Cerpen, Kompas, Ni Komang Ariani

Orang-orang Aneh dari Selatan

Orang-orang Aneh dari Selatan - Cerpen Ni Komang Ariani

Orang-orang Aneh dari Selatan ilustrasi Rusyan Yasin/Kompas

3.4
(17)

Cerpen Ni Komang Ariani (Kompas, 13 Oktober 2024)

AKU melihat orang-orang berdatangan dari Selatan. Mereka datang dalam rombongan-rombongan kecil. Orang-orang yang datang itu tampak lelah dan sarat oleh kekacauan di dalam pikiran mereka. Kepergian mereka ke desa Rembulan seperti menyimpan harapan yang sangat besar. Desa Rembulan yang diapit perbukitan tiga penjuru, entah kenapa dianggap sebagai desa yang bisa memberikan harapan untuk mereka. Untuk sampai ke desa Rembulan, orang-orang dari Selatan harus menyusuri sungai Kuning yang berkelok-kelok. Mereka harus berjalan selama tiga hari tiga malam untuk bisa sampai ke hulu sungai Kuning. Orang-orang Selatan yang biasa dengan kehidupan perkotaan akan menganggap ini perjalanan gila.

Kawasan Selatan dikenal sebagai sebuah pinggiran kota yang hancur lebur. Kawasan ini ada di balik kota Sanya yang megah dan masyur. Selatan adalah kebalikan kota Sanya yang ada di brosur-brosur wisata dan menjadi impian semua orang untuk mengunjunginya. Hanya orang yang berada antara hidup dan mati yang cukup nekad untuk menyeberang ke Selatan melalui sebuah celah di dalam air yang menghubungkan dua area ini. Orang-orang yang terbiasa tinggal di kota Sanya, akan merasa seperti dilempar ke neraka ketika memasuki area Selatan.

Tembok yang tinggi menghalangi cahaya matahari masuk ke area Selatan. Area Selatan menjadi tempat yang selalu temaram dan sulit melihat wajah orang-orang yang lalu-lalang dengan jelas. Kalaupun sempat melihat sekilas wajah orang-orang itu, konon, orang-orang di Selatan memiliki wajah yang gelap. Entah apa yang mengubah orang yang hidup riang gembira di kota Sanya ini memilih menyeberang ke area Selatan. Aku belum pernah ke kota Sanya, namun aku mendengar orang-orang di sana memiliki wajah-wajah yang bening seperti kaca, pakaian hitam-hitam yang trendi, perkantoran dengan garis-garis yang tegas; pagi ditandai gegas, dan gerak langkah yang terburu-buru di tengah kerumunan; kesuntukan menekuni layar komputer, dan malam yang ditandai tubuh lunglai kelelahan. Subuh adalah saat yang mengerikan. Beberapa sudut kota Sanya ditandai jeritan histeris. Satu atau dua tubuh melayang deras dari ketinggian.

Aku menduga orang-orang yang kalah dalam persaingan di kota Sanya dan masih memiliki nyali untuk hidup, memutuskan untuk menyeberang ke area Selatan. Mereka menghilang tanpa jejak dari Sanya. Seperti orang yang menguap di siang bolong. Beberapa orang mungkin menganggap meninggalkan identitas mereka yang lama akan membuat mereka mampu bertahan hidup. Namun area Selatan adalah tempat yang begitu buruk untuk melanjutkan hidup. Aroma got yang begitu kencang membuat orang-orang yang tinggal di sana seperti hidup di dalam got raksasa dan berenang-renang di dalamnya. Konon, orang yang hidupnya paling buruk di area Selatan, sering mencium aroma kecoak dari mulutnya sendiri. Bila hari menjadi gelap, tubuh-tubuh pun bergelimpangan di tengah jalan raya. Orang-orang itu tidak memiliki cukup uang untuk menyewa sebuah kamar.

Baca juga  Merpati Nuh

Mungkin dengan alasan itulah mereka memutuskan untuk melakukan perjalananan panjang ke desa Rembulan. Tiga hari tiga malam untuk sebuah kehidupan yang lebih baik, tentu layak dicoba. Namun aku tidak yakin, bahwa desa Rembulan akan bisa memenuhi harapan mereka akan sebuah kehidupan yang lebih baik.

Aku lahir dan besar di desa Rembulan tidak pernah merasa desa ini istimewa. Hidup di desa Rembulan sama kerasnya dengan kehidupan di luar sana. Tidak banyak belas kasihan yang tersedia untuk siapapun. Setiap orang harus mencangkuli garis nasibnya sendiri. Memecahkan batu yang amat keras untuk memastikan nasi dan lauk-pauk yang cukup untuk keluarga.

Masa kecilku dipenuhi dengan olah fisik yang keras di ladang. Tidak membantu orang tua di ladang berarti aku tidak mendapat bagian nasi dan lauk-pauk hari itu. Setelah dewasa, Ayah mengatakan bahwa itu adalah cara Ayah mendidikku menjadi orang yang bertanggung jawab. Kedua orang tuaku tidak berumur panjang karena keduanya malas berobat kalau merasakan ada bagian tubuh yang sakit. Aku menjadi sebatang kara di usia dua puluh tahun, saat tubuhku sudah menjadi mesin yang ahli untuk mencangkuli ladang. Aku tidak mengetahui cara hidup yang lain selain berladang. Hanya saja ladang terasa amat sunyi…. Seperti sebongkah lubang yang sangat besar.

Mai, tetangga berladangku, yang menyelamatkanku dari kesunyian yang amat menyesakkan. Ia mengajakku berbicara. Kami makan bersama di pondok bambu di ladang. Aku memberanikan diri melamar Mai. Mai menjawabnya dengan mengangguk dan tersipu. Setelah menikah, kami meneruskan pekerjaan berladang. Dua anakku lahir tak lama setelah itu. Begitu mereka cukup besar, aku pun mengajaknya ke ladang. Aku mengajari mereka bagaimana membantuku berladang. Kalau mereka malas, aku menghukum mereka dengan tidak memberinya makan. Aku mengatakan kalimat-kalimat yang sering diucapkan Ibu dan Ayahku. Aku juga tidak tahu mengapa meniru mereka, padahal aku benci banyak hal dari yang mereka katakan.

Ya begitulah. Desa Rembulan bukanlah desa yang istimewa. Aku sering mendengar gunjingan antara warga desa Rembulan sendiri, tentang kedatangan orang-orang yang mengadu nasibnya ke desa ini.

“Mengapa pula rombongan-rombongan aneh itu mendatangi desa kita. Desa ini tidak memiliki apa-apa, selain ladang yang tandus dan sering gagal panen.”

Baca juga  Ulang Tahun

“Mereka memiliki muka yang gelap. Pikiran mereka sudah tidak normal.”

“Desa kita amat miskin, sampai warga desanya lupa untuk punya keinginan.”

“Karena miskinnya, para Dewata menjadi kasihan, dan menaruh salah satu pintu surga di desa ini. Nah dimana pintu surga itu, tak seorang pun tahu. Namun, konon embusan dari sela-selanya sudah cukup membuat warga desa ini berbahagia.”

“Aku tidak bahagia. Aku lapar.”

“Lapar juga bisa bahagia.”

Pergunjingan demi pergunjingan dan desas-desus semakin banyak beredar. Namun, tak seorang pun yang bisa menyalahkan atau membenarkan berita-berita yang beredar tersebut. Aku dan warga desa Rembulan lainnya terlampau lelah untuk sekadar memikirkannya.

Orang-orang dari Selatan tinggal di area terbuka tanpa penghuni. Mereka mendirikan tenda-tenda sederhana dari plastik. Orang-orang ini membawa bekal berbentuk kaleng-kaleng yang terlihat lusuh. Beberapa dari mereka terlihat menyimpan kepingan emas, yang mereka tukar dengan makanan dan pakaian dari penduduk desa Rembulan. Di desa Rembulan, umbi-umbian ada dalam jumlah cukup banyak. Seseorang yang mau makan umbi-umbian selama satu tahun, niscaya tidak kelaparan. Namun, sayang banyak dari mereka yang menghabiskan uang mereka untuk membeli mi instan. Akhirnya ada sebagian dari mereka yang menahan lapar sampai masa panen tiba.

Orang-orang dari Selatan terlihat sangat berbeda. Dari raut muka, sinar mata, cara tersenyum dan cara berbicara. Mereka berbicara dengan terbata-bata, dan memandang semua orang dengan wajah curiga. Aku menduga, area Selatan adalah daerah yang begitu buruk sehingga dapat mengubah seseorang menjadi orang yang berbeda. Sangat berbeda dengan orang-orang Rembulan yang terlihat memiliki wajah yang tenang, kalimat-kalimat yang lugas, muka yang cokelat terpanggang matahari dan kaki-kaki yang berotot. Orang-orang Rembulan terbiasa ditempa kemiskinan sejak dapat mengingat dirinya. Kemiskinan telah mengubah orang-orang desa Rembulan menjadi orang-orang yang bersikap masa bodoh. Mereka tidak memiliki keinginan apa pun selain bisa makan dengan kenyang hari itu. Sementara orang-orang dari Selatan adalah orang-orang yang sangat gelisah dan banyak berpikir. Mereka terus berpikir bagaimana bisa hidup sukses dan berbahagia. Keinginan semacam itu telah membuat mereka menjadi lebih menderita. Kedatangan mereka ke desa Rembulan ini begitu penuh pengharapan. Keinginan untuk bisa bernapas lagi dan hidup sebagai orang normal. Aku merasa orang-orang dari Selatan telah dikutuk oleh cara berpikir mereka sendiri. Mereka terus-menerus berpikir untuk mengembalikan kehidupan mereka seperti di kota Sanya yang masyhur. Sementara mereka meninggalkan kota itu karena sudah tidak mampu bersaing di dalam deru kota yang tidak mengenal belas kasihan. Aku hanya tersenyum kecut membayangkan bagaimana orang-orang dari Selatan bisa berbahagia di tengah orang-orang yang tiap hari membanting tulang antara makan atau lapar?

Baca juga  Atavisme

Mungkin kenyataan pahit itu yang memaksa orang-orang dari Selatan akhirnya meninggalkan desa Rembulan. Mereka mencoba peruntungan di tempat baru, yang mungkin terlihat mirip dengan kehidupan mereka sebelumnya. Sebuah kota kecil, yang memberikan gaji yang cukup untuk hidup, dan sebuah hiburan ringan untuk melepas penat sehabis bekerja. Tidak ada persaingan gila-gilaan sebagai mana halnya di kota Sanya. Namun, yang membuatku bingung, rombongan-rombongan lain tetap berdatangan. Entah berapa banyak orang lagi yang tergiur pada dongeng-dongeng manis tentang desa Rembulan. Untuk merasakan celah pintu surga yang entah ada di mana. Aku yang lahir dan besar di desa ini tak sekalipun merasakan embusannya. Aku hanya mencoba untuk tetap kenyang dengan belajar menyukai umbi-umbian. ***

.

.

Ni Komang Ariani dilahirkan di Bali, 10 Mei 1978. Pada tahun 2003-2006 bekerja sebagai penyiar dan jurnalis radio di Global FM Bali dan KBR 68H Jakarta. Pada tahun 2008 menjadi Pemenang Pertama Lomba Menulis Cerita Bersambung Femina melalui noveletnya, “Nyanyi Sunyi Celah Tebing”. Tiga kali masuk Cerpen Pilihan Kompas. Dua kali masuk 10 Besar Khatulistiwa Literary Award dan pada tahun 2011 diundang sebagai pembicara di Ubud Writers and Readers Festival. Di tahun 2017 terpilih sebagai peserta residensi ASEAN-Japan Literary Festival dan pada Agustus 2018 terpiih sebagai salah satu penulis yang menjalani program residensi selama sebulan di Thailand yang diselenggarakan oleh Komite Buku Nasional. Bukunya yang telah terbit adalah Lidah (2008), Senjakala (2010), Bukan Permaisuri (2012), Jas Putih (2014), Ketut Rapti (2017), Marigold (2019), dan Telikung (2020)

Rusyan Yasin, pelukis asal Bogor yang menempuh gelar sarjananya di Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institut Teknologi Bandung. Setelah lulus, ia melanjutkan studi dengan mengikuti program kerja sama antara ITB dan Kedutaan Italia: pelatihan restorasi dan konservasi karya seni. Saat ini ia aktif melukis dan berpameran, di waktu luang ia bekerja sebagai ilustrator dan pengajar. Karya lukisnya didominasi oleh tema-tema lanskap urban dan surealisme.

.
Orang-orang Aneh dari Selatan. Orang-orang Aneh dari Selatan. Orang-orang Aneh dari Selatan. Orang-orang Aneh dari Selatan. 

Loading

Average rating 3.4 / 5. Vote count: 17

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!