sudah ia jual.
Habibullah merasa rumah lamanya, warisan orang tuanya, terlalu besar sejak istri dan dua anaknya menjadi korban Covid beberapa tahun lalu. Hanya ia sendirian yang selamat.
Sejak itu, buat Habibullah rumah itu bak penjara yang memerangkapnya dalam kesedihan berkepanjangan. Semua hal di dalam rumah berdinding bilik anyaman bambu, berkamar tiga dan berhalaman luas itu mengingatkannya pada istri dan anak-anaknya. Ketiganya direnggut darinya secara sangat tiba-tiba. Ia merasa tak diberi kesempatan mempersiapkan diri untuk kehilangan amat besar itu.
Habibullah pun tak punya pilihan lain selain menjual rumah lamanya. Ia juga bersyukur, pembelinya, orang dari Kampung sebelah, langsung merobohkan rumah lamanya yang penuh kenangan menyedihkan itu. Wajar jika orang itu menganggap rumah itu tak layak huni dan berniat untuk segera membangun rumah baru yang lebih kokoh di atasnya.
Ia sendiri merasa cukup dengan menyisakan seperempat saja dari lahannya. Di atasnya ia bangun rumah kecil, berdinding bilik juga, yang ia tinggali sendirian. Hasil penjualan rumah lamanya amat sangat cukup untuk membangun rumah barunya yang mungil ini.
Bahkan Habibullah bisa berbagi juga dengan tiga keluarga kakak dan adiknya. Sekalipun ketiganya sudah mendapatkan bagian masing-masing dari warisan orang tua mereka, ia tahu persis hidup kakak dan adik-adiknya itu lumayan berkekurangan.
***
Habibullah pun selalu memperlakukan hari Jumat secara berbeda. Sebelum Subuh ia mandi lebih lama dan lebih bersih dibanding hari-hari lainnya. Selepas Subuh ia gunting kuku tangan dan kakinya serapih dan sebersih mungkin. Sambil menunggu Dhuha ia setrika baju koko terbaiknya dan sarung yang warnanya sesuai.
Sebelum pukul 11.00, jauh lebih awal dari jemaah lainnya, Habibullah meninggalkan rumah menuju Mesjid.
Rumahnya memang kecil tetapi begitu dekat dengan Mesjid. Inilah yang selalu ia syukuri.
Hal lain yang juga sangat Habibullah syukuri adalah bahwa setelah membangun rumah kecilnya dan berbagi dengan tiga keluarga kakak-adiknya itu, ia masih punya sisa yang lumayan besar. Bahkan sangat besar untuk ukurannya.
Sisa uang itulah yang ia pisah-pisahkan menjadi lipatan lima lembar Rp 100 ribu dan disimpannya baik-baik dalam laci lemarinya yang terkunci.
Sudah 3 kali Jumatan ia masukkan lipatan uang itu ke Koropak Mesjid. Niatnya sudah bulat untuk menghabiskan sisa uangnya di dalam laci lemari untuk Jumat-Jumat berikutnya. Ia juga berniat untuk selalu datang ke Mesjid paling awal. Tak boleh ada seorang pun yang melihatnya memasukkan uang itu ke Koropak. Hanya dirinya dan Tuhan saja yang boleh tahu. ***
.
.
Bintaro, 11 Agustus 2024
Eep Saefulloh Fatah, lahir dan besar di Cibarusah, Bekasi, sejak 2009 mengelola firma riset dan konsultasi political marketing dan saat ini menjadi penyiniar lewat Keep Talking di Youtube.
Andreas Camelia adalah perupa asal Bandung yang memulai kegiatan berkeseniannya dengan belajar secara otodidak. Ia bergabung dengan studio Rangga Gempol pada 1980 dan semenjak saat itu terus berkarya dengan media lukis dan drawing dengan teknik pointilis.
.
.
.
.
Leave a Reply