Cerpen Kukuh Basuki Rahmat (Koran Tempo, 29 September 2024)
PERASAANKU begitu aneh ketika memasuki ruangan ini. Beberapa foto keluarga terpajang di dinding ruang tamu. Tak jauh beda dari orang biasanya. Hanya aku masih menaruh rasa curiga terhadapnya. Entah mengapa perasaanku berubah 180 derajat dibanding saat aku pertama kali bertemu dengannya. Sepertinya ada perasaan tidak aman berada di rumah ini bersama dia.
“Kenapa berdiri terus? Duduklah!” ucapnya kepadaku.
“Eh, iya. Ini foto-foto keluarga kamu, ya?” tanyaku sambil menunjuk beberapa foto di ruangan itu.
“Iya.”
“Terus, mereka ke mana sekarang?”
“Mereka kini ke rumah adik saya yang baru melahirkan di Manado.”
“Terus mereka tidak pulang ke sini lagi?”
“Yah, nanti. Mungkin masih lama lagi. Maklum, cucu pertama. Pasti bikin pingin dekat terus.” Jawabnya sambil tersenyum kecil.
Perkataan-perkataannya begitu kaku. Seolah-olah ia butuh waktu untuk merangkai kata-kata yang hanya sederhana itu. Sejak kemarin aku bertemu dengannya, tidak ada yang terlalu berkesan. Ketika ia membantuku merapikan buku-bukuku yang terserak di jalan karena tali di motorku putus, dia kupandang cukup simpatik dan menarik. Aku cukup terkesan ketika ia berinisiatif mengangkutkan sebagian bukuku ke motornya menuju perpustakaan tempat aku mendonasikan beberapa bukuku.
***
SESUAI dengan janjiku, hari ini aku menyanggupi undangannya untuk datang ke rumahnya. Dia menjemputku di rumah pagi-pagi sekali, yaitu pukul 06.30. Dia beralasan hanya bisa pagi karena siang dia ada keperluan ke luar kota. Dengan janji yang super-pagi itu, aku dibuat ribet berbalap dengan waktu. Tidak! Tidak! Aku tidak sedang berjanji dengan kekasih atau seseorang yang menarik. Aku hanya ingin menepati janjiku sebagai balas budi karena ia kemarin telah menolongku merapikan bukuku yang tercecer di jalan dan terbawa angin. Ia juga bersedia membawakan beberapa buku itu di jok motor matic-nya. Sebuah pertolongan yang sebenarnya tidak aku butuhkan.
***
SEPULANG dari menyumbangkan buku-bukuku ke sebuah sekolah, aku menyempatkan diri bercakap-cakap dengannya di teras perpustakaan. Dari situ aku mengenalnya lebih dekat, dan memang ia juga suka membaca buku. Tapi memang ada yang aneh dalam dirinya. Bukan sesuatu aneh yang menarik, tapi sebaliknya, aneh yang agak membosankan. Pola pembicaraannya berputar-putar tanpa ada alur yang jelas. Bagaimana cara ia memandangku juga membuatku tidak nyaman. Dari sekian pria yang mengenalku, mungkin baru dia yang kurasa lebih baik aku tidak mengenalnya. Seolah-olah hanya membuang waktu saja berbicara dengannya.
Di akhir pembicaraan, dia mengundangku untuk datang ke rumahnya dan ia bilang ingin mengundangku makan pagi. “Apa? Makan pagi?” pikirku. Ini adalah ajakan yang paling aneh dari undangan seumur hidupku. Biasanya orang mengundangku untuk makan malam, makan siang, atau lainnya. Kali ini aku diajak untuk makan pagi.
***
“DUDUKLAH!” dia mempersilahkan aku duduk sambil menyeret ke belakang kursi kayu bergaya kuno di ruang tamu itu. Meja ruang tamu berbentuk kotak dan di atasnya beralas marmer itu dilapnya secara terburu-buru.
Sejak aku masuk ke rumah ini, aku juga kurang nyaman dengan lantai yang penuh debu. Aku sangat bisa merasakannya sejak aku melepas sepatu hak tinggiku di depan pintu.
“Kita mau makan di sini?” tanyaku.
“Iya, di sini tidak ada ruang makan,” jawabnya sembari menghilang menuju dapur. Aku menghirup aroma nasi goreng. Ya, aku cukup familiar dengan aroma ini. Benar, dia muncul dari dapur dengan membawa dua piring dan satu bakul nasi goreng.
“Kau membuatnya sendiri?” Aku mengembangkan sedikit senyumku sambil dahi mengernyit tanda kurang percaya bahwa ini buatannya sendiri. Ia pasti memesan makanan di luar dan dia ingin menarik perhatianku dengan rasa nasi goreng ini. Jelas dia menginginkan sesuatu dariku. Tapi caraya sungguh kaku. Segala gelagatnya bisa kubaca.
“Ya, ini buatanku sendiri. Ibuku dulu penjual nasi goreng, jadi aku ya ketularan pintar masak nasi goreng.” Ia mencoba mengeluarkan humor, namun itu sungguh kering dan tidak lucu. Aku hanya menanggapinya dengan senyum kecil yang kupaksakan. Hanya sebagai tanda penghormatan sosial saja.
“Istrimu mana?” Oh, mengapa aku menanyakan pertanyaan bodoh ini?
“Istri? Kekasih saja aku belum punya. Dan belum pernah punya.”
“Hah, jadi kau tak pernah punya kekasih? Sial sekali hidupmu.” Aku sebenarnya menyesalkan kata-kata sekasar itu kepada orang yang baru kukenal. Namun perasaan janggal yang spontan membuat kata-kata itu melesat begitu saja. Namun aneh, dia hanya menanggapi perkataanku dengan ringan sambil tersenyum. “Ini hanya soal pilihan hidup.”
“Pasti kriteriamu yang berlebihan, terlalu neko-neko. Atau kamu kurang begitu pintar menaklukkan hati perempuan idaman yang pernah kau jumpai.” Ah, aku tidak tahu apakah tanggapanku ini tepat.
“Tak banyak orang yang bisa memahamiku. Banyak yang bilang nyentrik, aneh, atau gila. Intinya aku bukanlah stereotipe laki-laki ideal dambaan wanita.”
Benar. Itu benar sekali. Aku mengiyakan dalam hati. Mulai dari kemarin sampai sekarang, tak kutemukan sesuatu yang menarik dari dirinya. Dia adalah pria paling membosankan yang pernah kukenal. Dan ada lagi, tingkah lakunya memang aneh, tidak seperti pria biasanya yang cukup lihai bermain kata dan rayu dalam menghadapi wanita secantik aku. Kurasa memang benar perasaanku. Memenuhi undangannya sarapan pagi di rumahnya cukup menjemukan dan aku berharap waktu cepat berlalu untuk segera pulang dan bertemu dengan teman-teman untuk pergi ke mal.
“Dan kamu adalah satu-satunya perempuan yang pernah kuajak makan sekaligus datang ke rumahku.”
“Terus apa masalahnya denganku?”
“Tahukah kamu bahwa kau itu cantik?” Ia mulai mengeluarkan rayuan yang sangat-sangat basi dan tidak kreatif. Aku semakin muak berlama-lama di sini. Kurasa dia memang bermasalah.
***
PADA saat aku diantar pulang olehnya, ada suatu hal kecil yang aku kira sangat membuatku terpukau. Ia memberikan satu lemari penuh bukunya untuk perpustakaan yang kurintis bersama temanku. Namun aku kira perkataan-perkataanku yang judes dan kasar di akhir pembicaraan tadi akan mengubah pikirannya.
“Besok akan kuantarkan langsung ke perpustakaan dengan menumpang truk sayur tetanggaku. Namun aku kira kita tidak perlu bertemu lagi. Besok aku akan pergi ke luar kota, berkelana,” ucapnya sambil agak menoleh ke belakang.
Aku bingung bagaimana menanggapi kalimat yang memang membingungkan dan ganjil darinya. Apalagi kata-katanya tidak jelas karena angin juga begitu kencang. Ah, aku tidak mau menafsirkan terlalu dalam.
“Lalu rumahmu?”
“Rumahku?” Ia mengambil jeda sejenak. “Itu tidak nyata. Semua yang kau lihat hari ini adalah ilusi. Termasuk aku.”
Aku tidak tahu apa yang dimaksudkannya. Sepertinya ia seorang mantan pemain teater yang mempunyai metafora-metafora aneh untuk mengungkapkan sesuatu. Atau memang dia orang yang tidak waras saja.
“Lalu kamu mau ke mana?” tanyaku seolah tidak merasa aneh.
“Tak usah bertanya ke mana aku pergi. Bukankah aku tak cukup menarik untuk kau kenal lebih dalam?”
Kemudian ia menurunkanku di depan rumahku. Tanpa sepatah kata pun, ia langsung pergi dengan motornya, menghilang di ujung jalan. Saking bingungnya, aku lupa mengucapkan terima kasih.
***
PAGI ini buku-buku itu datang diantarkan mobil ojek online. Semuanya tampak rapi dan bersampul mika tebal. Didorong rasa penasaranku, aku ingin mengunjungi rumahnya lagi walau ia bilang tak boleh ke rumahnya lagi. Aku ingin mengucapkan terima kasih. Kupacu motorku dengan kecepatan sedang.
Sesampai di sana, aku gusar melihat tidak ada bangunan rumah di situ. Hanya hamparan kebun bawang merah yang melambai tertiup angin semilir. Seperti tak percaya, aku mendekati kebun itu melalui jalan setapak. Kusentuhkan jariku ke tanah yang kering. Aku menengok ke kiri dan ke kanan sambil berharap melihat ada sebuah petunjuk dari apa yang terjadi di sini.
Kepalaku mulai pusing dan nafasku mulai sesak. Ini adalah gejala yang biasa muncul ketika aku dalam tekanan pikiran. Aku berdiri mematung dan seolah tidak mempunyai keberanian untuk beranjak dari tempatku berdiri. Aku mencoba tidak panik di kala jantungku berdegup lebih kencang. Air mataku mengalir, tapi aku sedang tidak sedih. Ini hanyalah halusinasi, halusinasi, halusinasi. Kuulang-ulang kata itu dalam hati. Ah, selalu saja terjadi seperti ini. Kupejamkan mata. Kuatur nafasku sebisa mungkin. Kulangkahkan kakiku menuju motorku.
Aku segera mengendarai motorku dengan kencang karena efek perasaan takut dan bingung sekaligus rasa penasaran pada buku-buku yang datang tadi pagi, apakah masih ada atau ikut lenyap bersamanya dan juga rumahnya.
Setelah sampai di rumah, aku segera membuka lagi kardus tempat buku-buku yang memang belum sempat aku keluarkan semuanya. Tak ada buku-buku. Hanya ada tumpukan bawang yang masih segar seperti baru dipanen, dicabut dari tanah. ***
.
.
Kukuh Basuki Rahmat adalah seorang penulis. Alumnus Magister Psikologi UGM dan anggota Komunitas Radio Buku.
.
Fragmen Delusif di Kebun Bawang. Fragmen Delusif di Kebun Bawang. Fragmen Delusif di Kebun Bawang.
Leave a Reply